Para
ateis seringkali meminta bukti empirik atas suatu problem keilmuan yang
seharusnya mereka harus mulai menggunakan akalnya untuk menggapai bentuk
kebenaran rasionalistik. Mereka suka memvonis argumentasi rasionalistik kaum
teis sebagai ‘hanya asumsi’-‘hanya kebenaran anggapan’ bahkan yang lebih buruk
lagi ‘hanya ilusi’ dan vonis-vonis demikian dibuat karena mereka tetap kukuh
memegang prinsip empiristik ketika menggumuli problem dunia gaib dengan
mengabaikan dan menyisihkan prinsip cara berfikir rasionalistik.
Padahal
kitab suci sendiri mengkonsep manusia agar menggunakan akalnya untuk membaca
kebenaran Ilahi yang banyak berbicara tentang dunia gaib dan tidak menyuruh
manusia untuk berkubang hanya di wilayah metodologi serta bentuk kebenaran
empirik yang dibangunnya. Artinya Tuhan tidak meminta manusia untuk membuktikan
secara empirik deskripsi dunia gaib yang diungkapkan kitab suci melainkan
meminta akal manusia untuk digunakan agar bisa menangkap kebenaran
rasionalistiknya.
Sang
Maha Pencipta sendiri memandang akal itu memiliki derajat yang lebih tinggi
ketimbang dunia indera dan otomatis kebenaran rasionalistik dalam pandangan
Ilahi memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang sekedar bukti empirik yang
orang paling bodoh sekalipun bisa dengan mudah menangkapnya. Demikian pula akal
manusia bisa menggapai kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas ketimbang
bentuk kebenaran yang bisa digapai oleh kekuatan dunia indera, karena sebab itulah
maka Tuhan meninggikan akal melebihi dunia indera.
Mari
kita kaji persoalan ini dari dasar: Percayakah Anda bahwa disamping memiliki
dunia panca indera manusia juga memiliki akal (?)
Bila
anda percaya maka pasti Anda akan faham bahwa bila ada kebenaran yang bersandar
pada bukti empirik langsung, maka ada bentuk kebenaran yang bersandar pada
bukti yang dikemukakan akal fikiran.
Oleh
karena itu ada ‘bukti empirik’ dan ada ‘bukti rasional’ dan keduanya adalah
konsep-rumusan yang jelas berbeda dan tentu masing masing memiliki kredibilitas
dan validitas nya sendiri-sendiri. Dengan demikian kita mengenal ada ‘kebenaran
empirik’ dan ada ‘kebenaran rasional’, dan ini adalah dua konsep kebenaran yang
jelas berbeda dengan metodologi yang berbeda, dimana kebenaran empirik
mensyaratkan bukti empirik langsung, sedangkan kebenaran rasional mensyaratkan bukti berdasar
cara berfikir akal yang tertata-sistematik.
Metodologi
empirisme bersandar pada pembuktian secara empirik, adapun metodologi
rasionalisme bersandar pada pembuktian argumentasi cara berfikir akal yang
tertata-sistematik. Metodologi rasionalistik tidak mensyaratkan bukti empirik
langsung, sehingga bila dalam wilayah kebenaran empirik manusia dibebani untuk membuktikan
secara empirik obyek yang dijadikan kajian, maka dalam wilayah kebenaran rasional
manusia tidak dibebani untuk membuktikan secara empirik dengan bukti yang
tertangkap dunia inderawi dari obyek yang dijadikan bahasan.
Sebab
itu metode serta bentuk kebenaran empirik tidak cocok dan tidak bisa fleksibel
bila digunakan membahas problem yang berkaitan dengan dunia gaib, sedang metode
serta bentuk kebenaran rasionalistik cocok dan fleksibel bila digunakan membahas
problem keilmuan yang sudah berhubungan dengan obyek-hal yang gaib. Dengan
demikian, ketika metodologi cara berfikir rasionalistik itu digunakan untuk membahas
masalah ‘Tuhan’-‘Sang desainer’ - masalah ‘surga-neraka’ maka akal tidak dibebani
untuk membuktikan secara empirik terlebih dahulu tentang Tuhan Sang desainer serta surga-neraka
itu, tetapi cara berfikir akal dituntut untuk bisa memahami semuanya secara
rasionalistik dengan cara berfikir akal yang tertata dan merumuskannya kepada bentuk
kebenaran rasional dimana tata cara berfikir akal yang sistematik bisa menangkap dan memahaminya.
Dalam
dunia filsafat sendiri masalah ini tentu terbahaskan sehingga melahirkan adanya
dua bentuk metodologi serta dua bentuk kebenaran yang berbeda, yaitu faham empirisme dan faham rasionalisme.
Nah,
kapan kita harus menggunakan metodologi empirisme dan kapan kita harus
menggunakan metodologi rasionalisme (?)
Metodologi
empirik tentu harus kita gunakan kala kita membahas problem keilmuan yang bisa bermuara
kepada pembuktian secara empirik. Adapun metodologi rasionalistik tentu harus kita
gunakan kala kita membahas problem keilmuan yang bisa dimuarakan kepada adanya
pembuktian secara rasionalistik.
Sampai
kepada poin ini saya ingin mulai bertanya khususnya kepada para ateis yang suka
meminta bukti empirik atas persoalan yang tidak bisa dimuarakan kepada pembuktian
empirik (tetapi manusia dituntut untuk memuarakannya kepada bukti rasionalistik):
“Mengapa dalam membahas problem yang berkaitan dengan dunia gaib, ateis selalu meminta
bukti empirik padahal masalah yang dibahas seharusnya dimuarakan kepada
pembuktian rasionalistik (?)”
Dengan
kata lain dalam membahas masalah Tuhan-alam akhirat-surga neraka, apakah wajar
bila manusia masih selalu menuntut bukti empirik dengan mengabaikan fakta bukti
rasionalistik (?) padahal tatacara berfikir akal yang tertata sebenarnya masih
bisa menggapainya!
Inilah
kelemahan dasar orang ateis yang mereka sendiri mungkin tidak sadari, sebab
pada dasarnya mereka tidak bisa ber-estafet dari dunia indera ke dunia akal
dari metode serta bentuk kebenaran empirik ke metode serta kebenaran
rasionalistik!
Dalam
membahas problem keilmuan yang sudah berhubungan dengan wilayah gaib, para Ateis
masih selalu berkubang di wilayah metodologi empiristik sementara Teis/ mukmin
sudah pada naik ke wilayah pembuktian rasionalistik.
Sebagai
contoh: dalam fase membahas adanya sang desainer dibalik adanya keserba-tertataan/
keteraturan alam semesta saja ateis kukuh masih meminta bukti empiriknya ketika
para teis sudah naik ke wilayah pembuktian rasionalistik, padahal seharusnya
mereka memahami bahwa pada fase ini manusia sudah berhadapan dengan problem
yang berhubungan dengan hal yang bersifat gaib yang sudah tak bisa di muarakan
lagi kepada bukti yang bersifat empirik.
Demikian
pula ketika dalam fase pembahasan surga-neraka ateis juga selalu kukuh meminta
bukti empirik ketika teis sudah naik ke wilayah pembuktian rasional untuk
membuktikan kebenaran rasionalistik dari adanya konsep surga-neraka itu.
Dan
ketika membahas masalah yang mendasar yang berhubungan dengan wilayah gaib
seperti masalah ketuhanan, para teis sudah pada berlarian ke wilayah
rasionalistik dengan membangun segudang argumentasi rasionalistik untuk
memahami keberadaan Tuhan, tetapi ateis masih selalu berkubang di wilayah
metodologi empiristik sehingga mereka selalu sulit memahami Tuhan karena
fikirannya masih selalu terpenjara oleh metodologi empiristik.
Padahal
dalam kehidupan sehari hari saja ada dua macam peralatan: dunia indera - akal, serta
dua jenis bukti: bukti empirik - bukti rasionalistik, yang ini selalu saling
berkaitan – selalu saling mendukung dimana ketika dunia indera sudah tak bisa
memahami maka manusia mencoba menggunakan akalnya untuk melapis kelemahan dunia
inderawinya, ketika bukti empirik sudah tak memungkinkan maka manusia naik ke
fase mencari bukti rasionalistik.
Sebagai
contoh di pengadilan dalam mengungkap kejahatan dua macam bukti ini saling
mendukung, si terdakwa didakwa atas bukti bukti empirik kejahatannya dan ketika
ia mulai mencoba membela diri maka argumentasi rasionalistik mulai digunakan
untuk menjerat sang terdakwa dengan hukuman yang setimpal.
Lalu
mengapa ketika ateis membahas masalah yang sudah berhubungan dengan dunia gaib,
ateis secara kaku tetap selalu menggunakan prinsip cara berfikir yang bersandar
pada metodologi empiristik dan tidak mau naik ke fase menggunakan akalnya (?)
Tetapi
anehnya ateis terkadang mengklaim diri sebagai 'golongan rasional' dan mendiskreditkan
teis sebagai 'kelompok yang tidak menggunakan nalar'. Padahal sejatinya mereka adalah
kaum yang masih selalu bertumpu kepada cara berfikir serta metodologi
empiristik bahkan ketika mereka membicarakan problem keilmuan yang sudah berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat gaib, karena mereka masih selalu meminta minta
bukti empirik atas problem yang seharusnya manusia sudah naik ke fase
menggunakan cara berfikir rasionalistik akalnya. [UTiB]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar