Ta'ashub (Fanatik Buta) Sumber Kehancuran!


Dari ‘Amr bin Dinar rahimahullah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:


كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ « دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ » 

”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’” (HR. Al-Bukhari dan yang lainnya)

Hadits di atas adalah salah satu dalil tentang terlarangnya Ta’ashub terhadap kelompok, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkategorikannya sebagai seruan Jahiliyah. Lalu apa makna Ta’ashub, macam-macamnya, bahaya dan sikap Islam terhadapnya? Mari kita simak pembahasan berikut.


Definisi Ta’ashub (Fanatik Buta)


Secara bahasa, kata Ta’ashub memiliki banyak makna, di antaranya, keras, mengikat, berkumpul mengelilingi sesuatu dan menolongnya. Dari makna inilah kita mengenal kata ‘Ashobah (dalam ilmu waris), yaitu kerabat dari jalur bapak. Orang-orang Arab menamakan kerabat seseorang sebagai ‘Ashobah karena ia mengelilinginya dan menolong serta membelanya. Ta’ashub berasal dari ‘Ashobiyyah, dan ‘Ashobiyyah adalah seseorang membela/ menolong kerabatnya dan bergabung bersama mereka menghadapi orang yang memusuhi mereka, baik kerabat tersebut zhalim ataupun terzhalimi. Dan ‘Ashobiy adalah orang marah karena ‘Ashobahnya (kerabat) dan membela mereka.

Secara istilah, kata Ta’ashub dalam makna secara istilah tidak keluar dari makna secara bahasa. Maka Ta’ashub adalah sikap keras dan mengambil sesuatu dengan keras, dan kasar dan tidak mau menerima pendapat orang yang berbeda pendapat dengannya dan menolaknya serta enggan mengikutinya sekalipun benar. Demikian juga Ta’ashub berarti membela kaumnya, kelompoknya atau orang yang satu keyakinan dengannya, tidak peduli apakah orang yang dibela tersebut benar atau salah, dan apakah yang dibela itu zhalim atau terzhalimi.


Bentuk-Bentuk Ta’ashub:


Ta’ashub Hizbi (Fanatik Golongan)

Yaitu sikap fanatik terhadap kelompok, atau golongan, atau perkumpulan yang seseorang berafiliasi (menisbatkan diri) kepadanya, dan membelanya baik kelompok tersebut benar atau salah. Demikian juga dengan mensifati kelompok atau golongannya tersebut dengan kesempurnaan, kesakralan dan terjaga dari kesalahan, serta menyebutkan kelebihan-kelebihannya dan menyerang selain golongannya dengan menyebutkan cacat dan keburukan mereka. Dan juga dengan mengagungkan kelompoknya dan merendahkan selainnya.

Ta’ashub Qaumi (Fanatik Suku)
Yaitu membela suku yang ia menisbatkan diri kepadanya dan ia berasal darinya, hanya karena kesukuan semata, sebagaimana yang terjadi pada bangsa Turki di akhir-akhir Khalifah Utsmaniyah, dan seperti yang terjadi di sebagian kabilah-kabilah Arab. Dan terkadang hal tersebut menyebabkan peperangan antar suku atau antar negara, dan bahkan kerap terjadi peperangan (tawuran) antar suku di dalam satu negara.

Ta’ashub Madzhabi (Fanatik Madzhab)

Fanatisme ini yang telah memecah belah kaum Muslimin, dan menjadikan mereka memiliki empat mimbar di Mekah (Masjidil Haram), di sekitar Ka’bah di masa lalu (di zaman keterpurukan fikih). Saat itu seorang yang bermadzhab Syafi’i melarang seseorang shalat di belakang imam yang bermadzhab Hanbali, orang yang bermadzhab Hanbali melarang seseorang shalat di belakang imam yang bermadzhab Maliki dan seterusnya. Dan fanatisme tersebut telah menjadikan pintu ijtihad tertutup. Dan tidak jarang terjadi permusuhan dan perkelahian yang disebabkan oleh perbedaan madzhab antara dua orang teman, anak dan orang tua dan bahkan antara suami dan isteri.

Tamyiz ‘Unshuri (Membeda-bedakan Keturunan/Asal-usul)
Hal itu bisa disebabkan karena jenis kelamin, seperti mengistimewakan golongan laki-laki di atas perempuan dalam hal-hal yang tidak ada dalilnya dalam syari’at, atau karena warna kulit, seperti mengistimewakan warna kulit putih di atas kulit hitam, atau karena negeri tertentu atau penduduk tertentu seperti membeda-bedakan antara imigran dengan penduduk asli, antara penduduk asli dan pendatang dan seterusnya, atau mengistimewakan kabilah tertentu dan merendahkan yang lain.

Ta’ashub Fikri (Fanatik Pemikiran)

Yaitu menolak pemikiran yang lain, tidak menerima dan mendengarkannya, serta enggan bersikap netral dan pertengahan dalam menghukumi pemikiran tersebut. Demikian juga bersikap keras dalam berinteraksi dengannya, mengkritiknya dengan sangat pedas. Dan membuatkan rupa dan bentuk tertentu untuk pemikiran yang berseberangan dengan gambaran yang telah bercampur dengan banyak kesalahan dan kekeliruan, karena hal itu dibangun di atas pondasi fanatisme.

Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk Ta’ashub yang ada di masyarakat, ada yang fanatik terhadap kyainya, ustadnya, pondoknya dan lain-lain. Dan bahkan akhir-akhir ini kita melihat para pelajar yang saking fanatiknya terhadap sekolahnya, mereka rela “mempertahankan” sekolahnya dengan “mengorbankan” harta dan nyawa mereka. Seandainya saja fanatik dan kebanggaan mereka terhadap sekolah mereka diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan positif yang menjadikan sekolah mereka dikenal dengan prestasinya tentu hal itu lebih baik dan itulah yang diharapkan oleh orang tua, sekolah, masyarakat dan negara.


Sebab-sebab Ta’ashub


1. Percaya Diri yang Berlebihan
Seperti perkataan Fir’aun (yang diabadikan dalam al-Qur’an):


…. مَآأُرِيكُمْ إِلاَّ مَآأَرَى وَمَآأَهْدِيكُمْ إِلاَّ سَبِيلَ الرَّشَادِ {29}

… Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukan kepadamu selain jalan yang benar. (QS. Ghafir/ al-Mu’min: 29)

Perasaan seperti ini terkadang dimiliki oleh pribadi, atau kelompok atau bangsa.

2. Kebodohan dan Keterbelakangan Wawasan
Ketidaktahuan (bodoh) terhadap sesuatu yang ada pada orang lain dan sempitnya wawasan untuk mengetahui dan mengenalinya secara mendalam menjadikan seseorang bersikap fanatik dalam melawan dan menolaknya. Dan cukuplah kita mengatakan: ”Sesungguhnya permusuhan terhadap Islam pada hari ini, dan serangan terhadapnya yang dilakukan oleh sebagian bangsa Barat, adalah disebabkan karena bodohnya mereka dengan dasar-dasar (prinsip-prinsip) Islam, dan ketidaktahuan mereka tentang hakekat Islam yang sebenarnya. Dan ini ditambah dengan perusakan citra Islam, dan pelemparan syubhat-syubhat yang dilakukan oleh sebagian media komunikasi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.”

3. Pengkultusan Individu dan Sikap Ghuluw (Ekstrim) Terhadapnya

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ … {31}

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, … (QS. At-Taubah: 31).

Sikap pengkultusan dan ghuluw ini terkadang sampai kepada batas memberikan sifat ma’shum (terjaga dari dosa) dan kesucian kepada seseorang. Suatu hak yang menyebabkan sikap Ta’ashub (fanatik) terhadap syaikh Anu, ustadz Anu, kyai Fulan, jama’ah Anu dan lain-lain.

4. Tertutup dan Wawasan yang Sempit

Kita dapati kebanyakan kelompok dan perkumpulan bersifat tertutup, tidak meyebarkan sesuatu kecuali untuk anggotanya saja, dan melarang pengikutnya untuk mendengar dari kelompok lain. Dan kebanyakan pemikiran yang menyimpang dan fanatik tumbuh dalam pemikiran-pemikiran yang bersifat rahasia (sir), bawah tanah, dan lingkungan yang tertutup serta menganggap salah terhadap kelompok selain mereka. Dan tidak jarang mereka mengkafirkan kelompok lain, ini jika fanatik tersebut kepada kelompok keagamaan.

5. Pendidikan Keluarga yang Salah

Tumbuh di keluarga yang membeda-bedakan warna kulit, atau bangsa, atau suku, atau kelompok, atau pemikiran dan pemberian semangat fanatisme dan sikap ekstrim akan menghasilkan manusia-manusia yang fanatik, tertutup, dan ekstrim. Keluarga adalah benih masyarakat, dan dampak pendidikan keluarga pasti nampak terlihat di masyarakat tersebut, dan terkadang dampak pendidikan yang salah tersebut mendominasi perilaku masyarakat, yang akhirnya muncullah masyarakat yang fanatik dengan kelompoknya dan tertutup dari masyarakat lain.

6. Pemahaman Agama yang Salah

Tidak diragukan lagi bahwa penyimpangan/kesalahan dalam memahami agama merupakan salah satu sebab yang inti. Maka dari itu, fanatisme Nashrani dalam memusuhi Islam juga disebabkan karena pemahaman yang salah terhadap dasar-dasar agama Nashrani itu sendiri. Demikian juga fanatik Madzhab yang berakibat pada penolakan terhadap madzhab lain di dalam Islam merupakan hasil dari pemahaman yang salah di dalam mengikuti/meneladani para Ulama.

7. Hilangnya Akhlak dalam Berinteraksi dengan Orang yang Berbeda Pendapat dengan Kita.

Seperti (hilangnya) sikap adil, pertengahan, netral, dalam hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda pendapat, yang semestinya memujinya jika “lawan” kita benar, membelanya jika ada orang menzhaliminya atau menganiayanya tanpa hak dan sikap-sikap lain yang termasuk akhlak dalam berbeda pendapat yang akan kita sebutkan insya Allah pada point tentang sikap Islam dalam memandang Ta’ashub.


Dampak Ta’ashub


Semua yang telah kami sebutkan pada pembahasan yang lalu, yaitu tentang fenomena-fenomena Ta’ashub yang tercela adalah di antara dampaknya. Maka Ta’ashub adalah sebab inti dari perpecahan umat ini, bercerai berainya mereka, dan tidak bersatunya mereka. Dan Ta’ashub juga termasuk sumbu fitnah dan permusuhan di antara kelompok, golongan atau suku dalam satu negara dan satu ummat, yaitu umat Islam. Demikian juga Ta’ashub adalah sebab penolakan terhadap orang atau kelompok lain, penolakan untuk hidup rukun dan berdampingan dengan mereka.


Sikap Islam Terhadap Ta’ashub

Islam datang untuk memerangi semua bentuk Ta’ashub. Hal itu nampak dari hal-hal berikut:

1. Dalam Islam, bani Adam (manusia) adalah makhluk yang dimuliakan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ …{70}

”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, ...” (QS. Al-Isro': 70)


Dan Allah berfirman:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لتعارفوا … {13}

”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal...” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Maka tak ada kelebihan/ keunggulan orang Arab di atas orang ‘Ajam (non Arab), tidak pula orang berkulit merah di atas kulit hitam, kecuali dengan ketakwaan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada kita.

2. Islam memerintahkan kita berlaku adil dan bersikap pertengahan, Dia berfirman:


إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ {90} 

”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Nahl: 90).


3. Setiap tolong-menolong dalam perbuatan dosa diharamkan di dalam Islam. Dia berfirman:

… وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ … {2}

”… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. …” (QS. Al-Maa’idah: 2).

4. Islam mensyari’atkan dan memerintahkan saling membela antar orang-orang yang beriman di dalam al-Haq (kebenaran) dan dalam menolak kezhaliman. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ … {71}

”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, ...” (QS. At-Taubah: 71).


Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إذا كان مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إن كان ظَالِمًا؟ فقال تحجره أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره

”Tolonglah saudaramu baik dia dalam keadaan berbuat zhalim (aniaya) atau dizhalimi.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika ia dalam keadaan dizhalimi, lalu jika ia berbuat zhalim bagaimana aku harus menolongnya? Beliau bersabda: ”Halangilah atau cegahlah dia dari berbuat zhalim, itulah bentuk pertolongannya.” (HR. Muslim).

Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:


."من نصر قومه على غير الحق فهو كالبعير الذي ردى فهو ينزع بذنبه "

”Barang siapa yang menolong/ membela kaumnya tidak di atas kebenaran, maka ia seperti onta yang terjatuh ke sumur dan diangkat dengan menarik ekornya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

5. Di dalam Islam landasan atau dasar dalam mengunggulkan seseorang di atas orang lain adalah ketakwaan dan amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:


َ… إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ {13}

”… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ وَفِي

”Hendaklah kaum-kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah mati berhenti dari perbuatannya. Sesungguhnya mereka (nenek moyang tersebut) hanya arang neraka Jahannam. Atau (kalau mereka (kaum-kaum itu) tidak berhenti) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari seekor kelabang hitam yang mengendus kotoran manusia dengan hidungnya, Sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian seruan Jahiliyyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. (Yang ada) hanyalah orang mukmin yang bertakwa dan orang fajir (pendosa) yang celaka. Manusia semuanya adalah anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah.” (HR. Imam at-Tirmidzi).

6. Islam melarang kezahliman dan perbuatan melampui batas sekalipun terhadap orang yang berselisih pendapat dengan orang tersebut. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

”Takutlah terhadap perbuatan zhalim, sebab kezhaliman adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari).

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

… وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى …

”…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. …(QS. Al-Maidah: 8).

7. Islam memerangi pengkultusan terhadap manusia dan melarang menempatkan manusia di atas kedudukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولُُ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللهَ شَيْئًا … {144}

”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; …” (QS. Ali Imraan: 144).

8. Islam agama kasih sayang dan saling menghargai terhadap orang yang berselisih pendapat. Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ {107}

”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107).



Yang Perlu Diketahui

Ikhtilaf (perbedaan) pasti terjadi di antara kita dan tidak mungkin dihindari, karena kita manusia, yang bisa salah dan benar, kita bukan malaikat. Maka kita tidak bisa menghilangkan perbedaan pendapat itu dan menghapuskannya. Akan tetapi yang kita mampu adalah mempersempit dan memperkecil perbedaan, bersikap dan berinteraksi yang baik dengan perbedaan tersebut. Dan yang terpenting dan wajib adalah beradab dengan adab-adab Islami dalam bergaul dan bermuamalah dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita.

Bukan termasuk Ta’ashub, yaitu bila merasa bangga dengan tokoh-tokoh Islam, dan menjelaskan kebesaran agama ini, dan bahwasanya agama ini datang untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Pencipta hamba tersebut (yaitu Allah). Dan bahwasanya Islam adalah agama penutup yang telah diridhai oleh Allah untuk seluruh manusia. Dan pribadi muslim yang seperti ini menolak untuk mengekor dan tunduk di hadapan musuh-musuhnya yang menyebabkan ia dituduh dan digelari sebagai orang yang fanatik, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, di mana orang-orang yang berusaha mengamalkan agamanya dan berpegang teguh dengannya dianggap sebagai orang yang fanatik dan tidak toleran.

Demikian juga tidak termasuk sebagai Ta’ashub bila berdiskusi, berdialog, dan berdebat ilmiah dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Demikian juga membantah orang tersebut dengan bantahan ilmiah, menyingkap kekeliruannya, dan menjelaskan jenis kesalahannya jika itu sebuah kekafiran/ kekufuran, atau kebid’ahan, atau kemaksiatan dengan tetap menjaga adab dalam melakukan kritik ilmiah, adab berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat dan tidak menjulukinya dengan julukan fanatik hanya karena penyelisihannya terhadap Anda tersebut.

[Sumber: Diterjemahkan dengan sedikit gubahan dari

" مظاهره – أسبابه – نتائجه -البعد الشرعي  التعصب " 
karya Dr. ‘Adil ad-Dakhmi. Diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono, 
via: https://www.alsofwah.or.id].

Wasiat 4 Imam Madzhab, Ikuti Sunnah Tinggalkan yang Menyelisihinya!


Dalam buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam Menurut Sunnah yang Shahih, terjemahan dari kitab Shifah Shalaatin Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam minat Takbiir ilat Tasliimi ka-annaka Taraahaa, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, semoga Allah merahmatinya, beliau mengawalinya dengan sebuah Muqaddimah yang berjudul “Perkataan Para Imam (Madzhab) untuk Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Perkataan Mereka jika Menyelisihi Sunnah.”

Muqaddimah ini sangat tepat mengingat adanya berbagai perselisihan pendapat di kalangan umat, dari sejumlah orang yang mengklaim sebagai pengikut dari masing-masing madzhab, yang memandang pendapat dan perkataan para imam madzhab itu seolah-olah turun langsung dari langit, hingga tidak bisa diselisihi. Padahal para imam madzhab itu, semoga Allah merahmati mereka semua, adalah hamba-hamba Allah yang bersungguh-sungguh untuk berada tegak di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

Sedikit untuk mengingatkan bahwa: 
1. Madzhab Hanafi, dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriyah, dan wafat pada tahun 150 Hijriyah. 

2. Madzhab Maliki, dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93 Hijriyah, dan wafat pada tahun 179 Hijriyah.

3. Madzhab Syafi’i, dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, atau ‘Asqalan, atau Yaman pada tahun 150 Hijriyah, dan wafat di Mesir pada akhir Rajab tahun 204 Hijriyah. 

4. Madzhab Hanbali, dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan di Baghdad, pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Wafat di kota yang sama pada hari Jum’at, 12 Rabiul Awwal tahun 241 Hijriyah.

Melalui berbagai riwayat yang shahih yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani diketahui bahwa empat Imam Madzhab telah berwasiat, telah memberikan sejumlah nasihat dan memerintahkan pengikutnya untuk meninggalkan pendapat mereka bila ternyata pendapat mereka menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Bahkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah memerintahkan para sahabatnya untuk menisbatkan Sunnah yang shahih kepadanya, walaupun beliau tidak (belum sempat) mengambil Sunnah tersebut, atau bahkan berpendapat dengan pendapat yang menyelisihi Sunnah tersebut.

Berikut ini wasiat atau perkataan dari empat Imam Madzhab, yang terdapat dalam muqaddimah buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam Menurut Sunnah yang Shahih, terbitan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, 2006.

Perkataan Para Imam untuk Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Perkataan Mereka jika Menyelisihi Sunnah

Merupakan sesuatu yang bermanfaat jika di sini kami bawakan sebagian pernyataan mereka yang kami ketahui. Semoga dalam perkataan mereka ada sesuatu yang menjadi nasihat dan peringatan bagi orang-orang yang taqlid kepada mereka -bahkan taqlid orang-orang yang tingkat pemahamannya berada di bawah mereka sudah mencapai derajat taqlid buta[1] dan berpegang teguh dengan pendapat mereka, seolah-olah perkataan mereka itu turun langsung dari langit. Sedangkan Allah ’Azza wa Jalla berfirman:

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. (QS. Al-A'raaf: 3).


1). Imam Abu Hanifah rahimahullah 


Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Telah diriwayatkan dari beliau oleh para sahabat beliau perkataan-perkataan yang berbeda-beda dan ungkapan-ungkapan yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya mengarah pada satu hal, yaitu wajibnya berpegang teguh dengan hadits dan meninggalkan taqlid kepada pendapat-pendapat para imam yang menyelisihi hadits.

Beberapa perkataan Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagai berikut:

1. “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”[2]

2. “Tidak halal bagi seorangpun mengambil pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari mana (dengan dasar apa) kami mengambil pendapat tersebut.”[3]

Dalam riwayat yang lain:
3. “Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku, untuk berfatwa dengan pendapatku.”


Pada riwayat lain ditambahkan:
4. ”Kami ini hanya manusia belaka, kami mengemukakan suatu pendapat pada hari ini, dan kami rujuk (tinjau) kembali esok hari.”

Dalam riwayat lain disebutkan:
5. ”Celaka engkau wahai Ya’qub! (yaitu Abu Yusuf), jangan engkau tulis setiap apa yang engkau dengar dariku. Sungguh aku terkadang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini, dan aku tinggalkan esoknya, dan terkadang esok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan esok lusa.”[4]

6. ”Apabila saya mengutarakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka tinggalkanlah perkataanku!”[5]


2). Imam Malik bin Anas rahimahullah

Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:

1. ”Saya ini hanya seorang manusia, bisa salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut, dan setiap pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapat itu!”[6]

2. ”Tidak ada seorangpun sepeninggal Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam kecuali pendapatnya bisa diambil atau bisa juga ditolak, kecuali Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam.”[7]

Berkata Ibnu Wahab: “Saya pernah mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kedua kaki ketika wudhu’. Beliaupun menjawab: 'Manusia tidak wajib melakukannya’. Berkata Ibnu Wahab: ‘Saya pun membiarkan beliau, hingga manusia (di sekeliling beliau) berkurang (menjadi sedikit), kemudian saya berkata: ‘Menurut kami hal itu adalah Sunnah.’ Beliau (Imam Malik) bertanya: ‘Apa dalilnya?’ Saya jawab: ‘Telah mengabarkan kepada kami al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Luhai’ah dan ‘Amr bin al-Harits, dari Yazid bin ‘Amr al-Mu'afiri, dari Abi ‘Abdurrahman al-Habali, dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, ia berkata: ‘Saya melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggosok sela-sela jari kedua kakinya dengan jari kelingking.’ Lalu beliau (Imam Malik) berkata: ‘Hadits tersebut adalah hadits hasan, dan saya tidak pernah mendengar sebelumnya, kecuali pada saat ini.’ Kemudian setelah kejadian itu saya mendengar beliau ditanya tentang hal itu, lalu beliau memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jemari.”[8]


3). Imam Asy-Syafi’i rahimahullah

Adapun nukilan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah lebih banyak dan lebih baik,[9] dan pengikut beliau adalah lebih banyak mengamalkan pesan beliau tersebut dan lebih beruntung. Di antara perkataan beliau:

1. ”Tidak ada seorangpun kecuali ia memiliki kemungkinan untuk lupa terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan tersembunyi darinya. Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi perkataanku, maka pendapat yang harus diikuti itu adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dan akupun berpendapat dengannya.”[10]

2. ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) bahwa barangsiapa yang mengetahui secara jelas suatu Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan Sunnah tersebut karena perkataan (pendapat) seseorang.”[11]

3. ”Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka berpendapatlah kalian sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Dalam riwayat yang lain: ”Maka ikutilah Sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang pun.”)[12]

4. ”Apabila suatu hadits telah jelas shahih, maka itulah madzhabku.”[13]

5. “Engkau[14] (maksudnya Imam Ahmad bin Hanbal) lebih tahu tentang hadits dan para perawi dibandingkan aku, apabila didapatkan suatu hadits yang shahih maka beritahulah aku, darimana pun hadits tersebut berasal, baik dari orang Kufah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa berpendapat dengannya, apabila hadits itu shahih.”

6. “Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali pendapatku, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati.”[15]

7. “Apabila kalian melihat aku mengucapkan suatu pendapat, sedangkan telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam hadits yang menyelisihi pendapatku, maka ketahuilah bahwasanya akalku telah hilang!”[16]

8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi adalah lebih utama, janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”[17]

9. “Setiap hadits dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam maka itu adalah pendapatku juga, walaupun kalian tidak pernah mendengarnya dariku.”[18]


4). Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Adapun Imam Ahmad rahimahullah, beliau adalah imam yang paling banyak menghimpun hadits dan paling berpegang teguh kepada hadits, sampai-sampai dikatakan: “Beliau membenci menulis buku yang berisi masalah furu' dan ra'yu.”[19]

Oleh karena itu beliau berkata:

1. “Janganlah kalian bertaqlid kepadaku dan jangan pula kalian bertaqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.”[20]

2. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Janganlah kalian bertaqlid dalam agama kalian kepada salah seorang di antara mereka (para imam). Apapun yang datang dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya, maka ambillah, kemudian pendapat para Tabi’in, setelah mereka boleh dipilih.” Pada suatu saat beliau juga berkata: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya, kemudian setelah pendapat para Tabi’in ia boleh memilih.”[21]

3. "Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanya pendapat, bagi saya semuanya sama. Yang menjadi hujjah hanyalah atsar (hadits).”[22]

4. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka ia berada pada jurang kehancuran.”[23]


Demikianlah perkataan mereka -semoga Allah meridhai mereka- dalam masalah berpegang teguh kepada hadits, dan larangan taqlid kepada mereka tanpa ilmu. Ini adalah perkara yang sudah jelas yang tidak bisa dipungkiri dan ditakwil lagi. Oleh karena itu barang siapa yang berpegang teguh pada setiap keterangan yang shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, walaupun menyelisihi sebagian dari pendapat para imam, maka ia tidaklah dikatakan meninggalkan madzhabnya dan tidak juga keluar dari jalan mereka, bahkan ia berarti telah mengikuti mereka semua, dan berpegang teguh dengan buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Orang yang meninggalkan Sunnah yang shahih hanya karena Sunnah itu menyelisihi pendapat mereka tidaklah demikian keadaannya, bahkan dengan perbuatan tersebut, berarti ia telah durhaka kepada para imam, dan mereka telah menyelisihi perkataan mereka (para imam) di atas. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Maka Demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65).

Allah juga berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63).


Berkata al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Wajib hukumnya bagi orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan mengetahuinya, untuk menjelaskannya kepada umat, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintah beliau, walaupun perintah tersebut menyelisihi pendapat tokoh terkemuka dalam umat, karena perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti daripada pendapat tokoh terkemuka manapun yang menyalahi perintah Rasulullah dalam berbagai hal karena kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itulah, para Sahabat dan orang-orang setelah mereka membantah setiap orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih, terkadang mereka membantahnya dengan keras,[24]bukan karena benci terhadap orang yang dibantah, bahkan orang yang dibantah tersebut merupakan orang yang mereka cintai dan muliakan. Namun Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam adalah lebih mereka cintai, dan perintah beliau di atas perintah semua makhluk. Apabila perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam berlawanan dengan perintah orang selain beliau, maka perintah Rasulullah adalah lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti. Hal ini tidak menghalangi seseorang untuk memuliakan orang yang menyelisihi perintah beliau tersebut, meskipun orang tersebut adalah orang yang diampuni.[25] Bahkan orang yang menyelisihi namun diampuni tersebut (para imam), tidak akan benci jika perintahnya tidak ditaati apabila nampak bahwa perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi perintahnya.[26]

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Bagaimana mereka (para imam) bisa membenci hal tersebut sedangkan mereka sendiri memerintahkan para pengikut mereka untuk melakukannya dan mewajibkan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka yang menyelisihi Sunnah? Bahkan Imam Asy-Syafi’i memerintahkan para sahabatnya untuk menisbatkan Sunnah yang shahih kepadanya, walaupun beliau tidak mengambil Sunnah tersebut, atau bahkan berpendapat dengan pendapat yang menyelisihi Sunnah tersebut. Oleh karena itu ketika muhaqqiq Ibnu Daqiq al-‘Id mengumpulkan berbagai permasalahan, yang mana dalam permasalahan itu setiap imam yang empat menyelisihi hadits yang shahih, baik sendiri maupun secara bersama-sama dalam satu kitab yang tebal, beliau berkata pada awal kitab tersebut: “Sungguh penisbatan permasalahan-permasalahan ini kepada imam-imam mujtahid adalah haram. Wajib bagi para ahli fiqih yang mengikuti mereka mengetahui hal ini, sehingga mereka tidak menisbatkan (mengatasnamakan) permasalahan tersebut kepada mereka (para imam), yang membuat mereka berdusta atas nama para imam.”[27]


-------------
Foot  Note:
[1] Sikap taqlid seperti inilah yang dimaksud oleh Imam Thahawi dalam perkataannya: “Tidaklah bertaqlid, kecuali orang yang fanatik atau bodoh.” Perkataan ini dibawakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitab Rasmul Mufti (hal. 23, juz 1), dalam Majmuu'ah Rasaa-il beliau.

[2] Diriwayatkan oleh Ibnu Abidin dalam Al-Haasyiyah (I/63) dan dalam tulisan beliau Rasmul Mufti (I/4) dari kumpulan-kumpulan tulisan/ Majmuu’ur Rasaa-il  Ibni Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih al-Filani dalam kitab Iiqaazhul Himam (hal. 62), dan diriwayatkan juga oleh lainya. Ibnu Abidin menukil dari Syarhul Hidayah, karya Ibnu asy-Syahnah al-Kabir, guru Ibnul Humam, yang berbunyi: “Apabila suatu hadits itu shahih dan menyelisihi pendapat madzhab, maka yang diamalkan adalah hadits, dan pengamalannya dengan hadits itu menjadi madzhab beliau (Abu Hanifah). Seseorang yang taqlid terhadap madzhab Hanafi tidak akan keluar dari madzhabnya karena mengamalkan hadits tersebut, sebab telah shahih dari Abu Hanifah bahwasanya beliau berkata: “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itu adalah madzhabku.”  Hal ini telah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan imam-imam yang  lainnya dari Abu Hanifah.

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Sikap ini timbul dari kesempurnaan ilmu mereka dan ketakwaan mereka, dimana mereka telah mengisyaratkan dengan perkataannya tersebut bahwasanya mereka tidaklah mengetahui semua Sunnah. Imam As-Syafi’i telah menyetakan hal ini dengan jelas, seperti perkataan beliau yang nanti akan kami bawakan, bahwasanya bisa saja terjadi pada diri mereka suatu hal yang menyelisihi  Sunnah yang belum sampai kepada mereka (belum mereka ketahui). Oleh karena itu mereka memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan Sunnah, menjadikan Sunnah tersebut sebagai madzhab mereka rahimahullah.

[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al-Fuqaha (hal. 145), Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (II/309), Ibnu Abidin dalam hasyiyah (catatan kaki) al-Bahrur Raa-iq (VI/293), dan Rasmul Mufti (hal. 29 dan 32), asy-Syarani dalam al-Miizaan (I/55) dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan oleh ‘Abbas ad-Duri dalam at-Tarikh, karya Ibnu Mu'in (VI/77/1) dengan sanad yang shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam al-Iqaazh (hal. 52), kemudia Ibnu Qayyim (II/344) menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf dan memberi keterangan tambahan dalam ta'liq terhadap kitab al-Iiqaazh dikutip dari Ibnu Abdil Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain.

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Apabila perkataan mereka kepada orang yang tidak mengetahui dalil mereka saja seperti ini, -seandainya saya mengetahui-, apakah yang akan mereka katakan kapada orang yang mengetahui bahwasanya dalil menyelisihi pendapat mereka, kemudian orang tersebut berfatwa menyelisihi dalil tersebut (mengikuti pendapat mereka)? Perhatikan ucapan mereka ini! Sungguh, satu saja dari kalimat-kalimat tersebut cukup untuk menghancur leburkan taqlid buta. Oleh karena itu, sebagian ulama yang bertaqlid kepada Abu Hanifah menolak penisbatkan perkataan ini kepada beliau ketika fatwa mereka dengan dasar pendapat Abu Hanifah, sebab Abu Hanifah yang tidak ia ketahui dalilnya Anda ingkari dengan perkataan Abu Hanifah ini.

[4] Hal itu terjadi karena Imam Abu Hanifah banyak mendasarkan pendapatnya dengan qiyas, lalu tampak baginya qiyas yang lebih kuat, atau sampai kepadanya hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan ia pun mengambil hadits tersebut, lalu meninggalkan pendapatnya yang terdahulu. Berkata asy-Sya'rani, dalam kitab al-Miizaan (I/62), berikut ringkasannya:

Keyakinan kami kepada Abu Hanifah adalah keyakinan yang adil dan obyektif, bahwasanya sseandainya beliau hidup sampai ditulisnya ilmu syar’i dan setelah para penghafal hadits melakukan perjalanan mengumpulkan hadits dari negeri-negeri dan perbatasan, kemudian beliau mendapatkan hadits-hadits tersebut, niscaya beliau akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua qiyas yang beliau lakukan, sehingga qiyas pada madzhab beliau bisa sedikit, sebagaimana pada madzhab yang lainnya, jika dibandingkan dengan madzhab beliau. Namun karena dalil-dalil syar’i pada zamannya masih terpencar dengan terpencarnya Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in di kota-kota, desa-desa, dan perbatasan, maka menjadi banyaklah qiyas dalam madzhab beliau dibandingkan dengan madzhab lainnya dari para imam, karena darurat, sebab tidak adanya nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam permasalah-permasalah yang beliau qiyaskan. Berbeda dengan imam-imam lainnya, karena pada pada zaman mereka para penghafal hadits telah melakukan perjalanan untuk mencari hadits-hadits dan mengumpulkannya dari berbagai kota dan desa, lalu mereka menulis hadits-hadits tersebut. Akhirnya sebagian hadits-hadits saling melengkapi terhadap sebagian yang lainnya. Inilah sebagian faktor yang menyebabkan banyaknya qiyas dalam madzhab Abu Hanifah, dan sedikitnya qiyas dalam madzhab-madzhab yang lain.

Sebagian besar  pendapat madzhab Hanafi dinukil oleh Abu Hasanat dalam kitab at-Taariikh al-Kabir. Beliau memberikan catatan dengan keterangan yang mendukung dan  menjelaskan pendapat-pendapat tersebut, barang siapa yang menghendaki silahkan melihat kembali kitab tersebut.

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Jika hal ini yang menjadi udzur (alasan) Abu Hanifah sehingga beliau banyak menyelisihi hadits-hadits shahih tanpa sengaja, -udzur ini adalah udzur yang dapat diterima, karena Allah tidak membebani seorang hamba, kecuali apa yang ia mampu mengerjakannya- maka kita tidak boleh mencela beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang bodoh, sebaliknya kita justru wajib menghormati beliau, karena beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin, yang dengan perantaraan merekalah agama ini dipelihara, dan permasalahan yang merupakan cabang bisa sampai kepada kita. Beliau mendapat ganjaran pahala walau bagaimanapun, entah beliau benar atau yang salah. Demikain pula tidak boleh bagi orang-orang yang memuliakan beliau tetap berpegang teguh dengan pendapat beliau yang bertentangan dengan hadits-hadits, karena pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits tersebut bukanlah madzhab beliau lagi, sebagaimana perkataan beliau yang dapat Anda baca.

Sebagian para imam tersebut berada pada suatu lembah dan yang lain berada pada lembah yang lain, sedangkan kebenaran berada di antara para imam tersebut. Oleh karena itu: “... Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10).

[5] Diriwayatkan oleh al-Filani  dalam kitab al-Iiqaazh (hal. 50), menisbatkannya kepada Imam Muhammad, juga kemudian beliu berkata:
“Perkataan ini dan semisalnya bukanlah ditujukan kepada seorang mujtahid, karean seorang menjadi sifat mujtahid tidak boleh menjadikan perkataan para imam sebagai hujjah, namun perkataan ini ditujukan kepada para muqallid (orang yang taqlid).”

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Berdasarkan hal ini, asy-Syarani dalam al-Miizaan (I/26) berkata: “Apabila Anda bertanya, apa tindakannku terhadap hadits shahih sepeninggal imamku, sedangkan beliau dahulu tidak mengambil hadits tersebut?” Jawabannya yang wajib engkau lakukan adalah engkau mengamalkan hadits tersebut, karena seandainya imammu mendapati hadits tersebut dan hadits itu shahih menurutnya, tentu beliau akan menyuruhmu mengamalkan hadits tersebut, karena semua imam adalah tawanan (yang harus patuh pada syari’ah). Barangsiapa yang mengamalkan hadits, maka ia telah mengumpulkan kebaikan dengan kedua tangannya. Barangsiapa yang berkata: “Saya tidak akan mengamalkan suatu hadits, kecuali imam imam saya mengambil hadits tersebut,” maka ia telah kehilangan banyak kebaikan, sebagaimana terjadi pada sebagian orang-orang yang taqlid kepada para imam madzhab. Yang lebih utama bagi mereka adalah mengamalkan setiap hadits yang shahih yang ada sepeninggal imam mereka, sebagai bentuk pelaksanaan wasiat mereka, karena keyakinan kita kepada para imam tersebut bahwa seandainya mereka itu masih hidup dan mendapatkan hadits-hadits yang shahih sepeninggal mereka, niscaya mereka akan mengambilnya, mengamalkan apa yang terdapat didalamnya, dan meninggalkan semua qiyas yang dahulu pernah mereka lakukan atau setiap pendapat yang dahulu pernah mereka kemukakan.”

[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jaami’ (II/32), Ibnu Hazm meriwayatkan juga dari beliau dalam Ushul al-Ahkam (VI/149), demikian pula al-Filani dalam al-Iiqaazh.

[7] Perkataan ini masyhur dikalangan ulama mutaakhir/ kontemporer (sekarang) dinisbatkan kepada Imam Malik. Ibnu Abdil Hadi menshahihkan dalam kitabnya Irsyaadus-Saalik (I/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abdil Barr dalam kitab al-Jami (II/291), dan Ibnu Hazm dalam kitab Ushul al-Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan al-Hakam bin Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin as-Subki juga meriwayatkan dengan merasa takjub pada indahnya perkataan ini, dalam kitab al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu Abbas, kemudian beliau (as-Subki) berkata: “Perkataan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu Abbas, kemudian Malik mengambilnya dari beliau berdua, kemudian perkataan ini menjadi masyhur dari ucapan beliau.”

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Kemudian Imam Ahmad pun mengambil perkataan ini dari mereka. Abu Dawud berkata dalam Masaa-il al-Imam Ahmad (hal. 276) mengatakan: Saya mendengar Ahmad berkata, ‘Tidak ada seorang pun kecuali perkataannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

[8] Dalam Muqaddimah kitab al-Jarh Wat-Ta'diil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam as-Sunnan (I/81).

[9] Ibnu Hazm berkata dalam kita VI/118: “Sesungguhnya para ahli fiqh yang diikuti tersebut menganggap taqlid itu merupakan hal yang bathil. Sungguh, mereka melarang para sahabatnya bertaqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Asy-Syafi'i, beliau menegaskan dengan sangat agar mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh hujjah, tidak sebagaimana imam lainnya yang tidak sekeras beliau. Beliau berlepas diri dari orang-orang yang bertaqlid kepada beliau secara umum, dan beliau mengumumkan mengumumkan sikap beliau tersebut. Semoga Allah memberi manfaat melalui beliau, dan memperbanyak ganjaran pahala bagi beliau, beliau telah menjadi sebab adanya kebaikan yang banyak.”

[10] Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam asy-Syafii seperti tersebut dalam kitab Tarikh Dimasyqakarya Ibnu 'Asakir (XV/1/3)I'laamul-Muwaqqi'iin (II/363-364), Al-Iiqaazh (hal. 100).

[11] Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani (hal. 68).

[12] Al-Harawi dalam kitab Dzammu Kalaam (III/47/1), Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al-Majmu' (I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al-Filani (hal. 100) dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al-Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau (Imam Asy-Syafi’i).

[13] Imam An-Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani (hal. 107). Sya'rani berkata: Ibnu Hazm menyatakan hadist ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain.”

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Perkataan beliau (Imam Asy-Syafi’i) setelah perkataannya yang ini jelas menunjukkan makna yang seperti ini, berkata an-Nawawi, berikut ini ringkasannya:

"Para sahabat kami (ulama madzhab Asy-Syafi’i) telah menjalankan wasiat ini dalam masalah tatswiib, (mengulang kalimat adzan), mempersyaratkan tahallul dari ihram jika terhalang oleh sakit, dan permasalahan lainnya yang populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Di antara sahabat-sahabat kami, yang meriwayatkan bahwa beliau berfatwa dengan hadits adalah: “Abu Yaqub al-Buwaithi, Abul-Qasim ad-Dariqi. Dan diantara sahabat-sahabat kami, ahli hadits yang memakai kaidah ini, yaitu Imam Abu Bakar al-Baihaqi dan lainnya. Sebagian besar dari pendahulu sahabat kami (pendahulu ulama madzhab asy-Syafi’i) jika mendapati suatu masalah yang dalam permasalahan tersebut ada hadits yang diriwayatkan, sedangkan pendapat dalam madzhab asy-Syafi’i menyelisihi hadits tersebut, maka mereka mengamalkan hadits dan berfatwa dengan hadits tersebut, dengan mengatakan: Madzhab asy-Syafi'i adalah apa yang sesuai dengan hadits.” 

Berkata Syaikh Abu Amer:Barangsiapa diantara pengikut madzhab Asy-Syafi’i mendapatkan suatu hadits yang bertentangan dengan madzhabnya, maka dipertimbangkan. Apabila sarana ijtihad lengkap terdapat pada dirinya, secara umum (dalam semua permasalahan) -atau lengkap dalam bab atau permasalahan itu-, maka ia boleh bebas mengamalkan hadits tersebut. Apabila sarana itu belum lengkap, -kemudian ia berat untuk menyelisihi hadits tersebut, setelah ia mengadakan penelitian dan dan ia tidak menjumpai jawaban yang memuaskan dari orang yang menyelisihi hadits tersebut-, maka ia boleh mengamalkan hadits tersebut jika ada imam lain yang berdiri sendiri mengamalkan hadits tersebut, selain Imam Asy-Syafi'i, maka hal ini bisa menjadi alasan yang bisa diterima, sehingga ia meninggalkan pendapat madzhab imamnya. Dan pendapat yan ia pilih adalah bagus. Wallaahu a'lam.

Komentar saya (Syaikh al-Albani): Dalam hal ini ada suatu keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu apabila ia tidak mendapatkan imam lain yang mengamalkan hadits tersebut, apakah yang harus ia lakukan? Permasalahan ini dijawab oleh Taqiyuddin as-Subki dalam kitab risalah tentang maksud ucapan Imam Asy-Syafi’i/ Ma’na Qaulisy Syafi’i: Idzaa Shahhal Hadiits (hal. 102, juz 3), beliau berkata:
"Menurut saya yang lebih utama adalah mengikuti hadits. Seseorang hendaknya membayangkan bahwa ia seolah-olah berada di hadapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan ia mendengar beliau bersabda seperti itu. Lalu apakah ia mempunyai keleluasaan untuk menunda pengamalan sabda beliau? Tidak, demi Allah, ... setiap orang dibebani sesuai yang ia pahami.”

Pembahasan yang sempurna tentang hal ini dapat Anda jumpai I'laamul Muwaqqi'iin (II/302 dan 370), dan kitab dari al-Filani berjudul Iiqaazhu Himami Ulil Abshaar lil Iqtidaa-i bi Sayyidil Mauhaajirin wal Anshaar.... Ini adalah sebuah kitab yang tidak ada tandingannya dalam bab/ masalah ini, setiap orang yang mencintai kebenaran wajib mempelajarinya dengan mencurahkan pemahaman dan perhatian.

[14] Orang yang dimaksud adalah Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adab Asy-Syafi(hal. 94-95), Abu Nuaim dalam Al-Hilyah (IX/106), dan al-Khathib dalam al-Ihtiijaj bisy Syafi’i (VIII/1), dari beliaulah Ibnu Asakir meriwayatkan perkataan ini (XV/9/1), begitu pula Ibnu Abdil Barr dalam al-Intiqa(hal. 75), Ibnu Jauzi dalam Manaaqib Al-Imam Ahmad (hal. 499), dan al-Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya: “Bahwasanya Asy-Syafi'i pernah berkata kepadanya ...,“ riwayat ini shahih dari beliau (Imam Ahmad). Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatan perkataan ini kepada beliau (Imam Ahmad) dalam al-I'laam (III/325), juga al-Filani dalam Al-Iiqaazh (hal. 152), kemudian beliau berkata: “Berkata al-Baihaqi: Oleh karena itu beliau (Imam asy-Syafi'i) banyak mengambil hadits, beliau telah mengumpulkan ilmu dari penduduk Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq.’ Beliau telah mengambil semua hadits yang shahih menurut beliau, tanpa memihak kepada salah satu darinya, juga tidak condong kepada madzhab sedang dicenderungi oleh penduduk negerinya walaupun jelas bagi mereka kebenaran itu ada pada selain mereka. Sebelum beliau ada orang-orang yang membatasi diri pada apa yang dikenal dalam madzhab penduduk negerinya, mereka tidak bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kebenaran pendapat yang menyelisihi mereka. Semoga Allah mengampuni kita dan dan mereka juga.”

[15] Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/107), al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam al-I'alamul Muwaqqi’iin(II/363) dan al-Filani (hal. 104).

[16] Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi(hal. 93), Abul Qasim as-Samarqandi dalam al-Amaalii sebagaimana yang tertulis dalam al-Muntaqa (ringkasan dari kitab tersebut), karya Abu Hafsh al-Muaddib (I/234), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih.

[17] Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim (hal 93), Abu Nuaim dan Ibnu Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.

[18] Ibnu Abi Hatim (hal. 93-94).

[19 Ibnu Jauzi dalam Al-Manaaqib (hal. 192).

[20] Al-Filani (hal. 113) dan Ibnul Qayyim dalam I'laamul Muwaqqi’in (II/302).

[21]  Abu Dawud dalam Masaa'il al-Imam Ahmad (hal. 276-277).

[22] Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jaami (II/149).

[23] Ibnul Jauzi hal. 142

[24] Saya katakan : "Walaupun mereka harus membantah bapak-bapak dan ulama-ulama mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Thahawi dalam Syarah Maa'anil Atsaar (I/372), dan Abu Yala dalam Musnad-nya (III/1317) dengan sanad jayyid (baik) dan para perawinya terpercaya. Diriwayatkan dari Salim bin Abdillah bin Umar radhiyallahu anhu, ujarnya:Sungguh saya sedang duduk bersama IbnuUmar dalam masjid, ketika seorang laki-laki dari penduduk Syam datang dan bertanya kepadanya tentang haji tamattu’. Ibnu Umar menjawab: ”Itu adalah cara yang baik.” Orang itu bertanya lagi:Benarkan ayah Anda dulu telah melarang melakukan hal ini? Ibnu ‘Umar menjawab: “Celakalah engkau!” Walaupun ayahku dulu pernah melarang, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya dan menyuruh berbuat seperti itu. Apakah engkau akan mengambil ucapan ayahku ataukah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Orang itu berkata: “Mengambil perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Ibnu Umar berkata: “Sekarang pergilah dari hadapanku.” Imam Ahmad telah meriwayatkan hal serupa (no. 5700), demikian pula at-Tirmidzi dalam Syarh Tuhfah (II/82), kemudian beliau menshahihkannya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir (VII/51/1) dari Ibnu Abu Dzi’ib. Ia berkata: “Sa’d bin Ibrahim (yaitu anak Abdurrahman bin ‘Auf) pernah menjatuhkan hukuman kepada seseorang berdasarkan pendapat Rabi’ah bin Abi ‘Abdurrahman, lalu saya sampaikan kepadanya riwayat dari Rasulullah yang berlainan dengan hukum yang telah ditetapkannya. Sa’d berkata kepada Rabi’ah: ‘Orang ini adalah Ibnu Abi Dzi’ib, menurutku dia seorang yang terpercaya, ia telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam riwayat yang berlainan dengan ketetapan yang aku putuskan (berdasarkan pendapatmu). Rabi’ah menjawab: ‘Saya telah berijtihad dan keputusanmu telah berlalu.’ Sa’d berkata: ‘alangkah mengherankan, aku telah menjalankan keputusan Sa’d, namun aku (tidak) menjalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam!? Semestinya aku menolak keputusan Sa’d ibnu Ummi Sa’d, dan aku jalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu Sa'ad meminta surat keputusannya dan merobeknya dan kemudian membuat keputusan baru sesuai apa yang diriwayatkan tersebut.”

[25]  Bahkan ia mendapat pahala sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Apabila seorang hakim berijtihad (dalam menetapkan suatu hukum) kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan kemudian salah, maka baginya satu pahala.” (Shahih al-Bukhari dan Muslim dan selain keduanya).

[26]  Beliau (Ibnu Rajab) nukil dalam ta’liq kitab Iiqaazhul Himam (hal. 93).

[27] Al-Filani hal. 99.