Alhamdulillah, setahun penuh
kita merindukan bulan ini, bulan penuh berkah, Ramadhan Mubarak!
Marhaban ya Ramadhan, Syahrul Mubarak, Syahrul Qur'an.
"Kami
mencintaimu. Semoga engkau juga mencintai kami."
Amin ya
Rabbul 'Alamiin.
Mari Mengamalkan Sunnah Puasa
Berikut penjelasan mengenai berbagai
hal sunnah ketika puasa:
1. Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan bagi orang yang hendak
berpuasa untuk makan sahur. Al Khottobi mengatakan bahwa makan sahur merupakan
tanda bahwa agama Islam selalu mendatangkan kemudahan dan tidak mempersulit.[1] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
أَرَادَ أَنْ يَصُومَ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَىْءٍ
"Barangsiapa ingin berpuasa, maka
hendaklah dia bersahur."[2]
Nabi kita shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan demikian karena di dalam sahur terdapat keberkahan.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda,
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً
"Makan sahurlah karena sesungguhnya
pada sahur itu terdapat berkah."[3] An Nawawi rahimahullah mengatakan,
"Karena dengan makan sahur akan semakin kuat melaksanakan puasa."[4]
Makan sahur juga merupakan pembeda
antara puasa kaum muslimin dengan puasa Yahudi-Nashrani (ahlul kitab). Dari Amr
bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
فَصْلُ
مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
"Perbedaan antara puasa kita
(umat Islam) dan puasa ahlul kitab terletak pada makan sahur."[5] At Turbasyti mengatakan, "Perbedaan makan
sahur kaum muslimin dengan ahlul kitab adalah Allah Ta'ala membolehkan pada
umat Islam untuk makan sahur hingga shubuh, yang sebelumnya hal ini dilarang
pula di awal-awal Islam. Bagi ahli kitab dan di masa awal Islam, jika telah
tertidur, (ketika bangun) tidak diperkenankan lagi untuk makan sahur. Perbedaan
puasa umat Islam (saat ini) yang menyelisihi ahli kitab patut disyukuri karena
sungguh ini adalah suatu nikmat."[6]
Sahur ini hendaknya tidak
ditinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
السَّحُورُ
أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ
مَاءٍ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
المُتَسَحِّرِينَ
"Sahur adalah makanan yang penuh
berkah. Oleh karena itu, janganlah kalian meninggalkannya sekalipun hanya
dengan minum seteguk air. Karena sesungguhnya Allah dan para malaikat
bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur."[7]
Disunnahkan untuk mengakhirkan waktu
sahur hingga menjelang fajar. Hal ini dapat dilihat dalam hadits berikut. Dari
Anas, dari Zaid bin Tsabit, ia berkata,
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ.
قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ خَمْسِينَ آيَةً.
"Kami pernah makan sahur bersama
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kemudian kami pun berdiri untuk menunaikan
shalat. Kemudian Anas bertanya pada Zaid, ”Berapa lama jarak antara adzan
Shubuh[8] dan sahur kalian?" Zaid menjawab, "Sekitar membaca 50 ayat."[9] Dalam riwayat Bukhari dikatakan, "Sekitar
membaca 50 atau 60 ayat."
Ibnu Hajar mengatakan, "Maksud
sekitar membaca 50 ayat artinya waktu makan sahur tersebut tidak terlalu lama
dan tidak pula terlalu cepat." Al Qurthubi mengatakan, "Hadits ini adalah dalil
bahwa batas makan sahur adalah sebelum terbit fajar."
Di antara faedah mengakhirkan waktu
sahur sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar yaitu akan semakin menguatkan orang
yang berpuasa. Ibnu Abi Jamroh berkata, "Seandainya makan sahur diperintahkan
di tengah malam, tentu akan berat karena ketika itu masih ada yang tertidur
lelap, atau barangkali nantinya akan meninggalkan shalat shubuh atau malah akan
begadang di malam hari."[10]
Bolehkah Makan Sahur Setelah Waktu
Imsak (10 Menit Sebelum Adzan Shubuh)?
Syaikh 'Abdul Aziz bin 'Abdillah bin
Baz –pernah menjabat sebagai ketua Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi fatwa Saudi
Arabia)- pernah ditanya, "Beberapa organisasi dan yayasan membagi-bagikan
Jadwal Imsakiyah di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Jadwal ini khusus
berisi waktu-waktu shalat. Namun dalam jadwal tersebut ditetapkan bahwa waktu
imsak (menahan diri dari makan dan minum, -pen) adalah 15 menit sebelum adzan
shubuh. Apakah seperti ini memiliki dasar dalam ajaran Islam?"
Syaikh rahimahullah menjawab:
Saya tidak mengetahui adanya dalil
tentang penetapan waktu imsak 15 menit sebelum adzan shubuh. Bahkan yang sesuai
dengan dalil Al Qur'an dan As Sunnah, imsak (yaitu menahan diri dari makan dan
minum, -pen) adalah mulai terbitnya fajar (masuknya waktu shubuh). Dasarnya
firman Allah Ta'ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
"Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar." (QS. Al Baqarah: 187)
Juga dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
الفَجْرُ
فَجْرَانِ ، فَجْرٌ يُحْرَمُ الطَّعَامُ وَتَحِلُّ فِيْهِ الصَّلاَةُ ، وَفَجْرٌ
تُحْرَمُ فِيْهِ الصَّلاَةُ (أَيْ صَلاَةُ الصُّبْحِ) وَيَحِلُّ فِيْهِ الطَّعَامُ
"Fajar ada dua macam: [Pertama]
fajar diharamkan untuk makan dan dihalalkan untuk shalat (yaitu fajar shodiq,
fajar masuknya waktu shubuh, -pen) dan [Kedua] fajar yang diharamkan untuk
shalat shubuh dan dihalalkan untuk makan (yaitu fajar kadzib, fajar yang muncul
sebelum fajar shodiq, -pen)." (Diriwayatakan oleh Al Baihaqi dalam Sunan Al
Kubro no. 8024 dalam "Puasa", Bab "Waktu yang diharamkan untuk makan bagi orang
yang berpuasa" dan Ad Daruquthni dalam "Puasa", Bab "Waktu makan sahur" no.
2154. Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim mengeluarkan hadits ini dan keduanya
menshahihkannya sebagaimana terdapat dalam Bulughul Marom)
Dasarnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam,
إِنَّ
بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ
مَكْتُومٍ
"Bilal biasa mengumandangkan
adzan di malam hari. Makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi
Maktum." (HR. Bukhari no. 623 dalam Adzan, Bab "Adzan sebelum shubuh" dan
Muslim no. 1092, dalam "Puasa", Bab "Penjelasan bahwa mulainya berpuasa adalah
mulai dari terbitnya fajar"). Seorang periwayat hadits ini mengatakan bahwa
Ibnu Ummi Maktum adalah seorang yang buta dan beliau tidaklah mengumandangkan
adzan sampai ada yang memberitahukan padanya "Waktu shubuh telah tiba, waktu
shubuh telah tiba."[11]
2. Menyegerakan berbuka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ
يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ
"Manusia akan senantiasa berada
dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka."[12]
Dalam hadits yang lain disebutkan,
لَا
تَزَالُ أُمَّتِى عَلَى سُنَّتِى مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُجُوْمَ
"Umatku akan senantiasa berada di
atas sunnahku (ajaranku) selama tidak menunggu munculnya bintang untuk berbuka
puasa."[13] Dan inilah yang ditiru oleh Rafidhah
(Syi'ah), mereka meniru Yahudi dan Nashrani dalam berbuka puasa. Mereka baru
berbuka ketika munculnya bintang. Semoga Allah melindungi kita dari kesesatan
mereka.[14]
Nabi kita shallallahu 'alaihi wa
sallam biasa berbuka puasa sebelum menunaikan shalat maghrib dan
bukanlah menunggu hingga shalat maghrib selesai dikerjakan. Inilah contoh dan akhlaq
dari suri tauladan kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas
bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata,
كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ
يُصَلِّىَ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطَبَاتٌ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ
حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam biasanya berbuka dengan rothb (kurma basah) sebelum menunaikan
shalat. Jika tidak ada rothb, maka beliau berbuka dengan tamr (kurma kering).
Dan jika tidak ada yang demikian beliau berbuka dengan seteguk air."[15]
3. Berbuka dengan kurma jika mudah diperoleh atau
dengan air.
Dalilnya adalah hadits yang
disebutkan di atas dari Anas. Hadits tersebut menunjukkan bahwa ketika berbuka
disunnahkan pula untuk berbuka dengan kurma atau dengan air. Jika tidak
mendapati kurma, bisa digantikan dengan makan yang manis-manis. Di antara ulama
ada yang menjelaskan bahwa dengan makan yang manis-manis (semacam kurma) ketika
berbuka itu akan memulihkan kekuatan, sedangkan meminum air akan menyucikan.[16]
4. Berdo'a ketika berbuka
Perlu
diketahui bersama bahwa ketika berbuka puasa adalah salah satu waktu terkabulnya
do'a. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
"Ada
tiga orang yang do'anya tidak ditolak: (1) Pemimpin yang adil, (2) Orang yang
berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang terdzolimi."[17] Ketika berbuka adalah waktu terkabulnya do'a
karena ketika itu orang yang berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam
keadaan tunduk dan merendahkan diri.[18]
Dari
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika berbuka beliau membaca do'a berikut ini,
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
"Dzahabazh zhoma'u wabtallatil 'uruqu wa tsabatal ajru
insya Allah (artinya: Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan
pahala telah ditetapkan insya Allah)"[19]
Adapun
do'a berbuka,
اللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
"Allahumma
laka shumtu wa 'ala rizqika afthortu (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan
kepada-Mu aku berbuka)"[20] Do'a ini berasal
dari hadits dho'if (lemah).
Begitu
pula do'a berbuka,
اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
"Allahumma
laka shumtu wa bika aamantu wa 'ala rizqika afthortu" (Ya Allah,
kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku
berbuka), Mula 'Ali Al Qori mengatakan, "Tambahan "wa bika
aamantu" adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna
do'a tersebut shahih.[21] Sehingga cukup do'a
shahih yang kami sebutkan di atas (dzahabazh zhoma'u …) yang hendaknya
jadi pegangan dalam amalan.
5. Memberi makan pada orang yang berbuka.
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
"Siapa
memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang
berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala
orang yang berpuasa itu sedikit pun juga."[22]
6. Lebih banyak berderma dan beribadah di bulan Ramadhan
Dari
Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَجْوَدَ النَّاسِ بِالْخَيْرِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ ، حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ ، وَكَانَ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – يَلْقَاهُ كُلَّ لَيْلَةٍ فِى رَمَضَانَ حَتَّى يَنْسَلِخَ ، يَعْرِضُ عَلَيْهِ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْقُرْآنَ ، فَإِذَا لَقِيَهُ جِبْرِيلُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – كَانَ أَجْوَدَ بِالْخَيْرِ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ
"Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling gemar melakukan
kebaikan. Kedermawanan (kebaikan) yang beliau lakukan lebih lagi di bulan Ramadhan yaitu ketika Jibril 'alaihis salam menemui beliau. Jibril 'alaihis
salam datang menemui beliau pada setiap malam di bulan Ramadhan
(untuk membacakan Al Qur'an) hingga Al Qur'an selesai dibacakan untuk Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam. Apabila Jibril 'alaihi salam datang menemuinya,
beliau adalah orang yang lebih cepat dalam kebaikan dari angin yang berhembus."[23]
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam lebih banyak lagi melakukan kebaikan di bulan Ramadhan. Beliau
memperbanyak sedekah, berbuat baik, membaca Al Qur'an, shalat, dzikir
dan i'tikaf."[24]
Dengan
banyak berderma melalui memberi makan berbuka dan sedekah sunnah
dibarengi dengan berpuasa itulah jalan menuju surga.[25]
Dari 'Ali, ia berkata, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«
إِنَّ فِى الْجَنَّةِ غُرَفًا تُرَى ظُهُورُهَا مِنْ بُطُونِهَا وَبُطُونُهَا مِنْ ظُهُورِهَا ». فَقَامَ أَعْرَابِىٌّ فَقَالَ لِمَنْ هِىَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لِمَنْ أَطَابَ الْكَلاَمَ وَأَطْعَمَ الطَّعَامَ وَأَدَامَ الصِّيَامَ وَصَلَّى لِلَّهِ بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ »
"Sesungguhnya
di surga terdapat kamar-kamar yang mana bagian luarnya terlihat dari bagian
dalam dan bagian dalamnya terlihat dari bagian luarnya." Lantas
seorang arab baduwi berdiri sambil berkata, "Bagi siapakah kamar-kamar
itu diperuntukkan wahai Rasululullah?" Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam menjawab: "Untuk orang yang berkata benar, yang memberi
makan, dan yang senantiasa berpuasa dan shalat
pada malam hari diwaktu manusia pada tidur."[26]
Semoga
sajian ini bermanfaat.
[1] 'Aunul Ma'bud, 6/336.
[2] HR. Ahmad 3/367. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini derajatnya hasan dilihat dari jalur lainnya, yaitu hasan lighoirihi.
[3] HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095.
[4] Al Majmu' 6/359.
[5] HR. Muslim no. 1096.
[6] 'Aunul Ma'bud, 6/336.
[7] HR. Ahmad 3/12, dari Abu Sa'id Al Khudri. Syaikh Syu'aib Al
Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya.
[8] Yang dimaksudkan dengan adzan di sini adalah adzan kedua
yang dilakukan oleh Ibnu Ummi Maktum, sebagai tanda masuk waktu shubuh atau
terbit fajar (shodiq). (Lihat Fathul Bari, 2/54)
[9] HR. Bukhari no. 575 dan Muslim no. 1097.
[10] Lihat Fathul Bari, 4/138.
[11] Majmu' Fatawa Ibnu Baz, 15/281-282.
[12] HR. Bukhari no. 1957 dan Muslim no. 1098, dari Sahl bin
Sa'ad.
[13] HR. Ibnu Hibban 8/277 dan Ibnu Khuzaimah 3/275. Syaikh
Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[14] Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 63.
[15] HR. Abu Daud no. 2356 dan Ahmad 3/164. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
[16] Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 289.
[17] HR. Tirmidzi no. 2526 dan Ibnu Hibban 16/396. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Tuhfatul Ahwadzi, 7/194.
[19] HR. Abu Daud no. 2357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan.
[20] HR. Abu Daud no. 2358, dari Mu'adz bin Zuhroh. Mu'adz
adalah seorang tabi'in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi'in terputus).
Hadits mursal merupakan hadits dho'if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh
Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho'if. (Lihat Irwaul Gholil,
4/38)
Hadits semacam ini juga dikeluarkan
oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho'if
yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh
berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho'if. Syaikh Al Albani pun
mengatakan riwayat ini dho'if. (Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38)
Di antara ulama yang mendho'ifkan
hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. (Lihat Zaadul Ma'ad, 2/45)
[21] Mirqotul Mafatih, 6/304.
[22] HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192,
dari Zaid bin Kholid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[23] HR. Bukhari no. 1902 dan Muslim no. 2308.
[24] Zaadul Ma'ad, 2/25.
[25] Lihat Lathoif Al Ma'arif, 298.
[26] HR. Tirmidzi no. 1984. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
ini hasan.