Hasad (dengki) merupakan penyakit hati
yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita
dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh
saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari
tangan saudaranya.
Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.
Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya
sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi
agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.
Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An-Nisaa’ [4] : 54)
Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ
يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ
أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab
menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran
setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)
Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:
لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ
“Janganlah kalian memutuskan tali
persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta
saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)
Sebab-sebab Hasad
Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.
Dunia memang sempit, sering menyempitkan
mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka
berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan
bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya
dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas,
seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi.
Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu
dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak
berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena
luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.
Ibnu Sirin rahimahullah berkata:
“Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena
jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam
masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli
neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia
akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)
Jika tujuan seseorang adalah akhirat,
maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang
memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada
tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia,
maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh
sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya,
hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta
akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang
memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar
biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan
tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari,
dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu
kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah
ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah
ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)
Obat Hasad
Setelah kita mengetahui bahwa hasad
adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui
obat dan terapi hasad tersebut.
Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini
tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari apotik atau dengan
suntik, herbal, atau pijat urut, akan tetapi penyakit hati ini hanya
dapat diobati dengan ilmu dan amal.
Adapun obat yang pertama adalah ilmu.
Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang
hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu
berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia,
hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati
karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat
kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal
itu telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.
Orang yang hasad ibarat orang yang
melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran,
tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya
dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali
melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu
masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata
sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah
menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga,
akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur,
sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas
perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat
adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan
perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah
menzhalimi orang lain ketika di dunia.
Perlu diketahui pula bahwa hasad juga
tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia
tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan
pahala jika hasad tersebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan,
sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya
juga tidak akan musnah karena hasad orang lain kepadanya, sebab
kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya.
Adapun obat kedua adalah amal perbuatan.
Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan
perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad.
Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang
yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda
yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu
membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu
kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi
hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan
sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan
seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati
kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)
Adakah Hasad yang Diperbolehkan?
Mungkin di antara kita ada yang
bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan?
Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ
آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua
orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan
oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada
sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan
perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah – Beirut)
Akan tetapi, hasad dalam hadits ini
berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad
yang ini disebut oleh para ulama dengan Ghibthah, yaitu
menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain
dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan
kenikmatan itu musnah darinya.
Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibthah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibthah
adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh
orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya.
Jika perkara yang di-ghibthah tersebut adalah perkara dunia,
maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk
perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna
hadits di atas adalah tidak ada ghibthah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M.
Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
@2010. Artikel: http://ummushofiyya.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar