Jika kita tengok sejarah da'wah, tradisi nenek moyang adalah salah satu
logika yang paling sering digunakan untuk menjadi legitimasi perilaku
jahiliyah dan penentangan terhadap risalah. Mudah untuk berkata,
"Bapak-bapak kita berada di atas nilai, dan kita akan mendapatkan
petunjuk dengan mengikuti jejaknya."
"Jika dikatakan pada mereka, 'Ikutilah apa-apa yang telah diturunkan Allah!', mereka menjawab, '(Tidak) tetapi kami mengikuti apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang kami.." (Al-Baqarah 2:170).
Belenggu tradisi adalah wujud lain dari jahiliyah. Pakem-pakem warisan nenek moyang menjadi sandaran penolakan terhadap ajakan menuju perbaikan.
Adakah orang yang lebih malang dari Abu Thalib? Menjelang wafatnya, sang Nabi dengan berlinang berjaga di samping kanannya dan terus berkata lembut, "Wahai paman, ucapkanlah Laa ilaaha illallaah, maka engkau akan selamat...!", tetapi Abu Thalib melirik ke atas dan ke kiri, dimana Abu Lahab dan Abu Jahl memasang wajah bengis mengulang-ulang intimidasi, "Apakah engkau menghina tuhan-tuhan kita wahai Abu Thalib? Apakah engkau hendak mengikuti anak muda ini dan meninggalkan warisan nenek moyang kita yang agung? Apakah engkau hendak mengkhianati 'Abdul Muthallib?"
Akhir yang menyedihkan. Saat gumaman terakhir di bibir tua Abu Thalib terdengar lemah, " tetap pada agama 'Abdul Muthallib.. tetap pada millah nenek moyang kita..."
".. dan apakah mereka akan mengikuti bapak-bapak mereka, walaupun syaithan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala?" (Luqman 31:21)
Abu Thalib adalah korban nilai tradisi. Lepas dari pembelaan habis-habisan terhadap Sang Nabi, keyakinannya bahwa sang keponakan berada di atas kebenaran, dan perlindungannya pada insan-insan beriman yang kelak meringankan 'adzab baginya, ia adalah korban dari propaganda tradisi. Hari ini, kita menyaksikan banyak korban lain. [saf/islampetunjukjalan].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar