Talbis Iblis
Meskipun tulisan ini sudah cukup lama, namun sungguh tetap relevan sepanjang abadinya keberadaan antara kebenaran dan kebathilan, antara kebaikan dan kejahatan, antara yin dan yang. Silahkan nikmati tulisan saudara Adian Husaini ini dengan baik dan baik pula bila Anda memiliki bukunya :)
Dr. Syamsuddin Arief, alumni ISTAC
yang sedang mengambil doktor keduanya di Frankfurt Jerman, beberapa waktu lalu
menulis satu artikel yang menghebohkan di hidayatullah.com. Judulnya:
Diabolisme Intelektual. Artikel ini segera menyulut tanggapan keras dari seorang
aktivis Islam Liberal, yang segera menuduh bahwa orang seperti Dr. Syamsuddin
Arief cenderung punya kelainan jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya
paling benar dan paling bersih.
Melalui artikelnya, Syamsuddin
menjelaskan, bahwa "diabolisme" berarti pemikiran, watak dan perilaku
ala Iblis ataupun pengabdian padanya. Dalam kitab suci al-Qur'an dinyatakan
bahwa Iblis dikutuk dan dihalau karena menolak perintah Tuhan untuk bersujud
kepada Adam. Iblis tidaklah atheis atau agnostik. Iblis tidak mengingkari
adanya Tuhan.
Iblis tidak meragukan wujud maupun
ketunggalan-Nya. Iblis bukan tidak kenal Tuhan. Ia tahu dan percaya seratus
persen. Tetapi, meskipun ia tahu kebenaran, ia disebut 'kafir', karena
mengingkari dan menolak kebenaran.
Kesalahan Iblis bukan karena ia tak
tahu atau tak berilmu. Kesalahannya karena ia membangkang. (QS 2:34, 15:31,
20:116); ia sombong dan menganggap dirinya hebat (QS 2:34, 38:73, 38:75). Iblis
juga melawan perintah Tuhan.
Allah berfirman: "Dia adalah dari
golongan jin, maka ia durhaka terhadap perintah Tuhannya. Patutkah kamu
mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain kepada-Ku, sedang
mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi
orang-orang yang zalim" (QS 18:50).
Dalam hal ini, Iblis tidak
sendirian. Sudah banyak orang yang berhasil direkrut sebagai staf dan kroninya,
berpikiran dan berprilaku seperti yang dicontohkannya. Iblis adalah 'prototype'
intelektual 'keblinger'. Sebagaimana dikisahkan dalam al-Qur'an, sejurus setelah
ia divonis, Iblis mohon agar ajalnya ditangguhkan. Dikabulkan dan dibebaskan
untuk sementara waktu, ia pun bersumpah untuk menyeret orang lain ke jalannya,
dengan segala cara.
"Hasutlah siapa saja yang kau
bisa dari kalangan mereka dengan seruanmu. Kerahkan seluruh pasukanmu, kavalri
maupun infantri. Menyusuplah dalam urusan keuangan dan keluarga mereka.
Janjikan mereka [kenikmatan dan keselamatan]!" Demikian difirmankan kepada
Iblis (QS 17:64).
Maka Iblis pun bertekad:
"Sungguh akan kuhalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Akan kudatangi
mereka dari arah depan dan belakang, dari sebelah kanan dan kiri mereka!"
(QS 7:16-17).
Maksudnya, menurut Ibnu Abbas ra,
Iblis bertekad untuk menyesatkan orang dengan menebar keraguan, membuat orang
ragu dan lupa pada akhirat, alergi dan anti terhadap kebaikan dan kebenaran,
gandrung dan tergila-gila pada dunia, hobi dan cuek berbuat dosa, ragu dan
bingung soal agama (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azim, cetakan
Beirut, al-Maktabah al-Asriyyah, 1995, vol. 2, hlm. 190).
Selanjutnya, Syamsuddin Arief mengelaborasi
ciri-ciri cendekiawan bermental Iblis. Pertama, selalu membangkang dan
membantah (6:121). Meskipun ia kenal, tahu dan faham, namun tidak akan pernah
mau menerima kebenaran. Seperti ingkarnya Fir'aun berikut hulu-balangnya. Maka
selalu dicarinya argumen untuk menyanggah dan menolak kebenaran demi
mempertahankan opininya.
Sebab, yang penting baginya bukan
kebenaran, akan tetapi pembenaran. Jadi, bukan karena ia tak tahu mana yang
benar, tetapi karena ia memang tidak mau mengikuti dan tunduk pada kebenaran
itu.
Kedua, cendekiawan bermental Iblis
itu "bermuka dua", menggunakan standar ganda (QS 2:14). Mereka menganggap orang
beriman itu bodoh, padahal merekalah yang bodoh dan dungu (sufaha').
Intelektual semacam inilah yang
diancam Allah dalam al-Qur'an : "Akan Aku palingkan mereka yang arogan
tanpa kebenaran itu dari ayat-ayat-Ku. Sehingga, meskipun menyaksikan setiap
ayat, tetap saja mereka tidak akan mempercayainya. Dan kalaupun melihat jalan
kebenaran, mereka tidak akan mau menempuhnya. Namun jika melihat jalan
kesesatan, mereka justru menelusurinya" (QS 7:146).
Ketiga, ialah mengaburkan dan
menyembunyikan kebenaran (talbis wa kitman al-haqq). Cendekiawan diabolik bukan
tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Namun ia sengaja
memutarbalikkan data dan fakta.
Yang bathil dipoles dan dikemas
sedemikian rupa sehingga nampak seolah-olah haq. Sebaliknya, yang haq digunting
dan di'preteli' sehingga kelihatan seperti batil. Ataupun dicampur-aduk
dua-duanya sehingga tidak jelas lagi beda antara yang benar dan yang salah.
Strategi semacam ini memang sangat efektif untuk membuat orang lain bingung dan
terkecoh.
Al-Qur'an pun telah mensinyalir:
"Memang ada manusia-manusia yang kesukaannya berargumentasi, menghujat
Allah tanpa ilmu, dan menjadi pengikut setan yang durhaka. Telah ditetapkan
atasnya, bahwa siapa saja yang menjadikannya sebagai kawan, maka akan
disesatkan olehnya dan dibimbingnya ke neraka" (QS 22:3-4).
Demikianlah peringatan dan paparan Dr. Syamsuddin Arief
tentang ciri-ciri cendekiawan yang bermental Iblis. Peringatan ini sepatutnya
menjadi renungan serius bagi para cendekiawan yang benar-benar memiliki niat
ikhlas untuk mencari kebenaran, dan bukan saja mencari popularitas dan
keuntungan duniawi.
Apa yang dilakukan Syamsuddin Arief bukanlah hal baru. Banyak ulama sebelumnya
yang telah memberikan peringatan serupa, tentang bahaya taktik dan tipudaya
Iblis dalam menyesatkan umat manusia.
Masalah ini begitu penting, sebab,
memang Iblis adalah musuh manusia yang nyata, bukan musuh yang tersembunyi.
Iblis dan kroni-kroninya seharusnya diketahui dengan jelas ciri-cirinya.
Imam al-Ghazali menulis satu kitab khusus tentang masalah Iblis dan tipudayanya, yang diberi judul "Talbis Iblis".
Kitab dengan judul yang sama juga ditulis oleh al-Hafizh Ibnul Jauzy
al-Baghdady. Dalam Kitabnya, Ibnul Jauzy mengingatkan, bahwa 'talbis' artinya "menampakkan kebatilan dalam rupa kebenaran".
Ibnul Jauzy menjelaskan talbis Iblis (red: kajian lengkap dan sangat bermanfaat atas kitab ini oleh Ustadz Badrussalam, silahkan di sini) terhadap berbagai jenis agama dan aliran masyarakat, yang tumbuh dan berkembang
ketika itu. Talbis Iblis, atau tipudaya setan, yang hobinya mengaburkan yang
haq dan bathil sangatlah perlu diwaspadai oleh manusia. Apalagi, jika yang
melakukan talbis itu orang-orang yang dikategorikan ke dalam golongan
intelektual atau cendekiawan.
Mereka dengan segala kemampuan
ilmunya tidak ragu-ragu mengikuti jejak Iblis, memutarbalikkan yang haq menjadi
bathil dan yang bathil menjadi haq.
Di era kebebasan informasi saat ini,
kaum Muslim menghadapi masalah yang sangat pelik, yang belum pernah dihadapi di
masa-masa lalu. Nyaris setiap hari, media massa melakukan penjungkirbalikan
nilai-nilai kebenaran, dengan menggunakan slogan-slogan atau istilah-istilah
yang indah, seperti pluralisme, kebebasan, hak asasi, pencerahan, dan
sebagainya.
Paham penyamaan semua agama yang
jelas-jelas keliru dibungkus dengan istilah indah: "pluralisme". Paham
penyebarluasan kebebasan amoral dalam bidang perzinahan dan homoseksual dikemas
dengan bungkus rapi bernama "hak asasi manusia". Dengan tipudaya Iblis,
khamar diiklankan dan dijadikan kebanggaan oleh sebagian manusia modern,
perzinahan dilegalkan dan tidak dipersoalkan kebejatannya, sementara poligami
diopinikan sebagai bentuk kejahatan.
Rasulullah saw pernah mengingatkan: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh dengan tipuan. Pada waktu
itu di pendusta dikatakan benar dan orang yang benar dikatakan dusta."(HR Ibnu
Majah). Di zaman globalisasi saat ini, diakui, bahwa informasi adalah kekuatan
yang paling dahsyat. Penguasa informasi adalah yang menguasai otak manusia saat
ini. Mereka dengan leluasa berpotensi memutarbalikkan fakta dan kebenaran.
Di sinilah talbis Iblis dapat
terjadi. Yang haq dipromosikan sebagai kebathilan, dan yang bathil dikampanyekan
sebagai al-haq. Banyak motif para pelaku talbis Iblis. Bisa karena memang ada
kesombongan, ada penyakit hati, atau karena motif mencari keuntungan duniawi.
Dalam situasi seperti ini,
peringatan Dr. Syamsuddin Arief tentang ciri-ciri pelaku talbis Iblis di
kalangan intelektual, sangat relevan untuk direnungkan. Sangatlah tidak tepat
jika dia dikatakan mengalami gangguan jiwa.
Tugas para Nabi dan pewarisnya (para
ulama) adalah menjelaskan mana yang haq dan mana yang bathil, menyeru umat
manusia, agar tidak mengikuti jalan-jalan Iblis, jalan yang sesat, yang
mengantarkan manusia kepada api neraka.
Jika ada cendekiawan yang tugasnya
senantiasa mengaburkan nilai-nilai kebenaran dan kebathilan, maka ia perlu
melakukan introspeksi terhadap dirinya sendiri. Allah SWT sudah menjelaskan: "Tidak ada paksaan (untuk masuk) agama Islam. Sungguh telah jelas yang benar
dari yang salah." (QS 2:256).
Sikap merasa benar sendiri terhadap
kebenaran agama Islam dan yakin dengan kebenaran al-Islam adalah sikap yang
sudah seharusnya. Dalam hal ini tidak boleh ada keraguan. Yang haq harus
dikatakan haq dan bathil harus dikatakan bathil. Itulah tugas setiap
cendekiawan Muslim.
Allah juga mengingatkan: "Al-haq itu dari
Tuhanmu, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu." Sikap
meragu-ragukan terhadap kebenaran adalah sikap dan perilaku Iblis, yang tidak
perlu dicontoh oleh kaum Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar