Sara Bokker

Sara Bokker: menjadi muslim, terbebas dari belenggu perbudakan


Dari kecil, tak ada cita-cita lain Sara Bokker, seorang model, selain hidup berbalut kemewahan. Itu pula yang mendasarinya memilih tempat tinggal di Florida dan kemudian South Beach di Miami, hotspot bagi mereka yang mencari kehidupan glamor. Di usia awal 20-an, ia sudah meraih mimpinya: menjadi seorang model dan personal trainer, tinggal di apartemen kelas atas, dan tiap akhir pekan berjemur sepanjang siang di Pantai Miami yang eksotis. "Sungguh sebuah living in style sesungguhnya, seperti yang kuimpikan," katanya.

Hingga kemudian, ia mengenal paham feminisme. Ia berkaca lagi. "Aku merasa aku adalah budak mode. Aku adalah 'sandera' bagi penampilanku sendiri," katanya. 

Ia mulai melarikan diri dari dunia glamornya. Ia meninggalkan alkohol dan pestapora yang tak pernah dilewatkannya, dan melarikan diri pada meditasi, menjadi aktivis feminis, dan menekuni apa yang disebutnya 'agama alternatif'. "Namun kusadari kini, itu hanya sebatas 'pembunuh rasa sakit' dan bukan obat yang sesungguhnya," katanya.

Di tengah kebimbangannya, Tragedi 11 september 2001 terjadi. Perang salib baru dikobarkan di seluruh Amerika Serikat, begitu ia menyatakan. Namun bagi Sara, hikmah lain datang: ia jadi mengenal ada agama bernama Islam...dan membuatnya penasaran.



Informasi yang didapatkan pertama kali tentang agama ini adalah: wanita terkurung dalam tenda, diikuti oleh umat yang merupakan 'para pemukul istri', harem, dan terorisme. Sesuatu yang sungguh berlawanan dengan paham feminisme yang mulai merasuk dalam dirinya. 

Suatu hari, secara iseng ia membuka kitab yang disebutnya sangat kontroversial di Barat; Alquran. Ia terhenyak. "Aku pertama kali tertarik pada gaya dan pendekatan Alquran, dan kemudian tertarik pandangan tentang eksistensi, kehidupan, penciptaan, dan hubungan antara Pencipta dan ciptaan," katanya. "Aku menemukan Alquran sangat menghujam dalam sanubari, bahkan untuk memahaminya kita tak perlu interpreter atau pendeta." 


Ia makin giat mempelajari Islam setelah itu. Ia membeli banyak buku-buku keislaman, atau membacanya di internet. "Hingga satu hari tanpa sadar aku membeli gaun panjang yang cantik dan penutup kepala menyerupai busana wanita Muslim dan berjalan menyusuri jalan yang sama dan lingkungan di mana beberapa hari sebelumnya aku berjalan dalam celana pendek, bikini, atau pakaian ala Barat lainnya," katanya.

Meskipun orang, lingkungan, dan toko-toko semua sama seperti sebelumnya, namun ia merasa berbeda melihatnya, terutama, saat melihat dirinya.


"Bila sebelumnya orang melihatku dengan pandangan bernafsu, bak pemburu melihat mangsanya, dengan busana ini aku tak menemukannya. Tiba-tiba aku merasa rantai yang membelengguku sudah terlepas...dan aku kini bebas!" katanya.

Ia menemukan Islam di jantung kehidupan bebas dunia, Amerika, Miami tepatnya. Di kota ini, ia bersyahadat. 


"Hari ini aku masih seorang feminis, tapi seorang feminis Muslim, yang menyebut kaum perempuan memikul tanggung jawab mereka dalam memberikan semua dukungan yang mereka bisa dan menjadi muslim yang baik. Untuk membesarkan anak-anak mereka sebagai Muslim sehingga dapat menjadi cahaya untuk seluruh umat manusia," katanya.


Satu lagi hal penting yang dilakukannya: menyampaikan pengalamannya pada sesama perempuan yang mungkin tidak pernah memiliki kesempatan seperti dirinya. (Sumber: Republika co.id).




Yvonne Ridley - bicara

Yvonne Ridley: tentang Khilafah, Syariah & Jihad


Yvonne Ridley, wartawati-feminis Inggris, yang menjadi mualaf setelah ditawan Taliban, dan kini menjadi pembela Islam di Inggris. Berikut ini adalah ceramah Yvonne Ridley beberapa tahun lalu di Global Peace & Unity Conference, London, tepatnya pada tanggal 30 November 2006. Mudah-mudahan bisa jadi informasi bagi saudara-saudara yang belum mengetahui sebelumnya.

Awalnya saya ingin mempersembahkan pidato saya di Global Peace and Unity Conference ini kepada Imam Anwar Al-Awlaki-seorang ulama terkemuka dan dihormati di komunitas Muslim berbahasa Inggris – yang ditahan di Yaman dua bulan yang lalu. Namun, saya juga harus berterima kasih kepada saudara Fahad Ansari dari Islamic Human Rights Commussion, penulis artikel “God Save The Deen”, yang menginspirasi saya menulis ceramah ini. Sebagian besar isi ceramah ini terinspirasi oleh tulisannya itu.

Keislaman saya masih amat belia, karena saya baru menjadi muslimah pada 2003 – dan meskipun masih banyak yang harus saya pelajari, saya dapat merasakan frustasi yang dirasakan umat muslim pada saat ini. Saya tahu serangan 11 September berdampak luar biasa besar pada dunia, tapi itu bukan suatu awal … itu adalah kelanjutan dari warisan imperalisme AS dan ketakutannya terhadap Islam.

Sekitar 10 tahun yang lalu, para pemuda Muslim dari berbagai belahan dunia membanjiri Bosnia untuk membantu saudara-saudara mereka yang berjuang mempertahankan diri menghadapi Serbia yang melancarkan genosida, sementara dunia hanya berdiam diri menontonnya. Jihad menyatukan Muslim dari segala kebangsaan, status, dan kultur. Semua disatukan, bahkan mereka yang tidak bisa berangkat untuk berperang berusaha mengulurkan bantuan dalam berbagai bentuk lain seperti penggalangan dana, penyelenggaraan acara penyadaran masyarakat, dan demonstrasi.

Hasilnya, umat Muslim berhasil mematahkan usaha genosida. Dunia barat baru melakukan intervensi setelah tampak jelas bahwa Muslim Bosnia akan meraih kemenangan. Mereka tidak bisa menerima berdirinya sebuah negara Islam di jantung Eropa, sehingga mereka pun mengintervensi. Ini bukan semata-mata kesimpulan saya, tapi mantan Presiden Bill Clinton pun mengakuinya dalam autobiografinya.

Ketakutan terhadap Islam telah berkembang selama 10 tahun belakangan, sehingga darah saudara-saudara kami kini mengalir bagaikan sungai-sungai yang melintasi Chechnya, Kashmir, Palestina, Afganistan, Irak, dan baru-baru ini kita semua menyaksikan apa yang terjadi di Lebanon. Saya pernah mendatangi banyak dari ladang-ladang pembantaian ini dan izinkan saya mengatakan kepada Anda bahwa tubuh-tubuh rusak, meledak, berkeping-keping dari saudara-saudara Muslim kami sama persis dengan tubuh-tubuh yang tersebar pada hari ini sangat jelas: darah Muslim adalah komoditas murah.

Sementara itu, puluhan ribu Muslim tak bersalah masih disiksa di tempat-tempat terpencil seperti Teluk Guantanamo, Bandara Bagram di Afganistan, Abu Gharib, Diego Garcia, dan penjara-penjara rahasia di berbagai penjuru dunia.

Sementara itu, di penjara-penjara bawah tanah di Suriah, Yordania, Maroko, Tunisia, Algeria, Mesir … saudara-saudara kami disiksa atas prakarsa dan tuntutan pemerintah AS. Dan saya yakin pemerintah Inggris pun terlibat dalam hal ini … Para pejabat intelejen Inggris tidak lama lagi akan dipermalukan karena keterlibatan mereka.

Bahkan sampai sekarang, masih ada 9 warga negara Inggris yang ditahan di Guantanamo – orang-orang Amerika tidak menginginkan mereka, tapi pemerintah Inggris juga tidak mau menerima mereka. Meskipun Departemen Luar Negeri memberikan berbagai dalih, sebenarnya mereka hanya perlu menelepon untuk meminta pembebasan saudara kami itu. Dan jangan pikir hanya laki-laki yang disekap dan disiksa – Moazzam bisa mendengar jeritan seorang perempuan di sel penyiksaan di Afganistan tempat dia ditahan oleh Amerika.

Temuilah Moazzam Begg di stan Cage Prisoners hari ini dan tanyakan kepadanya, apa yang bisa Anda lakukan untuk membantu. Karena kita bisa membantu. Hampir tak ada tahanan yang dibebaskan berkat proses pengadilan, hanya melalui tekanan politik … yaitu ketika pemerintah turut campur tangan.

Anda yang hadir hari ini bisa membuat perubahan. Jangan hanya duduk di sini dan memendam kegeraman – beraksilah. Tekanlah para politisi Anda dan ingatkan mereka bahwa Anda adalah tuan-tuan mereka.

Dalam surah Al-Áshr, Allah menyatakan bahwa seluruh umat manusia, termasuk Muslim, berada dalam kerugian; kecuali mereka yang BERIMAN, MELAKUKAN AMAL KEBAIKAN, dan SALING MENGINGATKAN TENTANG KEBENARAN DAN KESABARAN. Hanya dengan memenuhi 4 kriteria ini, kita akan dapat berjumpa dengan Tuhan. Namun, jika kita membenamkan kepala kita di pasir dan berpura-pura tidak ada penindasan di dunia, dan penderitaan saudara-saudara kita itu tak berarti apa pun bagi kita, maka mungkin kita tidak akan bisa berjumpa dengan-Nya.

Bahkan Ken McDonald, jaksa di Inggris, merasa jijik dengan tindakan-tindakan pemerintah – ia menyerang dengan sengit apa yang disebut “pengadilan-pengadilan rahasia“.
Pengadilan-pengadilan itu mengadili tersangka terorisme yang tidak diizinkan melihat bukti-bukti yang memberatkan mereka. Itu sungguh suatu penghinaan terhadap keadilan.

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Islam Channel News, dia berkomentar: “Kita harus menegaskan bahwa prinsip-prinsip ini tidak bisa ditawar-tawar. Dalam tekanan politik apa pun, dalam iklim apa pun, prinsip-prinsip ini adalah hakikat dari keadilan: persidangan yang terbuka dan dilakukan di hadapan pengadilan yang independen dan netral.

“Kita tidak menginginkan pengadilan-pengadilan rahasia, kita tidak menginginkan hakim yang dipilih secara rahasia, kita tidak menginginkan keadilan rahasia. Pengadilan yang berimbang; fairness di antara penuntut dan pembela tidak bisa ditawar-tawar; hak mendapat keterangan lengkap tentang kasus yang dituduhkan Negara terhadap Anda tidak bisa ditawar-tawar.

“Pembela berhak mengetahui tuduhan yang dihadapinya, dan mereka berhak mendapatkan bahan-bahan yang dimiliki Negara, termasuk yang merugikan tuduhan Negara atau menguntungkan tertuduh. Hak naik banding tidak bisa ditawar-tawar.

”Dan asas praduga tak bersalah, standar pembuktian kejahatan – yang melampaui keraguan-keraguan yang masuk akal – dengan tanggung jawab pembuktian terletak di pundak Negara, tak satu pun dari prinsip-prinsip ini bisa ditawar-tawar.”

Dan tentu saja ia benar – tapi Tony Blair berkata bahwa Muslim harus berhenti memiliki mentalitas korban. Namun, kalau kepala kejaksaan saja mengeluh, tentu kami punya alasan kuat.

Coba bayangkan, apa tanggapan anak-anak muda Muslim atas semua ini? Mereka membaca kisah-kisah kepahlawanan Saladin Al-Ayyubi, Khalid bin Walid, Tariq bin Ziad, dan menyimak kisah-kisah keberanian dan keperwiraan Nabi Muhammad SAW, yang amat kami cintai. Tahukah Anda, 5 tahun lalu, saya sama sekali tidak tahu siapa Nabi SAW. itu. Namun, sekarang saya bersedia mengorbankan tetes darah terakhir saya untuk membela nama, kehormatan dan kenangan tentang beliau. Bahkan setelah wafat, beliau menunjukkan dirinya mampu menyatukan Ummah dalam protes terhadap karikatur jahat dari Denmark itu.

Pahlawan-pahlawan modern kami mencakup Malcolm X dan Sayid Qutb, yang tulisan keduanya membantu saya mendefinisikan diri sebagai Muslim.

Mereka menjadi semacam role model yang diikuti anak-anak muda kami. Namun, mereka malah menerima informasi-informasi yang simpang siur dan membingungkan. Blair mencoba melarang Milestones (buku karangan Sayid Qutb) – ia diberi tahu bahwa Usamah bin Ladin membaca buku itu … Well, Usamah juga membaca Shakespeare. Apakah kita juga harus melarang Tweifth Nightm Hamlet, dan karya-karya klasiknya yang lain? Satu menit, anak-anak muda kami diberi tahu untuk hanya takut kepada Allah SWT, tapi menit berikutnya, mereka diberi tahu untuk “melunakkan“ Islam mereka dan menunjukkan kepala dengan patuh.

Sejak peristiwa 11 September, diluncurkan kampanye gencar untuk mengubah Islam menjadi sesuatu yang lebih sesuai dengan menyuarakan Barat. Tujuannya adalah menciptakan sebuah Islam yang sekuler dan kultural yang rukun dengan dunia karena ia tunduk kepada penindas-penindasnya, bukannya kepada Allah; sebuah Islam tanpa jihad, syariah dan khilafah – hal-hal yang diperintahkan Allah kepada kami untuk menjalankannya, demi tegaknya din Allah di muka Bumi.

Dan upaya-upaya ini tampak di mana pun saya mengarahkan pandangan. Hijab direnggut dari kepala saudari-saudari kami di Tunisia, Prancis, dan Turki. Saudari-saudari kami di Belanda dan Jerman juga menjadi sasaran. Dan di Inggris, ada Jack Straw, mantan Menteri Luar Negeri Inggris uang mempermasalahkan Jilbab – dia mungkin tidak suka nikab, tapi saya berharap ia memakainya, ditambah sebuah berangus yang besar. Saya tidak membutuhkan laki-laki kulit putih setengah baya untuk memberi tahu saya atau saudari-saudari saya bagaimana kami harus berpakaian. Nikab, seperti jilbab, menjadi simbol penolakan terhadap gaya hidup Barat yang negatif seperti penggunaan obat-obatan terlarang, mabuk-mabukkan, dan seks bebas. Sikap tersebut adalah pernyataan kepada Barat bahwa kami tidak mau menjadi seperti dirimu.

Muslim yang memilih menjadi lebih kebarat-baratan ketimbang orang Barat sendiri membuat saya tertawa – tidak sadarkah mereka bahwa tampak konyol di mata dunia? Mereka bersembunyi di balik deskripsi-deskripsi semacam moderat – lagi-lagi, pesan apakah yang ingin disampaikan kepada anak-anak muda kami? Jika kita meminta mereka untuk menjadi moderat, tidakkah itu menyiratkan bahwa ada sesuatu yang salah dengan Islam yang perlu dilunakkan, dijinakkan?

Apa itu moderat dan apa itu ekstremis? Saya tidak tahu. Saya hanya seorang Muslim. Saya tidak mengikuti ulama atau aliran mana pun … saya hanya mengikuti Nabi SAW. dan Sunnahnya. Apakah itu membuat saya menjadi seorang ekstremis? Saya tidak yakin Tony Blair memahami dirinya sendiri – saya menulis surat kepadanya tiga bulan yang lalu dan sampai sekarang saya masih menunggu balasannya. Menjadi Muslim itu agak mirip dengan mengandung. Pernakah mendengar ada orang yang mengandung dengan moderat?
Islam telah diserang selama 1.400 tahun dan kami sekarang sudah belajar untuk hanya bergantung kepada Allah. 

Namun, masih ada Muslim yang mencium tangan yang menampar mereka. Saya khawatir bahwa kita tak lagi bisa mempercayai seseorang hanya karena mengenakan busana islami. Ada pemimpin-pemimpin Muslim yang mengklaim bahwa mereka membimbing dan melindungi kami, tapi tidak semuanya memikirkan kepentingan kami. Generasi muda kami harus sangat hati-hati sejak peristiwa 11 September dan bom London 7 Juli. Kami harus memberi tahu generasi muda kami bahwa apa yang terjadi di Palestina, Kashmir, Chechnya, Irak dan Afganistan adalah perlawanan yang dibenarkan terhadap pendudukan militer yang brutal, sedangkan kejahatan-kejahatan seperti 11 September dan bom London adalah terorisme. Menyamakan keduanya berarti mengkhianati saudara-saudara kami yang tak punya pilihan selain melawan atau terhapus dari muka planet ini.

Hamba-hamba baru Dunia Barat menghujat partai-partai Islam dan pemerintah-pemerintah yang menerapkan syari’ah. Saya menyebut mereka “Penggembira“. Mereka diterbangkan pemerintah dari AS, Kanada, Yaman, dan Mauritania untuk menyebarkan Islam yang jinak. Hasil akhirnya adalah penjinakan din Allah, sebuah Islam yang lemah dan pasif, mau menerima status quo yang menindas dan menghinakan Muslim; sebuah Islam yang mendorong Muslim mengutuk aksi saudara-saudara mereka yang dengan gagah berani melawan pendudukan dan penindasan dengan segala yang mereka punya. Bahkan mendoakan mereka pun sekarang menjadi kejahatan – berapa lama lagi sebelum kami diberi tahu untuk tidak mendoakan mujahidin?

Salah satu panglima perang terbesar yang pernah dikenal dunia, Saladin Al-Ayyubi, pembebas Al-Quds, pernah ditanya mengapa dia tak pernah tersenyum. Dia menjawab, bagaimana mungkin dia tersenyum padahal dia tahu Masjid Al-Aqsa masih diduduki? Saya bayangkan bagaimana tanggapannya terhadap situasi dunia sekarang? Saat ini para pemimpin Arab menari perut tanpa malu di hadapan Amerika sambil menyerahkan Irak di atas sebuah piring. Pemimpin-pemimpin Arab itu berpaling sementara Palestina yang jelita tak henti-hentinya diperkosa dan “putri jelita” Arab lainnya, Lebanon … kemanakah dunia Arab ketika ia diserang dengan amat brutal?

Dan genderang perang kembali ditabuh. Bukan hanya seluruh dunia menyaksikan, melainkan anak-anak kami, generasi muda kami, masa depan kami. Kita harus mendidik dan menginspirasi mereka dengan kisah-kisah Nabi dan para Sahabat. Selama Ummah memunculkan tokoh-tokoh seperti Khalid bin Walid, Saladin Al-Ayyubi, Sayid Qutb, dan Malcolm X, kami tidak akan kalah. Semakin kami ditindas oleh para tiran, semakin sengit kami melawan. Inilah sifat Islam.

Dan inilah Islam yang perlu diikuti anak-anak muda kami, dengan bimbingan dan ispirasi. Kami harus mengganti pemimpin-pemimpin yang mengebiri diri mereka sendiri dalam upaya menyedihkan untuk menjadi lebih Barat ketimbang bangsa Barat sendiri. Banyak anak muda Muslim sekarang menyadari bahwa tak peduli seberapa keras mereka mengompromikan din mereka untuk melebur ke dalam masyarakat yang lebih luas, ketika keadaan menjadi runyam, mereka akan diperlakukan dengan penuh kecurigaan. Semakin kami disuruh melupakan syari’ah, khilafah dan jihad, semakin Muslim akan membayar dengan darah untuk menegakkan nilai-nilai itu. Jihad yang kita saksikan di Palestina, Irak, Afghanistan, Kashmir, dan Chechnya adalah sesuatu yang baru mulai, sebuah perang yang dibenarkan melawan kezaliman dan tirani.

Aksi para jihadis sama sekali tidak menimbulkan ancaman terhadap Barat atau gaya hidup orang Barat. Perlawanan mereka bukan hanya dibenarkan tetapi bahkan didukung oleh hukum international. Ekstremis religius yang sungguh-sungguh menimbulkan ancaman terbesar meradikalisasi anak-anak muda kita adalah Kristen Fundamentalis di Gedung Putih dan Downing Street. Bush dan Blair telah menjadi agen perekrutan terbaik Al-Qaidah.

Semakin banyak anak muda Muslim menyadari bahwa bukan terorisme atau ekstremisme yang menjadi target, tetapi Islam sendirilah yang menjadi target.

Kini Ummah-lah yang harus memimpin dan menginspirasi generasi muda Muslim, seperti Nabi memimpin dan menginspirasi jutaan manusia dan akan terus demikian adannya. Dan pelajaran pertama yang harus kami sampaikan kepada generasi muda kami adalah takut kepada Allah SWT. (Sumber: Arrahmah.com).


Yvonne Ridley

Yvonne Ridley: dari Taliban menuju Islam


Ia sempat ditahan pasukan Taliban. Setelah bebas, ia mempelajari Islam dan memilih menjadi pemeluknya tahun 2003. Apa perasaan Anda jika tertawan dan ditangkap musuh? Mungkin susah untuk membayangkan nasib Anda akan berakhir pada sebuah kebahagiaan. 
Apalagi, jika menghadapi tuduhan sebagai mata-mata, penyusup, dan lain sebagainya.

Namun, tidak demikian dengan yang dirasakan Yvonne Ridley, seorang wartawati Inggris. Perempuan paruh baya ini justru mengaku bahagia setelah ditangkap dan diinterogasi pasukan Taliban yang oleh media massa Amerika Serikat (AS), digambarkan sebagai kelompok Islam garis keras dan kejam.

Pengalaman Ridley di Afganistan saat ditangkap pasukan Taliban, justru membuatnya mengenal Islam lebih dalam. Dan, dengan bersentuhan langsung dengan kelompok Taliban, Ridley merasakan perbedaan dengan tuduhan yang dilontarkan. Ridley menyebut kelompok yang oleh banyak negara dicap sebagai teroris ini sebagai keluarga terbesar dan terbaik di dunia.

Dikisahkan, mantan guru sekolah Minggu yang juga mantan peminum (gemar mabuk) itu masuk Islam setelah membaca Alquran seusai dilepas oleh Taliban. Bekerja sebagai wartawan Sunday Express, surat kabar terbitan Inggris, pada September 2001 lalu, Ridley diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afganistan untuk melakukan tugas jurnalistik. Saat itu, perempuan kelahiran Stanley, Distrik Durham, Inggris, tahun 1959 ini mencoba menyusup ke Afganistan secara ilegal. Tanpa paspor maupun visa.

Seperti dilansir dalam banyak pemberitaan di media massa, wartawati Inggris yang sudah kerap ditugaskan ke daerah-daerah konflik di dunia ini, tertangkap basah di sebelah timur Kota Jalalabad. Penyamarannya terungkap ketika ia jatuh dari seekor keledai persis di depan seorang tentara Taliban dan kameranya jatuh. Saat ditangkap, Ridley terlihat mengenakan  burqa, sejenis busana Muslimah tradisional Afganistan.

Yang ada di benaknya ketika tentara itu dengan marah mendatanginya adalah rasa takjub. ''Luar biasa tampan. Bola matanya hijau, khas bola mata dari daerah itu dan dengan jenggot yang tebal,'' batinnya.
Tak berselang lama, ketakutan mulai merayapinya. Ridley diinterogasi selama 10 hari tanpa diperbolehkan menggunakan telepon (ponsel) ataupun menghubungi anak perempuannya yang sedang berulang tahun ke-9.

Selama menjalani proses interogasi, Ridley mengaku tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh kaum Taliban ataupun apa yang mereka percaya sebagai kebenaran. Awalnya, bagi Ridley, Taliban sama seperti yang digambarkan media massa Eropa tentang kelompok Islam ini.

Namun, perlakuan yang diterima Ridley selama menjalani masa penahanan dan interogasi justru mengubah semua pandangannya mengenai orang-orang Taliban. Menurutnya, anggapan umum kaum Taliban yang selama ini digambarkan sebagai monster sangat jauh dari realitas. ''Orang-orang Taliban adalah orang-orang yang baik dan mereka sangat ramah,'' ujarnya.

Dalam acara keterangan pers yang digelar di Peshawar, Pakistan, seusai pembebasannya, Ridley menuturkan bahwa selama dirinya ditahan, secara fisik ia tak pernah diperlakukan dengan buruk oleh Taliban. Bahkan, perlakuan yang diterimanya tergolong cukup istimewa dibandingkan pesakitan para penghuni penjara lainnya.

Di dalam tahanan, Ridley dipisahkan dengan penghuni lainnya, termasuk para tahanan wanita. Selain itu, secara khusus, ruang tahanannya telah dibersihkan dari segala gangguan kecoa dan kalajengking. Berbeda dengan sel di sebelahnya, kamar di balik terali itu tetap kotor seperti biasanya, kata Ridley.

Atas pengakuan Ridley ini, banyak pihak yang mengatakan ibu dari seorang putri bernama Daisy ini terkena  Sindrom Stockholm , di mana sandera malah kemudian memihak penyandera. Tetapi, ia membantahnya, ''Saya membenci mereka yang menangkap saya. Saya meludahi mereka, kasar terhadap mereka dan menolak makan. Saya tertarik Islam hanya ketika saya sudah bebas,'' katanya menegaskan.
 
Kagum dengan Al-Qur'an
Dalam sebuah wawancara kepada situs Islamonline beberapa waktu lalu, Ridley mengungkapkan saat menjadi tawanan Taliban, seorang ulama mendatangi dirinya. Sang ulama menanyakan beberapa pertanyaan tentang agama dan menanyakan apakah ia mau pindah agama.

''Saat itu, saya takut kalau saya salah memberikan respons, saya akan dibunuh. Setelah berpikir masak-masak, saya berterima kasih pada ulama tadi atas tawarannya yang baik itu. Dan, saya bilang bahwa sulit bagi saya membuat keputusan untuk mengubah hidup saya saat sedang menjadi tawanan,'' paparnya.

Kepada sang ulama, Ridley berjanji akan mempelajari agama Islam setelah dibebaskan dan kembali ke London.
Begitu kembali ke Inggris, Ridley membaca Alquran melalui terjemahannya untuk mencoba memahami pengalaman yang baru dilewatinya.''Saya luluh dengan apa yang saya baca. Tak ada satu pun yang berubah dari isi buku ini, baik titiknya maupun yang lain sejak 1.400 tahun yang lalu,'' ungkapnya.

Dalam mempelajari Islam, Ridley memilih surat-surat dalam Alquran hanya yang ingin ia baca. Ia sangat mengagumi hak-hak yang diberikan Islam pada kaum perempuan dan inilah yang paling membuat dirinya tertarik pada Islam. Dalam buku yang ia tulis setelah pembebasannya, Ridley menceritakan bahwa dirinya juga sempat menemui Dr Zaki Badawi, ketua Islamic Centre London, dan berdiskusi dengannya seputar ajaran Islam.

Dari sinilah kemudian Ridley memutuskan untuk memilih Islam sebagai keyakinan barunya. Proses keislaman Ridley ini terjadi pada tahun 2003 silam. Mengenai pilihannya ini, Ridley mengungkapkan bahwa dirinya telah bergabung dengan apa yang ia anggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini.

Bagaimana reaksi orang tuanya yang beragama Protestan Anglikan saat Ridley masuk Islam? ''Pada awalnya, keluarga dan teman saya khawatir, tetapi ketika mereka melihat bagaimana bahagianya saya. Saya lebih sehat dan merasa hidup saya lebih punya arti, mereka sangat senang,'' papar Ridley.

Kebahagiaan, ungkap Ridley, terutama dirasakan sang ibu ketika ia memeluk Islam. Kebahagiaan tersebut disebabkan semenjak menjadi seorang Muslimah, Ridley memutuskan untuk meninggalkan kebiasaannya minum minuman keras. ''Ibu saya sangat gembira, karena saya sudah tak minum lagi.''

Setelah memeluk Islam, Ridley memutuskan untuk mengenakan baju Muslim dan jilbab. Ia pun hingga kini masih menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan.
Dedikasi Ridley sebagai wartawan memang tak diragukan lagi. Muslimah ini pernah bekerja pada sederet media bergengsi, seperti  News of the World, The Daily Mirror, The Sunday Times, The Observer, The Independent, dan  Sunday Express.

Redaktur  Sunday Express , Martin Townsend, pernah mengungkapkan komentarnya mengenai Ridley, ''Dia adalah seorang jurnalis yang sangat berpengalaman dan berani.'' Sementara itu, Colin Patterson, wakil redaktur dari  Sunday Sun, menyebutnya sebagai pribadi yang hangat dan suka bersahabat.

Pascatragedi Lockerbie sembilan tahun lalu, Ridley adalah wartawan pertama yang berhasil mewawancarai Ahmad Jibril, pemimpin populer Front for the Liberation of Palestina (Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina). dia/berbagai sumber   Biodata Nama  : Yvonne Ridley
TTL   : Stanley, Distrik Durham, Inggris, tahun 1959
Pekerjaan : Jurnalis (wartawati)  Sunday Express
Masuk Islam : 2003; Anak : Daisy  (Sumber: Republika.co.id)