Mengetahui Keberadaan Tuhan


Bagaimana Anda dapat mengetahui bahwa Tuhan memang Ada? Apakah mungkin manusia memiliki pengetahuan tentang Tuhan? Atau lebih jauh lagi bagaimana kita mengetahui siapa Dia, dan apa kehendak dan rencana-Nya bagi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini lahir dari hasrat terdalam manusia yang sekaligus membuktikan bahwa manusia merindukan pengetahuan tentang Tuhan.

Kunjungi: youtube.com/wañtch?v=97GFujVTk4k

Di bawah ini akan diterangkan sejumlah gejala dan fakta bahwa sekalipun Tuhan memang tidak terjangkau oleh pengertian manusia, namun Ia sungguh dapat dikenal. Secara naluriah seluruh umat manusia di muka bumi ini mempercayai adanya Penguasa Tertinggi yang berkuasa atas kehidupan manusia. Masing-masing suku bangsa dengan dialek bahasanya menyebut dengan nama atau istilah yang mereka pahami. Dan tentu saja dari perspektif native-language-nya tidak menjadi persoalan sebab itu hanya sebatas sebutan dalam dialek bahasa ibu yang mereka miliki. Tetapi persoalan menjadi berbeda ketika kita berbicara dari perspektif substansi teologis yang mengisi sebutan Nama Penguasa Tertinggi sebagai wujud kebenaran yang ilahiah. Dalam konteks ini konsep ketuhanan yang absah perlu segera dirujukkan berdasarkan sumbernya, apakah itu bersumber dari pewahyuan murni, ataukah dari ide manusia yang membangun sosok Tuhan seperti yang dipersepsikan hanya oleh akal budinya.

Inilah yang mendasari keyakinan setiap agama beserta umatnya bahwa keberadaan Penguasa Tertinggi dapat dikenal dengan dua cara; lewat apa yang disebut “pewahyuan umum” dan “pewahyuan khusus”. Pewahyuan umum menyangkut tanda-tanda adanya Tuhan dapat disaksikan melalui alam semesta yang mendatangkan satu kesadaran yang mendasar: “Darimana atau siapakah yang menciptakan alam semesta?” Ia tak dapat datang dari kekosongan. Haruslah ada Sang Pencipta (Al-Khaliq), yaitu Yang Maha Kuasa yang tidak dicipta, tetapi yang menciptakan dan memelihara alam semesta ini. Selain itu, pewahyuan umum juga ditanamkan Sang Pencipta kedalam hati nurani dan mental setiap manusia, sehingga secara universal mereka selalu terikat dalam kesamaan moral hakiki (seperti perasaan dosa, keadilan dll), merasa rindu mencari dan menyembah Dia yang dapat memberikan berkat dan pengharapan akan kehidupan kekal. 

Disamping wahyu umum, Tuhan juga menurunkan wahyu khusus yang bukan sekedar memperkenalkan kuasa, kemuliaan dan hikmah penciptaan alam semesta saja, tetapi justru memperkenalkan pribadi, kehendak dan kasih-Nya yang mau menyelamatkan umat manusia sebagai puncak pewahyuan, seperti yang disampaikan dalam kitab suci Al-Qur’an dan juga terdapat dalam Bibel. Wahyu khusus inilah yang akan membawa wahyu umum kepada sumbernya yang sejati.

1). Mengetahui keberadaan Tuhan melalui karya ciptaan-Nya.
Ciptaan membuktikan penciptanya. Voltaire berkata, “Bilamana sebuah jam dapat membuktikan keberadaan seorang pembuat jam, tetapi alam semesta tidak dapat membuktikan arsiteknya yang agung, maka saya bersedia disebut orang bodoh”. Banyak orang masa kini ingin menyangkal otoritas Tuhan. Itu sebabnya mereka terus mencoba untuk meyakinkan diri mereka (dan orang-orang lain) bahwa sains (ilmu pengetahuan) menolak keberadaan Tuhan dan ajaran penciptaan-Nya. Orang-orang hanya percaya bahwa mereka sendirilah yang bertanggung jawab untuk dirinya dan tidak ada oknum gaib dalam kosmos ini yang mengatur kehidupannya. 

Berbicara tentang sains penciptaan, kita harus masuk kedalam prinsip dasar dari Sebab dan Akibat, yaitu Prinsip Kausalitas, “tidak ada Akibat yang lebih besar dari Sebabnya”.  Atau secara populer diartikan bahwa “Dari yang tidak ada, tak akan terjadi apa yang ada”. Oleh karena itu harus ada Sebab Pertama dari segala sesuatu yang hadir di alam raya ini yang telah diadakan oleh-Nya. Jadi, Sebab Pertama ini haruslah mempunyai kemampuan dan kepintaran/ pengetahuan diatas makhluk-makhluk didunia ini (dan alam raya itu sendiri). Ini adalah Akibat yang harus mempunyai Sebab yang cukup. Dan pada tingkat kemampuan/ pengetahuan yang sedemikian tinggi, prinsip kausalitas akan merujuk kepada Sebab Pertama yang disebut Sang Maha Kuasa dan Maha Tahu. Alam semesta tidak menciptakan dirinya disaat manapun. Dan tak ada alam semesta yang tak tergantung kepada sesuatu yang lain. 

Jadi alam semesta pastilah diciptakan dimasa dulu oleh Sebab Pertama yang mahahebat, yang disebut Tuhan, Sang Pencipta. Dalam hal ini, baik Al-Quran maupun Bibel merujukkan bahwa ada sosok Pencipta, Ada Al-Khaliq. Oleh karena Sosok ini Tidak dicipta, yang Awal, maka substansi diri-Nya adalah bukan dari unsur-unsur semesta yang Ia ciptakan, melainkan dari Dzat yang hanya Ia sendiri yang mengetahui, wa-Allahu ‘alam. Dzat ini meninggalkan tanda-tanda pada karya ciptaan-Nya bagi orang-orang yang berakal, yang mau berpikir!

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (QS. Ali Imran 3:190).

Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (QS. Ar-Rad/ 13:3).

Orang bebal berkata dalam hatinya: ‘tidak ada Allah’ …(tetapi)… langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan (penciptaan dan pemeliharaan) tangan-Nya; hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam… gema mereka terpencar ke seluruh dunia, dan perkataan mereka sampai ke ujung bumi. (Mazmur Nabi Daud 14:1; 19:2-4).

Adanya sebagian kecil manusia yang menolak keberadaan Tuhan bukan karena sains membuktikan hal tersebut, melainkan semata-mata karena mereka sendiri yang tidak menginginkan Sang Pencipta dengan berbagai alasan berdasar hawa nafsu keinginannya atau keterbatasan pengetahuannya.

Isaac Newton, seorang ahli matematika dan fisika mengatakan: “Dalam kekosongan bukti apapun lainnya, maka jari jempol saja cukup meyakinkan saya tentang keberadaan Tuhan”.

Isaac Newton dalam hal ini cukup selaras dengan pernyataan Allah untuk meyakini keberadaan-Nya melalui sikap perhatian pada diri pribadi:

Dan pada penciptakan dirimu dan makhluk bernyawa yang bergerak bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) untuk kaum yang meyakini”. (QS. Al-Jaatsiyah/ 45: 4).

Disisi yang lain ada orang yang memperdebatkan bahwa, jika segala sesuatu ini harus berasal dari sesuatu sebab, maka Tuhan juga harus berasal dari sebuah sebab. Tetapi hal ini merupakan suatu kesalahan yang disebut kesalahan dimensional. Prinsip kausalitas tidak berkata bahwa segala sesuatu - termasuk Sebab Pertama- memerlukan Penyebab, melainkan hanya sesuatu yang terbatas dan terukur (finite dan limited) itulah yang memerlukan Penyebab. Jadi, hanya sesuatu yang mempunyai awal yang harus mempunyai Penyebab.

Contoh lain dari kesalahan dimensional, misal “melihat” dan “merasa” adalah dua kategori yang berbeda dimensinya. Warna bisa dilihat, dan itu tidak ada hubungannya dengan rasa yang dirasai. Sebuah pertanyaan “Bagaimana sebuah warna hijau itu rasanya?” adalah pertanyaan yang tidak relevan, tidak ada kaitan karena berbeda dimensinya. Hal yang sama terjadi untuk pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” Ini mencampur adukkan dimensi yang terbatas/ terukur (finite) dengan dimensi yang tidak terbatas/ tak terukur (infinite). Hanya sesuatu yang finite memerlukan sebuah Sebab; sesuatu yang finite ini mempunyai asal usul dan masuk ke dalam eksistensi (keberadaan). Sesuatu yang infinite seperti Allah tidak memerlukan dan tidak mempunyai awal mula. Ia selalu eksis (ada) dan karenanya tidak mempunyai Penyebab.

Albert Einstein, seorang ilmuwan (plagiaris?), meskipun ia tak percaya pada Tuhan personal, namun ia melihat bahwa jagat raya itu adalah hasil rancangan dalam suatu sistim yang teratur, dan karenanya lebih merupakan hasil karya yang bukan asal ada secara sembarangan. Ia berkata, "Tata susunan jagat raya mengungkapkan suatu intelegensia yang superior yang melampaui semua inteligensia manusia".

Sang Pencipta jagat raya sendiri menyatakan keteraturan dan ketelitian penciptaan: Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al-Furqaan/ 25:2).

2). Mengetahui kehadiran Tuhan melalui batin dan akal budi manusia. Disamping merasakan kehadiran Tuhan lewat alam semesta, manusia juga diperlengkapi oleh Tuhan untuk mengetahuinya lewat akal budi dan batin terdalam. Mengapa orang-orang diseluruh dunia semua menuntut dalam batinnya hak-hak azazi manusia? Kenapa mereka mempunyai standar moral yang sangat mirip satu terhadap lainnya? Mengapa terjadi pengelompokan mendasar yang sama terhadap apa yang baik dan yang buruk? Apakah kerinduan dasar yang sama ini bukan suatu kesaksian dari diri kita tentang keberadaan dan kehendak Tuhan yang memang menanamkan moralitas demikian pada setiap manusia?


Bahkan disetiap budaya, dimana budaya adalah cerminan batin dan akal budi manusia, konsep kehadiran Tuhan juga selalu ada di dalamnya sekalipun pada suku-suku terasing yang sulit terjangkau.

Di Indonesia sendiri, Prof. Dr. Purbatjaraka mencatat bahwa jauh sebelum kedatangan agama Hindu dan Buddha*, masyarakat Nusantara sudah mempunyai keyakinan mengenai Tuhan Yang Maha Esa, dan menyembah-Nya menurut tatacaranya sendiri. Salah satu sebutan untuk Tuhan dari era pra-Hindu Buddha dapat dilacak dari penggunaan bahasa-bahasa Nusantara asli, sebelum dipengaruhi bahasa Sanskerta, Arab atau bahasa-bahasa Barat. Salah satu sebutan untuk Sang Pencipta adalah Hyang (Tuhan, yang diagungkan), “Sang Hyang Tunggal” (Tuhan Yang Maha Esa), dan “Sang Hyang Taya” (Sang Maha Tiada). Maksudnya “tiada kasat mata namun ada”, kata Jawa kuno ini masih terpelihara dalam bahasa Sunda Teu Aya (tidak ada).[1]  

Prof. Muhammad Yamin dalam bukunya Sapta Parwa juga membuktikan eksistensi keyakinan asli jauh sebelum kedatangan agama-agama besar dunia, antara lain mengutip ungkapan Van Vollenhoven: “In den beginne was de magie” (Pada mulanya adalah kesaktian). Ide tentang “alam gaib” yang penuh tuah (Melayu), kacaktyan (Jawa kuna), sati (Batak), dan lain-lain, menunjukkan adanya keyakinan tentang Yang Maha Gaib yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara. Akar kata bahasa-bahasa Austronesia tuh, tuah inilah yang menjadi kata Tuhan, sejajar dengan bahasa Nusantara kuno lainnya: Hyang.[2] Kata Hyang (Tuhan) sampai kini masih terpelihara menjadi kata “sembahyang” (Sembah dan Hyang, “menyembah Tuhan”).

[1] R.M. Poerbatjaraka, Kapustakan Jawi, Djambatan, Djakarta-Amsterdam, 1954.
*Adapun Buddha yang adalah ateis, yang berarti bertentangan dengan keyakinan asli masyarakat Indonesia, sebagian kecil darinya kemudian mengadopsi “Tuhan Nusantara” tersebut.
[2] Prof. Muhammad Yamin, Tata Negara Madjapahit Sapta-Parwa, Jajasan Prapantja, Djakarta 1962.

Kejadian-kejadian dalam dunia dimana dari waktu ke waktu selalu ada orang yang memuja suatu sosok Tuhan ini membuktikan bahwa konsep tentang Tuhan itu ada dalam kehidupan. Walau demikian, sebagian manusia tetap tidak mau percaya adanya Tuhan, yaitu para ateis dan juga buddhis. Mereka menindas, mereka menggelapkan kebenaran. 

Kita ingat Bertrand Russell, seorang filsuf terkemuka dari Inggris dan sekaligus seorang ateis (agnotis) yang vokal, sebagai penulis buku yang terkenal, “Why I am not a Christian”. Menjelang kematiannya ia sempat mengirim sebuah surat kepada seorang temannya.

Ia menulis: “Dalam diri seseorang tampaknya ada sesuatu yang sangat melekat kepada Tuhan, yang menolak untuk masuk dalam ikatan duniawi ...paling tidak itulah yang harus saya nyatakan jikalau saya berfikiran bahwa Tuhan itu memang ada. Ini hal yang aneh, bukan? Saya peduli akan dunia ini dan akan manusia yang ada didalamnya, tetapi …apakah semuanya itu? Pasti ada sesuatu yang lebih penting rasanya, walau saya tidak percaya akan hal itu.”

Bertrand Russell terpaksa mengakui keberadaan Tuhan sekalipun ia berontak terhadap-Nya. Dan bila kita baca buku terkenalnya itu, maka dapat disimpulkan bahwa ia pun juga bertuhan. Russel, meskipun menolak pada Tuhan Sejati, tapi pada hakekatnya ia juga bertuhan, yaitu mempertuhankan akal ataupun hawa nafsunya. Suatu hal yang sama bagi para ateis lainnya dan juga buddhis.

Kehadiran Tuhan dalam batin dan akal budi manusia memang telah menjadi sunatullah, sebagai ketetapan Allah sebagaimana Rasulullah bersabda:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (berserah diri kepada Allah), kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Al-Bukhari).

Demikian pula Allah telah menyebutkan argumen logika kehadiran Tuhan dalam batin dan akal budi manusia:

Apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu atau mereka yang berkuasa?” (QS. At-Thur/ 52: 35-37). *Turunnya ayat ini membuat tertanamnya iman dalam hati sahabat Jubair. Ia berkata: Hampir saja hatiku melayang dan itulah awal tertanamnya keimanan dalam hatiku (HR. Al-Bukhari, kitabut Tafsir).


3). Keberadaaan dan pesan-pesan Tuhan diberitakan melalui wahyu khusus dalam Kitab-Nya.
Telah disinggung diatas bahwa Wahyu Umum cenderung bersifat impersonal dan tidak memadai untuk mencapai keselamatan. Ia terlalu samar untuk dapat  mengakomodasi semua bentuk isme-isme, yang bahkan bisa berakhir pada distorsi dan konfrontasi sesamanya, seperti mistisisme, panteisme, politeisme, deisme dll. Hakekat, hukum dan kehendak Tuhan tidak cukup ditulis hanya semu-semu dalam batin manusia, melainkan justru harus dibukakan dalam penyaksian/ pendalilan dengan Kalam-Nya, dengan Wahyu-Nya. Dalam Islam ini disebut sebagai dalil Naqli. Alasan yang paling utama bahwa kita tahu adanya Tuhan adalah karena Tuhan sendiri yang menyatakan diri-Nya kepada manusia. Wahyu dari Allah sendirilah sebagai syarat mutlak bagi manusia untuk dapat mengenal tentang Allah, karena yang mengetahui dengan pasti tentang diri-Nya hanyalah Allah sendiri.

Tidak akan ada pertolongan kepada kita dalam pencarian Sang Pencipta apabila Tuhan itu sendiri diam dan bungkam saja. Namun kita bersyukur bahwa Tuhan tidak tinggal diam. Dia telah berkomunikasi tentang fakta-fakta keberadaan dan jati diri-Nya kepada kita. Ia telah menceritakan segala sesuatu tentang diri-Nya, apa-apa yang diinginkan-Nya dan apa rencana-Nya untuk planet kita ini. Dia telah mengungkapkan semuanya ini kepada manusia melalui Firman atau Kalimat-Nya. Jadi setiap orang pada dasarnya telah memiliki pengetahuan keberadaan Tuhan, karena Tuhan telah menyatakannya sendiri kepada manusia dalam batin, pikiran, karya dan wahyu-Nya sejak dunia diciptakan. Dengan demikian Tuhan telah menyatakan bahwa “Apa yang tampak, menyaksikan apa yang tidak tampak”.

4). Pewahyuan dalam Yahudi, Kristen dan Islam.
Jikalau kita membaca Bibel dan Al-Qur’an dengan seksama, akan tampak bahwa Tuhan berbicara dengan para nabi-Nya lewat beragam cara pewahyuan, tanpa bisa melihat Tuhannya. Pembicaraan atau perintah Allah kepada para nabi semuanya tak ada yang bersifat langsung, kecuali hanya kepada Nabi Adam dan Nabi Musa yang ini pun dibatasi pada saat tertentu saja. Nabi Adam saat di surga, dan bahwa Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung dalam beberapa kesempatan. Nabi Musa hanya mendengar suara, tanpa bisa melihat Tuhannya.

Allah berfirman dalam Kitab Suci Al-Qur’an surah An-Nisaa/ 4: 164, “Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”.[381] 
[381]. Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihissalam merupakan keistimewaannya dan karena itu ia disebut Kalimullah; adapun rasul-rasul yang lain mendapat wahyu dari Allah dengan perantaraan Jibril. Dalam hal ini Nabi Muhammad SAW, juga pernah berbicara secara langsung dengan Allah pada malam hari di waktu Mi'raj.

Kecuali kepada Nabi Musa, Allah tidak berbicara secara langsung di dunia kepada para nabi lainnya. Misal kepada Nabi Yesus dan Nabi Muhammad, Allah tidak memberi wahyu kepadanya kecuali melalui malaikat Jibril, lewat ilham, mimpi, atau penglihatan. Keduanya juga tidak pernah melihat Tuhannya didunia sama seperti Nabi Musa.

Hati-hatilah sekali sebab kamu tidak melihat sesuatu rupa pada hari TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api (Ulangan 4:15). Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita. (1Yohanes 4:12)

Allah menyatakannya dalam Al-Qur’an surah Asy-Syuura/ 42: 51, Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir[1347] atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha Bijaksana”.
[1347]. Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa alaihissalam.


Hanya kepada Nabi Musa alaihissalam saja dimana Allah berbicara langsung kepadanya didunia. Hal ini karena kehendak Allah dan juga sesuai permohonan bani Israel yang takut mati, seperti tertulis dalam Bibel, Ulangan 8: (16) Tepat seperti yang kamu minta dahulu kepada ALLAH, Tuhanmu, di gunung Horeb, pada hari perkumpulan, dengan berkata: Tidak mau aku mendengar lagi suara ALLAH, Tuhanku, dan api yang besar ini tidak mau aku melihatnya lagi, supaya jangan aku mati.

Bani Israel memang takut mati bahkan pada api (Ulangan 5: 5, 23-33), sehingga menyuruh Nabi Musa saja yang secara langsung mendengar suara Tuhan, sedangkan mereka bersembunyi di kejauhan dalam kondisi ketakutan (dan pada kesempatan lainnya justru sibuk membuat dan menyembah berhala patung lembu emas YHWH, Keluaran 32:4). Hal ini sekaligus membantah para pegiat Yahudi yang membanggakan diri dengan klaim: “keyakinan Yahudi berdasarkan semata-mata pada wahyu nasional”, padahal sejatinya adalah wahyu personal kepada Nabi Musa dan juga kepada para nabi bani Israel sesudahnya. Mendekatlah engkau dan dengarkan segala yang difirmankan ALLAH, Tuhan kita, dan engkaulah yang mengatakan kepada kami segala yang difirmankan kepadamu oleh ALLAH, Tuhan kita, maka kami akan mendengar dan melakukannya.” (Ulangan 5:27).

Bani Israel hanya melihat api dari kejauhan. Tapi dibilang berhadapan muka dengan muka/ bertatap muka ... hm! TUHAN telah bicara dengan berhadapan muka dengan kamu di gunung dan di tengah-tengah api--aku pada waktu itu berdiri antara TUHAN dan kamu untuk memberitahukan firman TUHAN kepadamu, sebab kamu takut kepada api dan kamu tidak naik ke gunung --dan Ia berfirman: (Ulangan 5:4-5).

Dengan kejadian tersebut, maka atas kehendak Allah menjadikan tidak hanya umatnya para nabi berikutnya, tapi para nabi sesudah Musa pun dalam menerima wahyu dari Allah tidak secara langsung mendengar suara-Nya, namun melalui beberapa perantaraan, seperti melalui malaikat Jibril, lewat ilham, mimpi, atau penglihatan. Ini seperti disebutkan dalam kitab Bilangan 12: (6) Dengarlah firman-Ku ini. Jika di antara kamu ada seorang nabi, maka Aku, TUHAN menyatakan diri-Ku kepadanya dalam penglihatan, Aku berbicara dengan dia dalam mimpi. Atau seperti disebut dalam Ulangan 8:18, maka Allah akan menaruh firman-Nya dalam mulut para Nabi, dan para Nabi akan mengatakan kepada umatnya segala yang Dia-perintahkan kepadanya.


Dan dalam Bibel dinyatakan pula bahwa yang ditaruh pada mulut para nabi tidak selalu berarti benar, tapi bahkan berbagai kedustaan, sebagaimana dalam kitab 2 Tawarikh 18: (22) Karena itu, sesungguhnya TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut nabi-nabimu ini, sebab TUHAN telah menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.
Juga dalam 1 Raja Raja 22: (23) Karena itu, sesungguhnya TUHAN telah menaruh roh dusta ke dalam mulut semua nabimu ini, sebab TUHAN telah menetapkan untuk menimpakan malapetaka kepadamu.


Dan meskipun telah begitu banyak para Nabi yang turun untuk bani Israel sehingga mestinya tak perlu lagi kaget/ terkejut dengan sosok malaikat Jibril, namun ada saja Nabi dari bani Israel yang pingsan saat melihatnya, bahkan mengalami sakit berhari-hari.. dan jadi tak paham... hm!

Daniel 8: (15) Sedang aku, Daniel, melihat penglihatan itu dan berusaha memahaminya, maka tampaklah seorang berdiri di depanku, yang rupanya seperti seorang laki-laki; (16) dan aku mendengar dari tengah sungai Ulai itu suara manusia yang berseru: "Gabriel, buatlah orang ini memahami penglihatan itu!" (17) Lalu Gabriel yang berdiri di depanku itu mendekati aku. Aku menjadi begitu takut, sehingga aku rebah. Kata Gabriel kepadaku, "Hai manusia fana, engkau harus tahu bahwa penglihatan itu adalah mengenai akhir zaman." (18) Sementara ia berbicara, aku pingsan. Tetapi ia memegang aku dan menolong aku berdiri kembali. Lalu ia berkata, (19) "Aku akan memberitahukan kepadamu apa yang akan terjadi kelak sebagai akibat kemarahan Allah. Sebab penglihatanmu itu menunjuk kepada akhir zaman. (27) Maka aku, Daniel, lelah dan jatuh sakit beberapa hari lamanya; kemudian bangunlah aku dan melakukan pula urusan raja. Dan aku tercengang-cengang tentang penglihatan itu, tetapi tidak memahaminya.


Demikian pula Nabi Zakaria pun terkejut dan ketakutan, menjadi tak bisa berbicara berhari-hari setelah didatangi oleh malaikat Jibril yang memberitahu tentang akan lahirnya Yohanes kepadanya. (lihat Lukas 1:11-22).

Maka wajar sekali bila di wilayah yang sangat jarang mengenal tradisi pewahyuan melalui Malaikat Jibril bila diwaktu pertemuan pertama dan kedua dengannya membuat dirinya sedikit terkejut gemetaran seperti yang dialami Nabi Muhammad SAW, apalagi saat itu Jibril menampakkan diri dalam bentuk aslinya. Namun beliau sangat jauh lebih hebat dalam mengatasi kejadian dahsyat tersebut, atas turunnya ayat Al-Qur’an yang pertama dan kedua baginya, tetap bisa mengingat, berbicara, sehat wal afiat; tidak sampai membisu berhari-hari seperti Nabi Zakaria, apalagi pingsan bahkan sampai sakit berhari-hari hingga tak paham seperti Nabi Daniel.

Adapun ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun adalah ayat 1-5 surat Al-Alaq (96), yaitu firman Allah yang artinya:
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,  5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Setelah Fatratul Wahyi (masa berselang lama tidak turun wahyu), kemudian turunlah firman Allah yang kedua, ayat 1-5 surat Al-Mudatsir (74), yang artinya:
1. Hai orang yang berselimut, 2. bangunlah, lalu berilah peringatan, 3. dan Tuhanmu agungkanlah, 4. dan pakaianmu bersihkanlah, 5. dan perbuatan dosa tinggalkanlah!

Di kedua kejadian[3] itulah Rasulullah sempat terkejut gemetaran, adapun dalam pertemuan selanjutnya bahkan antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW. telah menjadi teman dekat: Jibril menemuinya Rasulullah bersama para sahabat dalam wujud seorang laki-laki berbaju sangat putih (seperti halnya saat menemui Nabi Ibrahim, Nabi Luth dan Maryam ibunya Yesus), Jibril (bersama Mikail) membantunya dalam beberapa peperangan dan puncaknya bahkan ‘berwisata bersama’ saat peristiwa Isra Mi’raj.

[3] HR.Bukhari dan Muslim, dalam: Sejarah Al-Qur’an, Studi Awal Memahami Kitabullah, Dr. Muhammad Salim Mahyasin, Akademika Pressindo, Jakarta 2005.


5). Mana Wahyu dari Tuhan yang bisa dipercaya?
Sebagaimana manusia sangat mementingkan madu yang asli, yang murni; demikianlah seharusnya dalam menyikapi hal yang sangat jauh lebih penting yaitu, Mana Wahyu (Kitab) dari Tuhan yang bisa dipercaya. Maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memperoleh kitab suci yang asli, yang murni, yang didalamnya hanya berupa perkataan Tuhan. Baik perkataan Tuhan secara langsung kepada kita semua (dimana saat ini kita semua adalah terhitung sebagai umat Nabi Muhammad), maupun perkataan Tuhan dalam mengisahkan suatu kejadian/ menuturkan percakapan antara manusia atau dengan-Nya dalam suatu peristiwa tertentu yang dikisahkan dari umat-umat para nabi terdahulu. Karena itu bila ada kitab suci namun berisi campur baur antara perkataan Tuhan dengan berbagai cerita, curhat (curahan hati), pendapat atau persepsi dari para penulis kitab tersebut, maka itu bagaikan madu oplosan. Maka tidak layak untuk dipercaya kecuali pada bagian tertentu yang telah diverifikasi, telah dikonfirmasi kebenarannya oleh kitab suci yang asli murni.

Maka Al-Qur’an adalah verifikator, konfirmator atas Bibel/ Alkitab:
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu (QS. Al-Maidah/ 5: 48).

Maka: (15) Wahai Ahli Kitab! Sungguh Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan[408] [408]. Cahaya maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dan Kitab maksudnya: Al-Quran.

(16) Dengan kitab (Al-Qur’an) itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjukan ke jalan yang lurus. (QS. Al-Maidaah/ 5:15-16).

Maka: Wahyu (Kitab) dari Tuhan yang bisa dipercaya 100 persen tanpa keraguan sedikitpun adalah Kitab Suci Al-Qur’an. Sebuah kitab yang dijamin oleh Tuhan suci murni sebagai firman Tuhan, dan terbebas dari kesalahan!

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. Al-Hijr/ 15: 9).

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisaa/ 4: 82).

Aslim Taslam!

Tidak ada komentar: