Ratusan warga Mali Utara yang mengungsi selama masa pemerintahan mujahidin Anshar Dien mulai berbondong-bondong kembali ke kampung halaman. Mereka memiliki harapan hidup baru setelah pemerintahan mujahidin terbukti memberikan pelayanan publik yang lebih baik dari rezim sekuler Mali.
Penduduk di Mali Utara dan Mali Selatan melaporkan bahwa ratusan pengungsi Mali Utara mulai kembali ke kampung halamannya untuk hidup di bawah naungan syariat Islam. Mereka berharap mendapatkan lapangan pekerjaan, layanan air bersih gratis, layanan listrik gratis dan harga sembako yang lebih murah di wilayah Mali Utara yang diperintah mujahidin Anshar Dien. Demikian laporan kantor berita Iren, Senin (22/10).
Para pedagang di wilayah Mali Utara melaporkan bahwa pemerintahan mujahidin Anshar Dien telah meniadakan pajak atas sembako, memberikan layanan listrik dan air bersih secara gratis, serta menstabilkan harga sembako.
Seorang supir bus jurusan Bamako-Gao-Timbuktu, Goso Traore menjelaskan bahwa bus bus penuh mengangkut pengungsi keluar dari wilayah Mali Utara pada bulan Maret sampai Juni 2012. Kini kondisi berbalik seratus delapan puluh derajat. Bus bus penuh mengangkut para pengungsi kembali ke wilayah Mali Utara.
"Saya kini kembali ke kota Gao, karena biaya hidup di sini lebih murah. Saya tidak perlu membayar listrik dan air bersih. Padahal sebelumnya setiap bulan (di tempat pengungsian di Mali tengah) saya harus mengeluarkan 15.000 frank (sekitar 30 dolar) untuk listrik dan 8000 frank (sekitar 16 dolar) untuk air bersih. Tapi sekarang saya mendapatkannya secara gratis." kata Isa Mahanar, seorang guru Bahasa Perancis yang ikut mengungsi ke wilayah Mali Tengah pada bulan April 2012.
Mahamar menceritakan bahwa pemerintahan mujahidin Anshar Dien menjual sembako di depot dan gudang makanan kepada penduduk setempat dengan harga yang rendah, sehingga masyarakat bisa menyimpannya. "Bayangkan, saat ini harga satu karung beras hanya 20.000 frank (sekitar40 dolar), padahal dulu kami harus membayar 40.000 sampai 50.000 frank (sekitar 80-100 dolar)."
Pelayanan publik yang lebih baik di bidang kebutuhan sembako, air bersih dan listrik secara gratis merupakan buah dari pelaksanaan syariat Islam di wilayah Mali Utara.
Polisi syariat Islam setiap hari berpatroli ke pasar-pasar dan toko-toko untuk menstabilkan harga dan mencegah para pedagang menjual barang di atas harga yang telah ditetapkan pemerintahan mujahidin.
Para penduduk lokal menyebutkan bahwa harga roti pada masa pemerintahan rezim sekuler Mali adalah 300 frank (sekitar 60 sen). Kini pada masa pemerintahan mujahidin Anshar Dien, harganya stabil hanya 200 frank (sekitar 40 sen).
Pemerintahan mujahidin Anshar Dien sendiri telah mengajak seluruh pegawai dan pekerja yang mengungsi untuk kembali ke pekerjaan mereka guna pelayanan publik yang lebih baik di Mali Utara. Para pegawai dan pekerja yang kembali ke Mali Utara kini telah mendapatkan pekerjaannya semula dengan gaji yang lebih baik.
Musa Traore (35 tahun) sebelumnya adalah perawat di rumah sakit Gao sebelum ia mengungsi ke Bamako pada maret 2012. Pada 27 Juni lalu ia kembali ke Gao. Kini ia mendapatkan pekerjaannya sebagai perawat di rumah sakit yang sama dengan gaji 600 dolar setiap bulan. Jumlah itu jauh lebih besar dari gaji yang diterimanya pada masa pemerintah sekuler Mali.
"Saya menetap atas pilihan saya sendiri, untuk kepentingan saya sendiri, seperti dilakukan oleh semua orang. Setiap hari ada dokter dan perawat yang kembali (dari pengungsian) untuk mendapatkan pekerjaan mereka kembali, baru kini pers asing mengakui," kata Traore.
Seorang pengamat politik di ibukota Bamako, Badra Makalo, mengatakan, "Memang benar kelompok Islam menerapkan syariat, memotong anggota badan manusia, merajam dan mencambuk, sesuai bentuk tindak pidana yang dilakukan manusia. Tapi jika engkau menghormati kaidah-kaidah mereka (syariat Islam ), mereka tidak akan mengganggumu sedikit pun."
Kestabilan kehidupan masyarakat Mali Utara di bawah pemerintahan mujahidin Anshar Dien sangat kontras dengan wilayah pemerintahan rezim sekuler Mali di Mali Selatan. Krisis ekonomi dan politik di wilayah Mali Selatan semakin meningkat sebagai akibat dari konflik kekuasaan dan pengaruh pihak investor asing.
Saat ini tiga kekuatan utama bersaing untuk meraih kekuasaan di Mali Selatan. Presiden sementara Dioncounda Traoré, Perdana Mentri Cheick Modibo Diarra dan komandan kudeta militer Amadou Sanogo saling bertikai untuk menjadi penguasa nomor satu di Bamako. Para investor AS, Perancis dan Barat turut memperkeruh pertikaian dengan mendukung salah satu pihak yang dianggap menguntungkan kepentingannya. [Arrahmah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar