Artikel ini mengungkap salah satu cara Kristenisasi sebagai bagian tak terpisahkan dari politik "balas budi", dan terutama tentang korbannya, yaitu Soegija.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa pada prinsipnya dalam melakukan penjajahan dan untuk mempertahankannya, Belanda selain melakukan politik devide et impera juga secara masif melakukan Kristenisasi dengan segala macam cara, yaitu dengan tipuan dalam bungkus politik "balas budi" maupun ancaman dan paksaan seperti terangkum dari pernyataan Menteri Urusan Penjajahan dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Alexander Willem Frederik Idenburg (dalam kutipan dari Robert E. Speer), bahwa: "The issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. Is not Mohammed or Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death." (Pilihan untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau hancur dan mati).
Silahkan menyimak:
Soegija, Jawa Wurung, Landa Durung[1]
Tanggal 25 November 1896[2], hari di mana Soegijapranata lahir adalah era keemasan bagi kegiatan missionarisme di Indonesia. Keuntungan besar yang diperoleh pemerintah Belanda dari hasil merampok kekayaan Indonesia melalui system tanam paksa (cultuurstelsel), demi kehormantan, kata Conrad Th Van Deventer, mengikat Belanda untuk melakukan politik balas budi.[3]
Soegija |
De Kerstening van Indie blijve roeping van het Christenvolk in het moederland, maar vinde, alsook uit staatkundig en maatschappelijk oogpunt van overwegend belang, bij de koloniale Regeering, tegemoitkoming, beide in het verleenen van volle vrijheid en in het geldeijk steunen van onderwijs en krankenvenpleging.
Pengkristenan Nusantara tetap merupakan panggilan rakyat Kristen Eropa (Belanda), yang jika ditinjau dari segi kenegaraan maupun kemasyarakatan adalah juga sangat penting. Maka dari itu, pemerintah kolonial harus memberikan kebebasan yang seluas-luasnya dan tunjangan keuangan dalam melakukan pendidikan dan perawatan (misi).[5]
Selain misionarisme langsung seperti yang diprogramkan Partai Agama di Belanda, juga dilakukan politik Nativisasi. Politik Nativisasi ini dimotori oleh Instituut voor de Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) yang diotaki oleh para cendekiawan dari Netherlands Zending Genootschap (NZG). Awalnya, lembaga yang berdiri pada tahun 1832 ini bertujuan untuk kepentingan penerjemahan Bible ke dalam bahasa Jawa, tapi dalam perkembangannya Lembaga ini menjadi alat politik kebudayaan untuk melakukan de Islamisasi Kebudayaan.
Para Javanolog Belanda dalam Instituut voor de Javaansche Taal ini menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Untuk kemudian menghidupkan kembali tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang "menemukan", "mengembalikan" dan "memberikan makna terhadap Jawa masa lalu". Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda.[6]
Kalau Kristen mendapat kebebasan bergerak dengan dukungan finansial dari pemerintah kolonial Belanda, dakwah Islam berada dalam posisi sebaliknya. Aneka pembatasan dilakukan, mulai dari pembatasan gerak dengan keharusan memiliki passport bagi santri yang ingin berguru di pesantren luar propinsi, pembatasan jama'ah haji dan screening terhadap kitab-kitab yang diperbolehkan masuk ke pesantren-pesantren. Pada masa seperti itulah, seorang anak bernama Soegijapranata lahir dan bertumbuh.
Godaan Dunia dari Muntilan
Pembukaan sekolah-sekolah rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka politik asosioasi dan memperoleh tenaga administrasi murah dari kalangan pribumi, dengan dalih pencerdasan, menyebabkan tingginya permintaan tenaga pengajar pada saat itu. Peluang ini ditangkap Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Jesuit senior yang berkarya di Jawa Tengah. Dalam pandangan Van Lith, posisi strategis guru adalah masa depan bagi perkembangan umat Katolik di Jawa.
Usaha misi diantara bangsa Jawa mulai dengan metode yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung pada pendidikan pemimpin dan guru.[7]
Van Lith kemudian mendirikan Kolese Xaverius, yang merupakan sekolah untuk para calon guru. Kesempatan untuk menjadi guru yang dalam pandangan orang Jawa masuk ke dalam kasta priyayi, merupakan magnet tersendiri bagi kolese Xaverius. Salah seorang alumni Muntilan angkatan 1915, Michael Slamet memaparkan:
Untuk itu, Muntilan telah menjadi "medan magnet" yang mampu menarik banyak orang dari berbagai daerah di Jawa, bahkan juga di luar Jawa untuk belajar di sana. Bagi siswa dan alumni Muntilan, Kolese Xaverius dapat dianggap sebagai "dewa penolong" bagi suatu mobilitas sosial yang dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia. "Harta" didapat, "sorga" diperoleh.[8] Godaan untuk menjadi priyayi inilah yang akhirnya mengantarkan Sogijapranata kecil untuk memutuskan memilih Kolese Xaverius menjadi tempat bagi pendidikan dan pengembangan dirinya.
Soegijapranata, Korban Kristenisasi
Berbeda dengan anak-anak lain yang mudah menyerah dan mengkonversi keislamannya menjadi Katolik, Soegija kecil termasuk "fanatik" dengan keislamannya. Hal ini dikarenakan dalam diri Soegija masih mengalir darah kyai dari kakeknya yang bernama Kyai Soepa, seorang kyai yang cukup terkenal di Yogyakarta. Selain itu Soegija kecil, sebelum sekolah di Kolese Xaverius mempunyai sahabat karib yang alim. Sahabatnya itu sering mengajarkan bahasa Arab dan menceritakan kisah para nabi kepada Soegija kecil. Hal ini ditunjang dengan keberadaan rumahnya yang dekat dengan masjid.[9]
Oleh karena itu, meskipun memutuskan untuk melanjutkan sekolah guru di Kolese Xaverius, Soegija kecil berulangkali menjelaskan bahwa kesediaannya sekolah di Muntilan adalah untuk menjadi guru, bukan menjadi Katolik. Pada saat awal di Muntilan, Soegija mengambil jarak dalam pergaulan. Bahkan untuk mempertahankan prinsipnya tersebut Soegija sering bertengkar dengan para seniornya yang membujuknya untuk menjadi Katolik. Akan tetapi intensitas pergaulan dan pengajaran di Muntilan kemudian mengubah pandangan Soegijapranata.
Namun, pendekatan yang lembut dan santun dari Van Lith dan para Romo yang menjadi membimbing selama di Kolese Xaverius, pelan tapi pasti menggoyahkan keimanan Soegija. Kesan akan kedekatan ini diceritakan oleh Soegija.
Kehidupan asrama diselenggarakan dalam suasana keluarga. Di sana disediakan beraneka ragam permainan dan seperangkat gamelan. Romo van Lith sering mengisahkan kisah sejarah yang terjadi di Eropa atau bercerita hal-hal yang lucu. Ini membuka wawasan pengetahuan anak yang disampaikan secara segar dan dan diselingi dengan gelak tawa. Romo van Lith mengusahakan terciptanya hubungan yang dekat antara guru dan murid. Sebagaimana diceritakan mantan muridnya bahwa di dalam kelas, Romo van Lith tidak segan-segan membagikan makanan sambil berucap "Iki tanda tresna, bocah" (Anak-anak, ini adalah tanda cinta kasih).[10]
Akhirnya Soegija pun luluh, bahkan kemudian justru Soegija kecil yang meminta kepada Van Lith untuk mendapatkan pengajaran agama Katolik bahkan akhirnya minta untuk dibaptis. Sebuah pertarungan iman yang tentu saja tidak seimbang. Seorang Soegija kecil yang ingin derajatnya naik menjadi priyayi, guru yang merupakan kelas terhormat di kalangan bangsa terjajah, yang waktu itu masih berumur 13 tahun ketika memasuki Kolese Xaverius di tahun 1909 bertarung iman dengan Van Lith dan para Romo Jesuit senior. Hal ini dikuatkan fakta bahwa Soegija bukanlah satu-satunya korban, sebab pada akhirnya semua anak muslim yang sekolah di Kolese Xaverius berhasil di Katolik kan seperti yang diuraikan oleh Kareel Steenbrink, dimana anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya muslim dan semuanya tamat sebagai orang Katolik.[11]
Kasihan Soegija dan teman-temannya, keinginannya untuk menaikkan derajat keduniaan telah menyebabkan tergantikannya harta yang paling berharga bagi seorang muslim yakni keimanan dan ke Islaman. Dan bagi umat Islam, Soegija adalah potret buram sejarah yang tidak boleh lagi terulang di masa kini maupun masa depan. [PSPI/Arif Wibowo]
> Mengapa Orang2 Belanda Masuk Islam?> Sepak Terjang Kolonial Belanda dalam Mengkristenkan Jawa
__________________________
_____________
- [1] Istilah Jawa Wurung Landa Durung merupakan pasemon (sindiran) di kalangan orang Jawa, bahwa orang Jawa yang keluar dari agama Islam dan menganut agama Kristen adalah orang yang kehilangan jati diri. Sebab pada masa lalu, orang Jawa identik dengan agama Islam. Bahkan kalau ada orang Jawa yang keluar dari Islam disebut sebagai "Wong Jawa Ilang Jawane".
- [2] G. Budi Subanar, SJ, Soegija Si Anak Betlehem van Java, Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, (Yogyakarta : Kanisius, 2003) hlm. 11
- [3] Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2008) hlm. 732
- [4] Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey, Pemikiran dan Perenungan Emha Ainun Najib, (Jakarta : Kompas, 2012) hlm. 113
- [5] O. Hashem, Menaklukkan Dunia Islam, (Surabaya: YAPI, 1968) hlm. 26
- [6] Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997). hal. 7
- [7] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem, hal. 50
- [8] Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 114 – 1940, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 84
- [9] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem, hal. 24-25
- [10] G. Budi Subanar, SJ, 2003, Soegija Si Anak Betlehem ...., hal. 33
- [11] Kareel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Sebuah Pemulihan Bersahaja 1808 – 1903, (Maumere : Penerbit Ledalero, 2006) hlm 384.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar