Buddhisme
adalah pengikut ajaran Siddharta Buddha Gautama (566-485 SM). Siddharta lahir
di Nepal Selatan, di Lumbini, tak jauh dari Kapilavastu ibukota Shakya. Ayahnya,
yaitu Shuddhodana adalah bangsawan dari marga Gautama, kemungkinan sebagai
adipati di Shakya.[AB]
Adapun
berbagai naskah tentang Buddhisme pertama kali ditulis tiga abad setelah
kematian Buddha, sehingga sulit untuk menentukan ketepatan perincian yang
dimuat di berbagai catatan itu.[AB]
Buddhisme
adalah ateis, seperti ditegaskan dalam Kongres Dewan Sangha Buddhis Dunia
(WBSC: World Buddhist Sangha Council), yang pertama di Colombo, Sri Lanka (27-01-67),
yang secara bulat menyepakati sembilan poin. Pada poin ke tiga dinyatakan bahwa
Buddhisme tidak meyakini bila dunia ini diciptakan dan diatur oleh Tuhan. Oleh
karena itu, bila agama adalah jalan menuju Tuhan, maka Buddhisme adalah jalan
untuk menolak Adanya Tuhan (menjadi makhluk ateis).
Bila
agama bisa membedakan antara makhluk/ ciptaan/ alam dengan Sang Pencipta/
Tuhan, maka Buddhisme jauh dari memahami hal ini.
Bila
agama menjadikan diri pribadi dan alam semesta raya sebagai salah satu jalan
mengenal/ mengetahui Adanya Tuhan, maka Buddhisme memandang alam kehidupan hanya
sebatas sebagai tempat kesengsaraan/ samsara.
Bila
agama memahami hukum alam sebagai bagian sunatullah/ ketentuan dari Tuhan, maka
Buddhisme mendoktrin bahwa alam semesta maupun hukum alam itu terjadi dengan
sendirinya, tapi disisi lain berlawanan dengan dogma Buddhisme “ada ini maka ada
itu...” alias hukum sebab akibat/ hukum kamma/ hukum karma, yang begitu rumit.
Bila
agama melarang keras menyembah patung/ berhala dan memerintahkan untuk hanya
menyembah kepada Tuhan sebagai jalan menuju Surga, maka Buddhisme justru memberi
perintah untuk menyembah, bersujud, namaskara
penuh penghormatan dan pengagungan pada berbagai patung dari pendiri dan para
tokoh dari setidaknya tiga level dibawahnya (juga kepada para bhikkhu dan
bhikkhuni) dengan harapan besar supaya bisa masuk Surga/ terlahir kembali
didalamnya sebagaimana dogma yang diajarkan Buddha Gautama menjelang
kematiannya.
Bila
para Teis berlindung kepada Tuhan, maka Buddhis berlindung kepada Tisarana/
tiga perlindungan/ tiga ilahnya, yaitu Buddha Gautama, Dhamma (Dharma) dan
Sangha.
Bila
agama adalah jalan menuju pencerahan dari Tuhan, maka Buddhisme adalah jalan
menuju “pencerahan” dari “diri sendiri” (tergantung siapa/ apa yang dibayangkan saat semedhi/ meditasi hingga
dapat “pencerahan” dari beragam ilah yang ada dihadapannya atau dalam benaknya,
alias jalan menuju ke Selain Tuhan yang bisa diartikan sebagai jalan menuju Mara/
Setan/ kegelapan.
Bila
agama adalah jalan menuju kekekalan yang baik (surga), maka Buddhisme adalah
jalan menuju kehampaan, kekosongan, kesia-siaan, hilangnya segala keinginan,
kemusnahan tanpa sisa, berada dalam kondisi Nirvana, Nibbana. Meskipun Buddisme
juga menginginkan terlahir di alam dewa, di surga, tapi itu bukan tujuan
tertinggi karena menurut doktrin yang dipercayai bahwa itu semua bersifat
sementara (tidak kekal, namun tidak kekalnya itu dalam doktrin Buddhisme bisa
mencapai waktu ratusan ribu bahkan jutaan milyar tahun dunia, hm! Jadi tiada beda
bila itu disebut sebagai alam yang kekal).
Tujuan
akhir dari para Buddhis adalah mencapai Nibbana dan selanjutnya menjadi Atthi
ajatang abhutang akatang asamkhatang (bhs. Pali: Suatu yang tidak dilahirkan, tidak
dijelmakan, tidak diciptakan dan yang mutlak). Tujuan ini dibangun
atas dasar adanya dogma tumimbal lahir, dogma hukum karma, doktrin ketidak
kekekalan alam akhirat, maupun pandangan bahwa kehidupan adalah kesengsaraan
belaka.
Dengan
dogma tumimbal lahir, maka para Buddhis didoktrin untuk mempercayai bahwa
seseorang itu terlahir dari (dan akan dilahirkan kembali dalam) berbagai alam,
dari alam dewa sampai alam binatang, setan/ hantu, dari alam surga sampai alam
neraka. Para Buddhis didoktrin untuk percaya bahwa bisa jadi: “sapi/ kerbau/
monyet/ anjing/ cacing/ rayap, itu adalah ibunya” atau ia bisa terlahir menjadi
hewan2 tsb, dll., tergantung dari karma yang ia terima berdasar pada dogma dari
hukum karma.
Nah,
agar tidak terlahir dalam berbagai alam tersebut, dibuatlah doktrin tentang
Nibbana maupun Atthi ajatang abhutang...
sebagai tujuan tertinggi para buddhis.
Nibbana
(Pali) atau Nirvana (Sansekerta), berasal dari kata, Nir = tanpa/ tiada, dan
Vana = nafsu keinginan. Nirvana adalah kondisi batin yang terbebas dari ikatan
nafsu keinginan sebagai penyebab semua makhluk bertumimbal lahir, mengarungi
alam samsara/ sengsara. Sebagaimana diketahui bahwa Buddhisme memandang bahwa
kehidupan tiada lain adalah kesengsaraan, suatu hal yang sangat berbeda dengan Teisme
yang memandang bahwa hidup di dunia ini adalah sebagai kesempatan untuk berbuat
yang terbaik dalam rangka menjalani ujian dari Tuhan atau untuk beribadah
kepada Tuhan sebagai bekal kehidupan kekal di akhirat.
Nibbana
ini dicapai dengan cara membebaskan diri dari yang dianggap sebagai kemelekatan/ kekotoran
batin, yaitu dari lobha (keserakahan), dosa (kemarahan) dan moha (kebodohan
batin), dengan definisi masing-masing sesuai doktrin yang dibangun dalam
Buddhisme.
Cara
membebaskan diri dari hal tersebut atau untuk mencapai Nibbana, yaitu dengan
menempuh apa yang disebut sebagai jalan mulia
beruas delapan, memahami empat kesunyataan
mulia, dan meminta perlindungan pada tiga ilah yang dipercayainya, yaitu Tisarana: Buddha Gautama, Dhamma dan Sangha,
dan berbagai cara lainnya sesuai apa yang diajarkan oleh para ilahnya yang
bukan Tuhan, tapi para manusia ciptaan Tuhan. Jadi dalam hal ini (untuk
mencapai tujuan tertingginya), maka para Buddhis menjalani kehidupan mengikuti
beragam dogma, doktrin ataupun arahan dari para makhluk (yang notabene adalah
ciptaan Tuhan); sedangkan para Teis menjalani kehidupan sesuai hukum-hukum yang
datang dari Tuhan, sesuai apa yang disyariatkan oleh Tuhan melalui para Nabi
dan Rasul-Nya.
Bila
para Buddhis dalam hidupnya sudah bisa mencapai kondisi Nibbana, maka dimungkinkan
saat mati akan bisa menjadi Atthi ajatang abhutang akatang asamkhatang. Menjadi “suatu” yang tidak dilahirkan, tidak
dijelmakan, tidak diciptakan dan “yang mutlak”, terbebas dari tumimbal lahir/
dari samsara.
Menjadi suatu
ketiadaan... dari ketiadaan lainnya, sebagaimana dalam Buddhisme ada pula dogma
anatta: tiadanya diri/ aku/ atman/ jiwa/
ruh. Sebuah doktrin yang dibangun seiring pertarungannya dengan agama
Hindu. Dan disisi lain sangat sarat dengan kepercayaan pada berbagai makhluk
halus/ alam ruh/ hantu.
Tapi bagaimana
bisa menjadi Atthi ajatang abhutang akatang asamkhatang, menjadi “suatu”, menjadi
“yang mutlak”, dari sesuatu yang tidak pernah ada sesuai dogma anatta/ tiadanya ruh?
Bagaimana
bisa disebut tidak terlahir kembali, menjadi tiada dari suatu ketiadaan? Maka
dalam hal ini dan terutama mengenai dogma tumimbal lahir, para Buddhis seringkali
menyamakannya dengan proses reinkarnasi dalam ajaran agama Hindu yang memang
lebih rasional dibanding dogma tumimbal lahir ala Buddhisme yang membuat para Buddhis
sendiri kebingungan menjelaskannya.
Dan
apakah Siddharta Buddha Gautama sendiri telah mencapai Nibbana mengingat beliau
diakhir hayatnya bahkan masih penuh kemelakatan?
Misal,
ia meminta supaya jenazahnya dibungkus dengan 1.000 lembar kain (yang katanya
seperti para raja dunia). Maka jenazahnya pun dibungkus dengan 500 lapisan kain
linen baru dan 500 lembar kain wol-katun. Alamak... bayangkan bagaimana bentuk
bungkusan itu, bagaimana penampakkan Buddha terbungkus 1.000 lapisan kain!
Kenapa kain itu tidak disumbangkan saja kepada para petapa telanjang yang
banyak berada di sekitarnya, yang seringkali dikritisi olehnya? Tapi malah
untuk dibakar bersama jenazahnya. Sungguh tiada pikir dan mubazir!
Juga
perintahnya untuk mendirikan berbagai stupa dirinya di berbagai perempatan jalan, maka terbentuklah 10 stupa
berisi relik/ sisa tulang belulang/ abu bakaran dirinya saat itu yang
dimaksudkan untuk pemujaan dirinya dan mendoktrin para pengikutnya bahwa stupa/ patung tersebut akan
membuat hati
banyak orang menjadi tenang dan bahagia dan
dijanjikan akan masuk surga bila mengagung-agungkan stupa/ patung dirinya (juga
para tokoh Buddhis tiga level dibawahnya). Sungguh, Buddha yang narsistik! [DN-e]
Kemelekatan
lainnya juga terlihat saat ia dan para bhikkhu di rumah Cunda Kammaraputta dalam
acara “perjamuan terakhir”. Buddha lebih kurang berkata: "Cunda, sukara-maddava nya untuk aku saja,
sedangkan makanan lainnya yang keras dan yang lunak kamu kasih kepada mereka
para bhikkhu!"
Kenapa
ia tak berbagi dengan lainnya?
Oh,
mungkin dengan Abhinna yang dimilikinya,
ia mengetahui bahwa sukara-maddava tersebut
beracun, hingga tak boleh dibagikan pada lainnya dan sisanya pun mesti dikubur.
Tapi kenapa dengan abhinna itu pula
ia malah memakan makanan beracun itu, sehingga menyebabkan meninggal dunia? Kenapa
abhinna iddhividha Buddha kalah sakti
dengan racun dalam makanan tersebut?
Oh,
Buddha wafat bukan karena racun makanan tersebut! Tapi akibat banyaknya sukara-maddava yang
dimakannya, padahal saat itu ia sudah sangat tua (80-th), sehingga sesaat
setelah makan, maka ia yang tubuhnya sudah rapuh sering sakit-sakitan langsung
menderita sakit perut, diare dengan banyak darah yang keluar melalui rektumnya.
Bayangkan saja berapa banyak sukara-maddava
yang disiapkan oleh Cunda si tukang besi, yang sedianya untuk menjamu semua
dari sekelompok/ puluhan bhikkhu tersebut, namun akhirnya hanya dinikmati
seorang diri oleh Buddha, jadi bukan satu kendil tapi satu gentong sukara maddava. Karena itu Buddha mengalami
infarksi mesenterika atau apapun lainnya terkait kombinasi makanan
dan penyakit usia tua, hingga berujung pada kematian. Wa-Allahu a‘lam. Tapi
dengan demikian berarti ia masih dipenuhi kemelekatan dan sebaliknya teori/ dogma
Abhinna Buddha pun hanya khayalan
belaka! hm.. jadi pilih yang mana?
*Sukara-maddava adalah daging babi lunak
(gulai babi?). Dan babi itu haram! Tidak hanya untuk Muslim, tapi juga bagi
Yahudi, sebagian kecil Kristen, dan bahkan orang Hindu pun tidak makan daging babi
karena begitu menjijikkan, mengandung beragam sumber penyakit seperti
dituliskan oleh kapten Ajit V.
Kemelekatan
lainnya juga terlihat dari perintahnya
untuk mengagungkan beberapa tempat terkait dirinya, dengan dogma bahwa siapa
yang mengunjunginya, Wow! akan masuk surga.
"Ini Ananda, empat tempat dimana para Buddhis taat harus mengunjunginya dengan segenap perasaan penghormatan, pengagungan: 1) tempat kelahiran Buddha, 2) tempat Pencerahan Dirinya, 3) tempat Pemutaran Roda Dhamma, 4) tempat meninggalnya dimana dia mencapai kondisi Nibbana.
Dan disana para bhikkhu dan bhikkhuni, orang awam, harus membayang-bayangkan: disini Tathagata lahir, disini mengalami pencerahan penuh tanpa bandingan, disini diputar roda dhamma, disini Tathagata meninggal mencapai Nibbana! Siapapun yang mati saat mengunjunginya dengan segenap keyakinan maka akan masuk surga". [DN-e]
"Ini Ananda, empat tempat dimana para Buddhis taat harus mengunjunginya dengan segenap perasaan penghormatan, pengagungan: 1) tempat kelahiran Buddha, 2) tempat Pencerahan Dirinya, 3) tempat Pemutaran Roda Dhamma, 4) tempat meninggalnya dimana dia mencapai kondisi Nibbana.
Dan disana para bhikkhu dan bhikkhuni, orang awam, harus membayang-bayangkan: disini Tathagata lahir, disini mengalami pencerahan penuh tanpa bandingan, disini diputar roda dhamma, disini Tathagata meninggal mencapai Nibbana! Siapapun yang mati saat mengunjunginya dengan segenap keyakinan maka akan masuk surga". [DN-e]
Maka
untuk berbagai kemelekatan tersebut dan hal lainnya, patutlah direnungkan
firman Allah Ta'ala ini:
Dan sesungguhnya banyak (orang)
yang menyesatkan (orang lain) dengan keinginan hawa nafsunya tanpa dasar pengetahuan.
Sungguh Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui
batas. (QS. Al- An'aam/ 6: 119)
Dan adapun orang-orang yang
takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka sungguh surgalah tempat tinggalnya. (QS. An-Naziat/ 79: 40-41).
Dan apa
yang dimaksud dengan Buddha mencapai Nibbana tiada lain adalah sebagaimana pendapat
Bhikkhu
Anuruddha dalam menjelaskan proses kematian (sakaratul maut) Siddharta Buddha
Gautama kepada Bhikkhu Ananda, seperti koan ini:
Bhikkhu Ananda yang memperhatikan bahwa Sri Bhagava (Buddha) tidak bernafas, maka ia menjadi cemas dan berkata kepada Bhikkhu Anuruddha: “Sahabat Anuruddha, Sri Bhagava telah meninggal.”
Bhikkhu Ananda yang memperhatikan bahwa Sri Bhagava (Buddha) tidak bernafas, maka ia menjadi cemas dan berkata kepada Bhikkhu Anuruddha: “Sahabat Anuruddha, Sri Bhagava telah meninggal.”
Bhikkhu
Anuruddha berkata: “Tidak, sahabat Ananda, Sri Bhagava belum meninggal.” Ia
hanya memasuki Padamnya Pencerapan dan Perasaan. Lalu, keluar dari Padamnya
Pencerapan dan Perasaan itu, Sri Bhagava memasuki Tataran Bukan Pencerapan
Maupun Bukan Tanpa-Pencerapan. Setelah itu Ia memasuki Tataran Tanpa Ada Apa
Pun, Tataran Kesadaran Nirbatas, dan Tataran Ruang Nirbatas. Lalu keluar dari
Tataran Ruang Nirbatas, Ia memasuki jhana keempat, jhana ketiga, jhana kedua,
dan jhana pertama. Kemudian, keluar dari jhana pertama, Ia memasuki jhana
kedua, jhana ketiga, dan jhana keempat. Setelah keluar dari jhana keempat, Sri
Bhagava mencapai Nibbana Seutuhnya atau Parinibbana. [DN-i]
*Jhana =
meditasi untuk meraih ketenangan batin.
Itulah
Nibbana Buddhisme, yang tiada lain adalah maut, kematian! yang tentu saja segala
kebutuhan jasmaniah pun telah tamat! (namun ruh orang kafir dan pelaku
maksiat sekiranya bisa ingin dikembalikan ke dunia dari alam kubur/ barzah untuk
menjadi Muslim dan beramal lebih banyak lagi). Dan menurut narasi Digha Nikaya berarti Buddha semenjak kematiannya hingga kini sedang berada
bersama Mara, si Evil One yang beberapa kali telah mendatangi untuk membawa
bersamanya.
Maka: Maha Suci (Allah)
yang di tangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu dan kepada-Nya kamu
dikembalikan. (QS. Yaasiin/ 36:83).
Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.
29.(QS. Al-
'Ankabuut/ 29: 57).
Adapun orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapatkan surga-surga
tempat kediaman, sebagai pahala atas apa yang mereka kerjakan. Dan adapun
orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah neraka. Setiap kali
mereka hendak keluar darinya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya dan
dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah azab neraka yang dahulu kamu
dustakan." (QS. As-Sajdah/ 32: 19-20).
Btw, tujuan
tertinggi para Buddhis tiada lain adalah seperti yang digambarkan dalam Islam
dimana para binatang juga akan dibangkitkan, diqishas sesamanya, dan kemudian
semuanya akan berkesudahan, dimusnahkan. Penggambaran ini sangat tepat apalagi
didukung adanya dialog Buddha Gautama dengan Vaccha Gotta dimana
mencapai Nibbana itu seperti api menjadi padam tak nyala lagi, tiada sisa
tinggal abu. Mungkin karena hal ini pula para Buddhis saat meninggal akan
dikremasi sehingga tampak mencapai nibanna dimana jasadnya hanya tinggal jadi
abu, hh!
Namun
para Buddhis adalah manusia, karena itu akan dibangkitkan sebagai manusia. Maka
akan dihisab, diperhitungkan, dibedakan antara mukmin/ muslim dan kafir. Dibedakan
pula antara kafir musyrikin atau kafir ateis. Dan kafir ateis itu dinilai lebih
buruk daripada kafir musyrikin bahkan dengan iblis, karena iblis itu setidaknya
mengakui keberadaan Tuhan.
Adapun
akhlak yang baik sebagaimana yang diajarkan dalam Buddhisme dan semua agama
atau bahkan oleh orang yang tak beragama sekalipun, itu bukan patokan seseorang
akan bisa masuk surga. Bila akhlak yang dijadikan
patokan oleh Tuhan untuk menentukan pantas tidaknya seseorang masuk surga atau
neraka, maka agama tidak diperlukan lagi di muka bumi ini!
Akhlak yang baik harus dilandasi dengan agama/
iman yang benar. Tanpa dilandasi iman yang benar, maka hasilnya adalah
kesia-siaan seperti debu beterbangan:
Allah berfirman (yang artinya):
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman,
maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikitpun.”
(QS. An-Nisaa/ 4:125).
“Dan Kami akan
perlihatkan segala amal (kebaikan) yang mereka (orang kafir) kerjakan, lalu Kami
akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqaan/ 25:
23).
Sifat baik itu adalah fitrah yang diberikan
Allah sejak kita didalam kandungan. Fitrah (sifat-sifat baik) adalah
kecenderungan manusia untuk berbuat kebaikan, seperti halnya binatang buas
diberi Allah kecenderungan untuk bersifat buas walaupun ia berusaha dijinakkan di
lingkungan manusia. Hawa nafsu dan pilihan manusia sendiri yang membuat seseorang
manusia itu menjadi jahat dan berperilaku buruk.
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya
Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya. Dan
sesungguhnya mereka didatangi oleh setan yang menyebabkan mereka tersesat dari
agama mereka.” (HR. Muslim).
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah:
Allah menganugerahi manusia kesempatan untuk memilih yang baik atau yang buruk sesuai firman Allah:
“Dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS. Al-Balad/ 90: 10) “Sungguh, Kami
telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula
yang kufur.” (QS. Al-Insaan/ 76: 3)
Kemudian setan dari jenis jin dan manusia (orang lain atau hawa nafsu keinginan dirinya sendiri) menjadikan jalan yang benar terlihat kabur hingga jalan yang benar itu dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar.
Kemudian setan dari jenis jin dan manusia (orang lain atau hawa nafsu keinginan dirinya sendiri) menjadikan jalan yang benar terlihat kabur hingga jalan yang benar itu dikira sesat, dan jalan yang sesat dikira benar.
Allah SWT. berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah/
2: 216:
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui.”
Dan
pada hakekatnya tidak ada seorang pun yang tidak bertuhan. Semua orang itu bertuhan,
yaitu Tuhan Sejati atau ilah-ilah palsu selain Allah.
”Sudahkah engkau
(Muhammad), melihat orang yang menjadikan keinginannya sebagai tuhannya. Apakah
engkau akan menjadi pelindungnya? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan
mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu hanyalah seperti hewan ternak,
bahkan lebih sesat jalannya.” (QS.
Al-Furqaan/ 25:43-44).
Dan: “Tidak ada
seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih selaku seorang hamba.” (QS. Maryam/ 19:93).
Sabbe satta sukhita...
Semoga semua makhluk...
bisa ber-Tuhan
bisa ber-Tuhan
Sungguh tiada kebahagiaan tanpa ber-Tuhan YME
[Btw, agama dari
Nepal dengan ateisme-nya ini tidak sesuai dengan keyakinan asli masyarakat
Indonesia yang telah mengakui adanya Tuhan Sang Pencipta sebelum datangnya
agama Hindu dan Buddha, juga tidak sesuai dengan rumusan falsafah dasar bangsa
Indonesia, Pancasila dan UUD 45, dimana Negara Indonesia berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana dalam pembukaan UUD
45 bahwa Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa maka bangsa Indonesia bisa
merdeka!]
2 komentar:
buddhism & agaa dalam perspektif islam (atau agama2 gurun). :)
---
Bila agama bisa membedakan antara makhluk/ ciptaan/ alam dengan Sang Pencipta/ Tuhan, maka Buddhisme jauh dari memahami hal ini.
Bila agama menjadikan diri pribadi dan alam semesta raya sebagai salah satu jalan mengenal/ mengetahui Adanya Tuhan, maka Buddhisme memandang alam kehidupan hanya sebatas sebagai tempat kesengsaraan/ samsara.
Bila agama memahami hukum alam sebagai bagian sunatullah/ ketentuan dari Tuhan, maka Buddhisme mendoktrin bahwa alam semesta maupun hukum alam itu terjadi dengan sendirinya, tapi disisi lain berlawanan dengan dogma Buddhisme “ada ini maka ada itu...” alias hukum sebab akibat/ hukum kamma/ hukum karma, yang begitu rumit.
Bila agama melarang keras menyembah patung/ berhala dan memerintahkan untuk hanya menyembah kepada Tuhan sebagai jalan menuju Surga, maka Buddhisme justru memberi perintah untuk menyembah, bersujud, namaskara penuh penghormatan dan pengagungan pada berbagai patung dari pendiri dan para tokoh dari setidaknya tiga level dibawahnya (juga kepada para bhikkhu dan bhikkhuni) dengan harapan besar supaya bisa masuk Surga/ terlahir kembali didalamnya sebagaimana dogma yang diajarkan Buddha Gautama menjelang kematiannya.
saya tambahin wawasan jika berkenan menerimanya.
...
agama = tidak kocar-kacir = hukum-hukum yang mengatur manusia agar hidup baik
Dari sisi keyakinan, agama terdiri dari 2 jenis:
1. Theism
2. NonTheism
Benar buddhism masuk dalam nontheism seperti halnya shinto, zen, dan ajaran budiluhur dari jawa.
Jangankan Buddhist. Atheist sejati pun beragama. Tentu bukan agama teisme.
Posting Komentar