Dalam buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam Menurut Sunnah yang Shahih, terjemahan dari kitab Shifah Shalaatin Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam minat Takbiir ilat Tasliimi ka-annaka Taraahaa, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, semoga Allah merahmatinya, beliau mengawalinya dengan sebuah Muqaddimah yang berjudul “Perkataan Para Imam (Madzhab) untuk Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Perkataan Mereka jika Menyelisihi Sunnah.”
Muqaddimah ini sangat tepat mengingat adanya berbagai perselisihan pendapat di kalangan umat, dari sejumlah orang yang mengklaim sebagai pengikut dari masing-masing madzhab, yang memandang pendapat dan perkataan para imam madzhab itu seolah-olah turun langsung dari langit, hingga tidak bisa diselisihi. Padahal para imam madzhab itu, semoga Allah merahmati mereka semua, adalah hamba-hamba Allah yang bersungguh-sungguh untuk berada tegak di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
Sedikit untuk mengingatkan bahwa:
1. Madzhab Hanafi, dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriyah, dan wafat pada tahun 150 Hijriyah.
2. Madzhab Maliki, dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93 Hijriyah, dan wafat pada tahun 179 Hijriyah.
3. Madzhab Syafi’i, dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan di Ghuzzah, atau ‘Asqalan, atau Yaman pada tahun 150 Hijriyah, dan wafat di Mesir pada akhir Rajab tahun 204 Hijriyah.
4. Madzhab Hanbali, dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan di Baghdad, pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 164 Hijriyah. Wafat di kota yang sama pada hari Jum’at, 12 Rabiul Awwal tahun 241 Hijriyah.
Melalui berbagai riwayat yang shahih yang disampaikan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani diketahui bahwa empat Imam Madzhab telah berwasiat, telah memberikan sejumlah nasihat dan memerintahkan pengikutnya untuk meninggalkan pendapat mereka bila ternyata pendapat mereka menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Bahkan Imam asy-Syafi’i rahimahullah memerintahkan para sahabatnya untuk menisbatkan Sunnah yang shahih kepadanya, walaupun beliau tidak (belum sempat) mengambil Sunnah tersebut, atau bahkan berpendapat dengan pendapat yang menyelisihi Sunnah tersebut.
Berikut ini wasiat atau perkataan dari empat Imam Madzhab, yang terdapat dalam muqaddimah buku Sifat Shalat Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam Menurut Sunnah yang Shahih, terbitan Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, 2006.
Perkataan Para Imam untuk Mengikuti Sunnah dan Meninggalkan Perkataan Mereka jika Menyelisihi Sunnah
Merupakan sesuatu yang bermanfaat jika di sini kami bawakan sebagian pernyataan mereka yang kami ketahui. Semoga dalam perkataan mereka ada sesuatu yang menjadi nasihat dan peringatan bagi orang-orang yang taqlid kepada mereka -bahkan taqlid orang-orang yang tingkat pemahamannya berada di bawah mereka sudah mencapai derajat taqlid buta[1] dan berpegang teguh dengan pendapat mereka, seolah-olah perkataan mereka itu turun langsung dari langit. Sedangkan Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya)”. (QS. Al-A'raaf: 3).
1). Imam Abu Hanifah rahimahullah
Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Telah diriwayatkan dari beliau oleh para sahabat beliau perkataan-perkataan yang berbeda-beda dan ungkapan-ungkapan yang bermacam-macam, akan tetapi semuanya mengarah pada satu hal, yaitu wajibnya berpegang teguh dengan hadits dan meninggalkan taqlid kepada pendapat-pendapat para imam yang menyelisihi hadits.
Beberapa perkataan Imam Abu Hanifah rahimahullah, sebagai berikut:
1. “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”[2]
2. “Tidak halal bagi seorangpun mengambil pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari mana (dengan dasar apa) kami mengambil pendapat tersebut.”[3]
Dalam riwayat yang lain:
3. “Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku, untuk berfatwa dengan pendapatku.”
Pada riwayat lain ditambahkan:
4. ”Kami ini hanya manusia belaka, kami mengemukakan suatu pendapat pada hari ini, dan kami rujuk (tinjau) kembali esok hari.”
Dalam riwayat lain disebutkan:
5. ”Celaka engkau wahai Ya’qub! (yaitu Abu Yusuf), jangan engkau tulis setiap apa yang engkau dengar dariku. Sungguh aku terkadang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini, dan aku tinggalkan esoknya, dan terkadang esok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan esok lusa.”[4]
6. ”Apabila saya mengutarakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka tinggalkanlah perkataanku!”[5]
2). Imam Malik bin Anas rahimahullah
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
1. ”Saya ini hanya seorang manusia, bisa salah dan bisa benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut, dan setiap pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapat itu!”[6]
2. ”Tidak ada seorangpun sepeninggal Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam kecuali pendapatnya bisa diambil atau bisa juga ditolak, kecuali Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam.”[7]
Berkata Ibnu Wahab: “Saya pernah mendengar Malik ditanya tentang menyela-nyela jari kedua kaki ketika wudhu’. Beliaupun menjawab: 'Manusia tidak wajib melakukannya’. Berkata Ibnu Wahab: ‘Saya pun membiarkan beliau, hingga manusia (di sekeliling beliau) berkurang (menjadi sedikit), kemudian saya berkata: ‘Menurut kami hal itu adalah Sunnah.’ Beliau (Imam Malik) bertanya: ‘Apa dalilnya?’ Saya jawab: ‘Telah mengabarkan kepada kami al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Luhai’ah dan ‘Amr bin al-Harits, dari Yazid bin ‘Amr al-Mu'afiri, dari Abi ‘Abdurrahman al-Habali, dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi, ia berkata: ‘Saya melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menggosok sela-sela jari kedua kakinya dengan jari kelingking.’ Lalu beliau (Imam Malik) berkata: ‘Hadits tersebut adalah hadits hasan, dan saya tidak pernah mendengar sebelumnya, kecuali pada saat ini.’ Kemudian setelah kejadian itu saya mendengar beliau ditanya tentang hal itu, lalu beliau memerintahkan untuk menyela-nyela jari-jemari.”[8]
3). Imam Asy-Syafi’i rahimahullah
Adapun nukilan dari Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah lebih banyak dan lebih baik,[9] dan pengikut beliau adalah lebih banyak mengamalkan pesan beliau tersebut dan lebih beruntung. Di antara perkataan beliau:
1. ”Tidak ada seorangpun kecuali ia memiliki kemungkinan untuk lupa terhadap Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan tersembunyi darinya. Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi perkataanku, maka pendapat yang harus diikuti itu adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dan akupun berpendapat dengannya.”[10]
2. ”Kaum muslimin telah ijma’ (sepakat) bahwa barangsiapa yang mengetahui secara jelas suatu Sunnah dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan Sunnah tersebut karena perkataan (pendapat) seseorang.”[11]
3. ”Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka berpendapatlah kalian sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, dan tinggalkan apa yang aku katakan.” (Dalam riwayat yang lain: ”Maka ikutilah Sunnah tersebut, dan janganlah kalian hiraukan pendapat seorang pun.”)[12]
4. ”Apabila suatu hadits telah jelas shahih, maka itulah madzhabku.”[13]
5. “Engkau[14] (maksudnya Imam Ahmad bin Hanbal) lebih tahu tentang hadits dan para perawi dibandingkan aku, apabila didapatkan suatu hadits yang shahih maka beritahulah aku, darimana pun hadits tersebut berasal, baik dari orang Kufah, Bashrah, ataupun Syam, hingga aku bisa berpendapat dengannya, apabila hadits itu shahih.”
6. “Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali pendapatku, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati.”[15]
7. “Apabila kalian melihat aku mengucapkan suatu pendapat, sedangkan telah shahih dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam hadits yang menyelisihi pendapatku, maka ketahuilah bahwasanya akalku telah hilang!”[16]
8. “Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat yang shahih dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi adalah lebih utama, janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”[17]
9. “Setiap hadits dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam maka itu adalah pendapatku juga, walaupun kalian tidak pernah mendengarnya dariku.”[18]
4). Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Adapun Imam Ahmad rahimahullah, beliau adalah imam yang paling banyak menghimpun hadits dan paling berpegang teguh kepada hadits, sampai-sampai dikatakan: “Beliau membenci menulis buku yang berisi masalah furu' dan ra'yu.”[19]
Oleh karena itu beliau berkata:
1. “Janganlah kalian bertaqlid kepadaku dan jangan pula kalian bertaqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri. Ambillah dari mana mereka mengambil.”[20]
2. Dalam riwayat yang lain disebutkan: “Janganlah kalian bertaqlid dalam agama kalian kepada salah seorang di antara mereka (para imam). Apapun yang datang dari Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya, maka ambillah, kemudian pendapat para Tabi’in, setelah mereka boleh dipilih.” Pada suatu saat beliau juga berkata: “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan para Sahabatnya, kemudian setelah pendapat para Tabi’in ia boleh memilih.”[21]
3. "Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanya pendapat, bagi saya semuanya sama. Yang menjadi hujjah hanyalah atsar (hadits).”[22]
4. “Barangsiapa yang menolak hadits Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, maka ia berada pada jurang kehancuran.”[23]
Demikianlah perkataan mereka -semoga Allah meridhai mereka- dalam masalah berpegang teguh kepada hadits, dan larangan taqlid kepada mereka tanpa ilmu. Ini adalah perkara yang sudah jelas yang tidak bisa dipungkiri dan ditakwil lagi. Oleh karena itu barang siapa yang berpegang teguh pada setiap keterangan yang shahih dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, walaupun menyelisihi sebagian dari pendapat para imam, maka ia tidaklah dikatakan meninggalkan madzhabnya dan tidak juga keluar dari jalan mereka, bahkan ia berarti telah mengikuti mereka semua, dan berpegang teguh dengan buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Orang yang meninggalkan Sunnah yang shahih hanya karena Sunnah itu menyelisihi pendapat mereka tidaklah demikian keadaannya, bahkan dengan perbuatan tersebut, berarti ia telah durhaka kepada para imam, dan mereka telah menyelisihi perkataan mereka (para imam) di atas.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka Demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa’: 65).
Allah juga berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63).
Berkata al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah: “Wajib hukumnya bagi orang yang telah sampai kepadanya perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam dan mengetahuinya, untuk menjelaskannya kepada umat, menasihati mereka, dan memerintahkan mereka untuk mengikuti perintah beliau, walaupun perintah tersebut menyelisihi pendapat tokoh terkemuka dalam umat, karena perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti daripada pendapat tokoh terkemuka manapun yang menyalahi perintah Rasulullah dalam berbagai hal karena kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena itulah, para Sahabat dan orang-orang setelah mereka membantah setiap orang yang menyelisihi Sunnah yang shahih, terkadang mereka membantahnya dengan keras,[24]bukan karena benci terhadap orang yang dibantah, bahkan orang yang dibantah tersebut merupakan orang yang mereka cintai dan muliakan. Namun Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam adalah lebih mereka cintai, dan perintah beliau di atas perintah semua makhluk. Apabila perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam berlawanan dengan perintah orang selain beliau, maka perintah Rasulullah adalah lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti. Hal ini tidak menghalangi seseorang untuk memuliakan orang yang menyelisihi perintah beliau tersebut, meskipun orang tersebut adalah orang yang diampuni.[25] Bahkan orang yang menyelisihi namun diampuni tersebut (para imam), tidak akan benci jika perintahnya tidak ditaati apabila nampak bahwa perintah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam menyelisihi perintahnya.[26]
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Bagaimana mereka (para imam) bisa membenci hal tersebut sedangkan mereka sendiri memerintahkan para pengikut mereka untuk melakukannya dan mewajibkan para pengikutnya untuk meninggalkan pendapat-pendapat mereka yang menyelisihi Sunnah? Bahkan Imam Asy-Syafi’i memerintahkan para sahabatnya untuk menisbatkan Sunnah yang shahih kepadanya, walaupun beliau tidak mengambil Sunnah tersebut, atau bahkan berpendapat dengan pendapat yang menyelisihi Sunnah tersebut. Oleh karena itu ketika muhaqqiq Ibnu Daqiq al-‘Id mengumpulkan berbagai permasalahan, yang mana dalam permasalahan itu setiap imam yang empat menyelisihi hadits yang shahih, baik sendiri maupun secara bersama-sama dalam satu kitab yang tebal, beliau berkata pada awal kitab tersebut: “Sungguh penisbatan permasalahan-permasalahan ini kepada imam-imam mujtahid adalah haram. Wajib bagi para ahli fiqih yang mengikuti mereka mengetahui hal ini, sehingga mereka tidak menisbatkan (mengatasnamakan) permasalahan tersebut kepada mereka (para imam), yang membuat mereka berdusta atas nama para imam.”[27]
-------------
Foot Note:
[1] Sikap taqlid seperti inilah yang dimaksud oleh Imam Thahawi dalam perkataannya: “Tidaklah bertaqlid, kecuali orang yang fanatik atau bodoh.” Perkataan ini dibawakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitab Rasmul Mufti (hal. 23, juz 1), dalam Majmuu'ah Rasaa-il beliau.
[2] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Al-Haasyiyah (I/63) dan dalam tulisan beliau Rasmul Mufti (I/4) dari kumpulan-kumpulan tulisan/ Majmuu’ur Rasaa-il Ibni ‘Abidin. Juga oleh Syaikh Shalih al-Filani dalam kitab Iiqaazhul Himam (hal. 62), dan diriwayatkan juga oleh lainya. Ibnu ‘Abidin menukil dari Syarhul Hidayah, karya Ibnu asy-Syahnah al-Kabir, guru Ibnul Humam, yang berbunyi: “Apabila suatu hadits itu shahih dan menyelisihi pendapat madzhab, maka yang diamalkan adalah hadits, dan pengamalannya dengan hadits itu menjadi madzhab beliau (Abu Hanifah). Seseorang yang taqlid terhadap madzhab Hanafi tidak akan keluar dari madzhabnya karena mengamalkan hadits tersebut, sebab telah shahih dari Abu Hanifah bahwasanya beliau berkata: “Apabila suatu hadits itu shahih, maka itu adalah madzhabku.” Hal ini telah diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dan imam-imam yang lainnya dari Abu Hanifah.
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Sikap ini timbul dari kesempurnaan ilmu mereka dan ketakwaan mereka, dimana mereka telah mengisyaratkan dengan perkataannya tersebut bahwasanya mereka tidaklah mengetahui semua Sunnah. Imam As-Syafi’i telah menyetakan hal ini dengan jelas, seperti perkataan beliau yang nanti akan kami bawakan, bahwasanya bisa saja terjadi pada diri mereka suatu hal yang menyelisihi Sunnah yang belum sampai kepada mereka (belum mereka ketahui). Oleh karena itu mereka memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan Sunnah, menjadikan Sunnah tersebut sebagai madzhab mereka rahimahullah.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Al-Intiqa fi Fadhail Ats-Tsalasah Al-Aimmah Al-Fuqaha (hal. 145), Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in (II/309), Ibnu ‘Abidin dalam hasyiyah (catatan kaki) al-Bahrur Raa-iq (VI/293), dan Rasmul Mufti (hal. 29 dan 32), asy-Sya’rani dalam al-Miizaan (I/55) dengan riwayat kedua, sedang riwayat ketiga diriwayatkan oleh ‘Abbas ad-Duri dalam at-Tarikh, karya Ibnu Mu'in (VI/77/1) dengan sanad yang shahih dari Zufar. Semakna dengan itu diriwayatkan dari beberapa orang sahabatnya, yaitu Zufar, Abu Yusuf, dan Afiyah bin Yazid, seperti termaktub dalam al-Iqaazh (hal. 52), kemudia Ibnu Qayyim (II/344) menegaskan shahihnya riwayat ini dari Abu Yusuf dan memberi keterangan tambahan dalam ta'liq terhadap kitab al-Iiqaazh dikutip dari Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnul Qayyim dan lain-lain.
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Apabila perkataan mereka kepada orang yang tidak mengetahui dalil mereka saja seperti ini, -seandainya saya mengetahui-, apakah yang akan mereka katakan kapada orang yang mengetahui bahwasanya dalil menyelisihi pendapat mereka, kemudian orang tersebut berfatwa menyelisihi dalil tersebut (mengikuti pendapat mereka)? Perhatikan ucapan mereka ini! Sungguh, satu saja dari kalimat-kalimat tersebut cukup untuk menghancur leburkan taqlid buta. Oleh karena itu, sebagian ulama yang bertaqlid kepada Abu Hanifah menolak penisbatkan perkataan ini kepada beliau ketika fatwa mereka dengan dasar pendapat Abu Hanifah, sebab Abu Hanifah yang tidak ia ketahui dalilnya Anda ingkari dengan perkataan Abu Hanifah ini.
[4] Hal itu terjadi karena Imam Abu Hanifah banyak mendasarkan pendapatnya dengan qiyas, lalu tampak baginya qiyas yang lebih kuat, atau sampai kepadanya hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan ia pun mengambil hadits tersebut, lalu meninggalkan pendapatnya yang terdahulu. Berkata asy-Sya'rani, dalam kitab al-Miizaan (I/62), berikut ringkasannya:
“Keyakinan kami kepada Abu Hanifah adalah keyakinan yang adil dan obyektif, bahwasanya sseandainya beliau hidup sampai ditulisnya ilmu syar’i dan setelah para penghafal hadits melakukan perjalanan mengumpulkan hadits dari negeri-negeri dan perbatasan, kemudian beliau mendapatkan hadits-hadits tersebut, niscaya beliau akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua qiyas yang beliau lakukan, sehingga qiyas pada madzhab beliau bisa sedikit, sebagaimana pada madzhab yang lainnya, jika dibandingkan dengan madzhab beliau. Namun karena dalil-dalil syar’i pada zamannya masih terpencar dengan terpencarnya Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in di kota-kota, desa-desa, dan perbatasan, maka menjadi banyaklah qiyas dalam madzhab beliau dibandingkan dengan madzhab lainnya dari para imam, karena darurat, sebab tidak adanya nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dalam permasalah-permasalah yang beliau qiyaskan. Berbeda dengan imam-imam lainnya, karena pada pada zaman mereka para penghafal hadits telah melakukan perjalanan untuk mencari hadits-hadits dan mengumpulkannya dari berbagai kota dan desa, lalu mereka menulis hadits-hadits tersebut. Akhirnya sebagian hadits-hadits saling melengkapi terhadap sebagian yang lainnya. Inilah sebagian faktor yang menyebabkan banyaknya qiyas dalam madzhab Abu Hanifah, dan sedikitnya qiyas dalam madzhab-madzhab yang lain.
Sebagian besar pendapat madzhab Hanafi dinukil oleh Abu Hasanat dalam kitab at-Taariikh al-Kabir. Beliau memberikan catatan dengan keterangan yang mendukung dan menjelaskan pendapat-pendapat tersebut, barang siapa yang menghendaki silahkan melihat kembali kitab tersebut.
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Jika hal ini yang menjadi udzur (alasan) Abu Hanifah sehingga beliau banyak menyelisihi hadits-hadits shahih tanpa sengaja, -udzur ini adalah udzur yang dapat diterima, karena Allah tidak membebani seorang hamba, kecuali apa yang ia mampu mengerjakannya- maka kita tidak boleh mencela beliau, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang bodoh, sebaliknya kita justru wajib menghormati beliau, karena beliau adalah salah seorang imam kaum muslimin, yang dengan perantaraan merekalah agama ini dipelihara, dan permasalahan yang merupakan cabang bisa sampai kepada kita. Beliau mendapat ganjaran pahala walau bagaimanapun, entah beliau benar atau yang salah. Demikain pula tidak boleh bagi orang-orang yang memuliakan beliau tetap berpegang teguh dengan pendapat beliau yang bertentangan dengan hadits-hadits, karena pendapat yang bertentangan dengan hadits-hadits tersebut bukanlah madzhab beliau lagi, sebagaimana perkataan beliau yang dapat Anda baca.
Sebagian para imam tersebut berada pada suatu lembah dan yang lain berada pada lembah yang lain, sedangkan kebenaran berada di antara para imam tersebut. Oleh karena itu: “... Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr: 10).
[5] Diriwayatkan oleh al-Filani dalam kitab al-Iiqaazh (hal. 50), menisbatkannya kepada Imam Muhammad, juga kemudian beliu berkata:
“Perkataan ini dan semisalnya bukanlah ditujukan kepada seorang mujtahid, karean seorang menjadi sifat mujtahid tidak boleh menjadikan perkataan para imam sebagai hujjah, namun perkataan ini ditujukan kepada para muqallid (orang yang taqlid).”
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Berdasarkan hal ini, asy-Sya’rani dalam al-Miizaan (I/26) berkata: “Apabila Anda bertanya, apa tindakannku terhadap hadits shahih sepeninggal imamku, sedangkan beliau dahulu tidak mengambil hadits tersebut?” Jawabannya yang wajib engkau lakukan adalah engkau mengamalkan hadits tersebut, karena seandainya imammu mendapati hadits tersebut dan hadits itu shahih menurutnya, tentu beliau akan menyuruhmu mengamalkan hadits tersebut, karena semua imam adalah tawanan (yang harus patuh pada syari’ah). Barangsiapa yang mengamalkan hadits, maka ia telah mengumpulkan kebaikan dengan kedua tangannya. Barangsiapa yang berkata: “Saya tidak akan mengamalkan suatu hadits, kecuali imam imam saya mengambil hadits tersebut,” maka ia telah kehilangan banyak kebaikan, sebagaimana terjadi pada sebagian orang-orang yang taqlid kepada para imam madzhab. Yang lebih utama bagi mereka adalah mengamalkan setiap hadits yang shahih yang ada sepeninggal imam mereka, sebagai bentuk pelaksanaan wasiat mereka, karena keyakinan kita kepada para imam tersebut bahwa seandainya mereka itu masih hidup dan mendapatkan hadits-hadits yang shahih sepeninggal mereka, niscaya mereka akan mengambilnya, mengamalkan apa yang terdapat didalamnya, dan meninggalkan semua qiyas yang dahulu pernah mereka lakukan atau setiap pendapat yang dahulu pernah mereka kemukakan.”
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Jaami’ (II/32), Ibnu Hazm meriwayatkan juga dari beliau dalam Ushul al-Ahkam (VI/149), demikian pula al-Filani dalam al-Iiqaazh.
[7] Perkataan ini masyhur dikalangan ulama mutaakhir/ kontemporer (sekarang) dinisbatkan kepada Imam Malik. Ibnu ‘Abdil Hadi menshahihkan dalam kitabnya Irsyaadus-Saalik (I/227). Diriwayatkan juga oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab al-Jami’ (II/291), dan Ibnu Hazm dalam kitab Ushul al-Ahkam (VI/145, 179), dari ucapan al-Hakam bin ‘Utaibah dan Mujahid. Taqiyuddin as-Subki juga meriwayatkan dengan merasa takjub pada indahnya perkataan ini, dalam kitab al-Fatawa (I/148) dari ucapan Ibnu Abbas, kemudian beliau (as-Subki) berkata: “Perkataan ini diambil oleh Mujahid dari Ibnu ‘Abbas, kemudian Malik mengambilnya dari beliau berdua, kemudian perkataan ini menjadi masyhur dari ucapan beliau.”
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Kemudian Imam Ahmad pun mengambil perkataan ini dari mereka. Abu Dawud berkata dalam Masaa-il al-Imam Ahmad (hal. 276) mengatakan: “Saya mendengar Ahmad berkata, ‘Tidak ada seorang pun kecuali perkataannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali Nabi Shallallahu ’Alaihi Wasallam.
[8] Dalam Muqaddimah kitab al-Jarh Wat-Ta'diil, karya Ibnu Abi Hatim, hal. 31-32 dan diriwayatkan secara lengkap oleh Baihaqi dalam as-Sunnan (I/81).
[9] Ibnu Hazm berkata dalam kita VI/118: “Sesungguhnya para ahli fiqh yang diikuti tersebut menganggap taqlid itu merupakan hal yang bathil. Sungguh, mereka melarang para sahabatnya bertaqlid kepada mereka. Orang yang paling keras dalam melarang taqlid ini adalah Imam Asy-Syafi'i, beliau menegaskan dengan sangat agar mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada ketetapan-ketetapan yang digariskan oleh hujjah, tidak sebagaimana imam lainnya yang tidak sekeras beliau. Beliau berlepas diri dari orang-orang yang bertaqlid kepada beliau secara umum, dan beliau mengumumkan mengumumkan sikap beliau tersebut. Semoga Allah memberi manfaat melalui beliau, dan memperbanyak ganjaran pahala bagi beliau, beliau telah menjadi sebab adanya kebaikan yang banyak.”
[10] Hadits Riwayat Hakim dengan sanad bersambung kepada Imam asy-Syafi’i seperti tersebut dalam kitab Tarikh Dimasyqa, karya Ibnu 'Asakir (XV/1/3), I'laamul-Muwaqqi'iin (II/363-364), Al-Iiqaazh (hal. 100).
[11] Ibnul Qayyim (II/361), dan Al-Filani (hal. 68).
[12] Al-Harawi dalam kitab Dzammu Kalaam (III/47/1), Al-Khathib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi'i (VIII/2), Ibnu Asakir (XV/9/1), Nawawi dalam Al-Majmu' (I/63), Ibnul Qayyim (II/361), Al-Filani (hal. 100) dan riwayat lain oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (IX/107) dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (III/284, Al-Ihsan) dengan sanad yang shahih dari beliau (Imam Asy-Syafi’i).
[13] Imam An-Nawawi, dalam Al-Majmu', Sya'rani (I/57) dan ia nisbatkan kepada Hakim dan Baihaqi, Filani (hal. 107). Sya'rani berkata: “Ibnu Hazm menyatakan hadist ini shahih menurut penilaiannya dan penilaian imam-imam yang lain.”
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Perkataan beliau (Imam Asy-Syafi’i) setelah perkataannya yang ini jelas menunjukkan makna yang seperti ini, berkata an-Nawawi, berikut ini ringkasannya:
"Para sahabat kami (ulama madzhab Asy-Syafi’i) telah menjalankan wasiat ini dalam masalah tatswiib, (mengulang kalimat adzan), mempersyaratkan tahallul dari ihram jika terhalang oleh sakit, dan permasalahan lainnya yang populer dalam kitab-kitab madzhab kami. Di antara sahabat-sahabat kami, yang meriwayatkan bahwa beliau berfatwa dengan hadits adalah: “Abu Ya’qub al-Buwaithi, Abul-Qasim ad-Dariqi. Dan diantara sahabat-sahabat kami, ahli hadits yang memakai kaidah ini, yaitu Imam Abu Bakar al-Baihaqi dan lainnya. Sebagian besar dari pendahulu sahabat kami (pendahulu ulama madzhab asy-Syafi’i) jika mendapati suatu masalah yang dalam permasalahan tersebut ada hadits yang diriwayatkan, sedangkan pendapat dalam madzhab asy-Syafi’i menyelisihi hadits tersebut, maka mereka mengamalkan hadits dan berfatwa dengan hadits tersebut, dengan mengatakan: ”Madzhab asy-Syafi'i adalah apa yang sesuai dengan hadits.”
Berkata Syaikh Abu ‘Amer: “Barangsiapa diantara pengikut madzhab Asy-Syafi’i mendapatkan suatu hadits yang bertentangan dengan madzhabnya, maka dipertimbangkan. Apabila sarana ijtihad lengkap terdapat pada dirinya, secara umum (dalam semua permasalahan) -atau lengkap dalam bab atau permasalahan itu-, maka ia boleh bebas mengamalkan hadits tersebut. Apabila sarana itu belum lengkap, -kemudian ia berat untuk menyelisihi hadits tersebut, setelah ia mengadakan penelitian dan dan ia tidak menjumpai jawaban yang memuaskan dari orang yang menyelisihi hadits tersebut-, maka ia boleh mengamalkan hadits tersebut jika ada imam lain yang berdiri sendiri mengamalkan hadits tersebut, selain Imam Asy-Syafi'i, maka hal ini bisa menjadi alasan yang bisa diterima, sehingga ia meninggalkan pendapat madzhab imamnya. Dan pendapat yan ia pilih adalah bagus. Wallaahu a'lam.”
Komentar saya (Syaikh al-Albani): Dalam hal ini ada suatu keadaan lain yang tidak dikemukakan oleh Ibnu Shalah, yaitu apabila ia tidak mendapatkan imam lain yang mengamalkan hadits tersebut, apakah yang harus ia lakukan? Permasalahan ini dijawab oleh Taqiyuddin as-Subki dalam kitab risalah tentang maksud ucapan Imam Asy-Syafi’i/ Ma’na Qaulisy Syafi’i: Idzaa Shahhal Hadiits (hal. 102, juz 3), beliau berkata:
"Menurut saya yang lebih utama adalah mengikuti hadits. Seseorang hendaknya membayangkan bahwa ia seolah-olah berada di hadapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan ia mendengar beliau bersabda seperti itu. Lalu apakah ia mempunyai keleluasaan untuk menunda pengamalan sabda beliau? Tidak, demi Allah, ... setiap orang dibebani sesuai yang ia pahami.”
Pembahasan yang sempurna tentang hal ini dapat Anda jumpai I'laamul Muwaqqi'iin (II/302 dan 370), dan kitab dari al-Filani berjudul Iiqaazhu Himami Ulil Abshaar lil Iqtidaa-i bi Sayyidil Mauhaajirin wal Anshaar.... Ini adalah sebuah kitab yang tidak ada tandingannya dalam bab/ masalah ini, setiap orang yang mencintai kebenaran wajib mempelajarinya dengan mencurahkan pemahaman dan perhatian.
[14] Orang yang dimaksud adalah Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adab Asy-Syafi’i (hal. 94-95), Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX/106), dan al-Khathib dalam al-Ihtiijaj bisy Syafi’i (VIII/1), dari beliaulah Ibnu ‘Asakir meriwayatkan perkataan ini (XV/9/1), begitu pula Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Intiqaa (hal. 75), Ibnu Jauzi dalam Manaaqib Al-Imam Ahmad (hal. 499), dan al-Harawi (II/47/2) dengan tiga sanad, dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya: “Bahwasanya Asy-Syafi'i pernah berkata kepadanya ...,“ riwayat ini shahih dari beliau (Imam Ahmad). Oleh karena itu, Ibnu Qayyim menegaskan penisbatan perkataan ini kepada beliau (Imam Ahmad) dalam al-I'laam (III/325), juga al-Filani dalam Al-Iiqaazh (hal. 152), kemudian beliau berkata: “Berkata al-Baihaqi: ‘Oleh karena itu beliau (Imam asy-Syafi'i) banyak mengambil hadits, beliau telah mengumpulkan ilmu dari penduduk Hijaz, Syam, Yaman, dan Iraq.’ Beliau telah mengambil semua hadits yang shahih menurut beliau, tanpa memihak kepada salah satu darinya, juga tidak condong kepada madzhab sedang dicenderungi oleh penduduk negerinya walaupun jelas bagi mereka kebenaran itu ada pada selain mereka. Sebelum beliau ada orang-orang yang membatasi diri pada apa yang dikenal dalam madzhab penduduk negerinya, mereka tidak bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kebenaran pendapat yang menyelisihi mereka. Semoga Allah mengampuni kita dan dan mereka juga.”
[15] Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/107), al-Harawi (47/1), Ibnu Qayyim dalam al-I'alamul Muwaqqi’iin(II/363) dan al-Filani (hal. 104).
[16] Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Abul Qasim as-Samarqandi dalam al-Amaalii sebagaimana yang tertulis dalam al-Muntaqa (ringkasan dari kitab tersebut), karya Abu Hafsh al-Muaddib (I/234), Abu Nu'aim dalam al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1) dengan sanad shahih.
[17] Diriwayatkan Ibnu Abi Hatim (hal 93), Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (15/9/2) dengan sanad shahih.
[18] Ibnu Abi Hatim (hal. 93-94).
[19 Ibnu Jauzi dalam Al-Manaaqib (hal. 192).
[20] Al-Filani (hal. 113) dan Ibnul Qayyim dalam I'laamul Muwaqqi’in (II/302).
[21] Abu Dawud dalam Masaa'il al-Imam Ahmad (hal. 276-277).
[22] Ibnu ‘Abdil Barr dalam Al-Jaami’ (II/149).
[23] Ibnul Jauzi hal. 142
[24] Saya katakan : "Walaupun mereka harus membantah bapak-bapak dan ulama-ulama mereka, sebagaimana diriwayatkan oleh Thahawi dalam Syarah Maa'anil Atsaar (I/372), dan Abu Ya’la dalam Musnad-nya (III/1317) dengan sanad jayyid (baik) dan para perawinya terpercaya. Diriwayatkan dari Salim bin ‘Abdillah bin ‘Umar radhiyallahu anhu, ujarnya: ”Sungguh saya sedang duduk bersama Ibnu ’Umar dalam masjid, ketika seorang laki-laki dari penduduk Syam datang dan bertanya kepadanya tentang haji tamattu’. Ibnu ‘Umar menjawab: ”Itu adalah cara yang baik.” Orang itu bertanya lagi: ‘Benarkan ayah Anda dulu telah melarang melakukan hal ini?’ Ibnu ‘Umar menjawab: “Celakalah engkau!” Walaupun ayahku dulu pernah melarang, namun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah melakukannya dan menyuruh berbuat seperti itu. Apakah engkau akan mengambil ucapan ayahku ataukah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?” Orang itu berkata: “Mengambil perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” Ibnu Umar berkata: “Sekarang pergilah dari hadapanku.” Imam Ahmad telah meriwayatkan hal serupa (no. 5700), demikian pula at-Tirmidzi dalam Syarh Tuhfah (II/82), kemudian beliau menshahihkannya. Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Asakir (VII/51/1) dari Ibnu Abu Dzi’ib. Ia berkata: “Sa’d bin Ibrahim (yaitu anak Abdurrahman bin ‘Auf) pernah menjatuhkan hukuman kepada seseorang berdasarkan pendapat Rabi’ah bin Abi ‘Abdurrahman, lalu saya sampaikan kepadanya riwayat dari Rasulullah yang berlainan dengan hukum yang telah ditetapkannya. Sa’d berkata kepada Rabi’ah: ‘Orang ini adalah Ibnu Abi Dzi’ib, menurutku dia seorang yang terpercaya, ia telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam riwayat yang berlainan dengan ketetapan yang aku putuskan (berdasarkan pendapatmu). Rabi’ah menjawab: ‘Saya telah berijtihad dan keputusanmu telah berlalu.’ Sa’d berkata: ‘alangkah mengherankan, aku telah menjalankan keputusan Sa’d, namun aku (tidak) menjalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam!? Semestinya aku menolak keputusan Sa’d ibnu Ummi Sa’d, dan aku jalankan ketetapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lalu Sa'ad meminta surat keputusannya dan merobeknya dan kemudian membuat keputusan baru sesuai apa yang diriwayatkan tersebut.”
[25] Bahkan ia mendapat pahala sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: ”Apabila seorang hakim berijtihad (dalam menetapkan suatu hukum) kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan kemudian salah, maka baginya satu pahala.” (Shahih al-Bukhari dan Muslim dan selain keduanya).
[26] Beliau (Ibnu Rajab) nukil dalam ta’liq kitab Iiqaazhul Himam (hal. 93).
[27] Al-Filani hal. 99.