80 persen ABG Kristen Sudah Tidak Perawan!


Mungkin karena mengikuti perintah penghulu Protestan Martin Luther (tentu berdasar kitab Bible), yaitu - be a sinner and sin boldly/ and let your sins be strong - maka 80 persen ABG Kristen telah melakukan hubungan sex alias sudah tidak perawan. 

Selanjutnya klik saja link ini: Surga Dunia Kristen


Tapi jangan ditiru yah... karena

Allah berfirman: 
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk. (Al-Israa 17: 32).

Dan Rasulullah bersabda: 
Tiga jenis orang yang Allah tidak mengajak berbicara pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak melihat kepada mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih: Orang yang berzina, penguasa yang pendusta, dan orang miskin yang sombong.” (HR Muslim 107).

Jika seorang hamba berzina maka keluarlah darinya keimanan dan jadilah ia seperti awan mendung. Jika ia meninggalkan zina maka kembalilah keimanan itu kepadanya.” (HR Abu Dawud 4690).

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan selama di antara mereka tidak bermunculan anak hasil zina, jika anak hasil zina telah bermunculan di antara mereka, maka dikhawatirkan Allah akan menghukum mereka semua.” (HR Ahmad 25600). 






Jawaban untuk Anonim alias MNbS alias "Christian Snouck Hurgronje"


Terimakasih untuk Anonim yang berkomentar disini, walaupun Anda hanya mengcopy paste atau seolah-olah itu pendapat MNbS yang meskipun itu bisa saja pendapat Anda sendiri dengan mengatasnamakan MNbS, atau siapapun Anda bahkan Jin pun berhak berpendapat sebab sama seperti Anda, jin adalah termasuk makhluk ciptaan Allah. "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi/ beribadah kepada-Ku" (Adz Dzaariyaat 51: 56).

Mengingat Anda banyak mengulang pernyataan yang sama dalam berbagai alinea, maka saya jawab setelah saya gabungkan pernyataan Anda dalam beberapa poin: 

1.    -umat Islam percaya akan Rasul Allah (رسول الله) yang bernama Nabi Muhammad SAW (محمدصلى الله عليه وسلم) yang diutus oleh اللهmenjadi rasul dan nabi buat umat Islam dan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
-umat Islam adalah pengikut Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam yang umat Islam percaya akan dia merupakan nabi yang diutus oleh الله

Lebih tepat bila dikatakan bahwa Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam adalah  rasul yang diutus oleh Allah untuk seluruh umat manusia dengan membawa ajaran Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Bagi orang yang ingin memeluk Islam, maka pertama kali ia harus bersaksi Laailahailallah - Muhammad rasulullah. 
Tiada ilah (sembahan) yang benar untuk diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan) Allah. Konsekuensi dari syahadat tersebut yaitu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi setiap larangan dari Allah (dalam Al-Quran) yang dijelaskan oleh rasulullah (As-Sunnah).


2.      -umat Islam percaya akan محمدصلى الله عليه وسلم yang diutus oleh الله untuk membunuh orang yang tidak mengenal Islam
-umat Islam mempercayai umat Islam diperintahkan oleh محمدصلى الله عليه وسلم yang mendapatkan perintah dari الله untuk memaksakan orang yang tidak mengenal Islam untuk mengenal Islam dengan cara memaksa, jika orang yang tidak mengenal Islam tidak mau mengenal Islam, maka harus dengan menggunakan cara kekerasan
-Jika Islam mengatakan Allah Islam adalah Allah yang pengasih dan penyayang, kenapa Dia memerintahkan umat Islam untuk membunuh orang yang bukan Islam? Setahu saya yang boleh mengatakan kita salah atau benar itu adalah Allah

Itu adalah pendapat atau lebih tepat tuduhan yang sangat zhalim (menempatkan sesuatu secara tidak benar). Tidak ada satu dalil pun yang mengatakan bahwa Allah mengutus Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam untuk membunuh orang yang tidak mengenal Islam. Sungguh aneh dan pendapat yang mengada-ada, bagaimana orang yang tidak mengenal Islam diperintahkan untuk di bunuh, bukannya di ajak supaya mengenal dan mengerti tentang Islam dan bersyukur bila akhirnya menjadi muslim.

Allah berfirman:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang sesat. (QS. Al-Baqarah 2:256)

Jadi jelas bahwa Islam adalah sebuah pilihan, tetapi satu-satunya pilihan yang benar karena hanya Islam saja jalan yang benar! Baca lebih teliti artikel ini.

Adapun adanya orang yang terbunuh dalam sejarah Islam adalah hal yang lazim dalam peperangan yang pasti ada yang menang atau kalah, mati atau tetap hidup. Peperangan adalah hal yang kompleks, dan yang terjadi semasa hidup rasulullah adalah lebih banyak untuk mempertahankan diri/ defensif dan beberapa tindakan preemtif setelah para pemuja berhala/ kaum musrikin menghianati perjanjian damai dan tak mungkin lagi ditempuh dengan cara persuasif dan komunikatif. 

Dan hanya Islam saja yang secara tegas mengatur etika perang, yaitu jangan melampaui batas.
"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti." (At Taubah 9:12).

"Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al Baqarah 2:190)

Jadi tidak ada satu pun perintah untuk membunuh orang yang bukan Islam, kecuali dalam kondisi perang, atau untuk membela diri. Coba baca lebih teliti artikel ini dimana Rasulullah justru menegaskan ancaman pada orang yang membunuh orang bukan Islam/ kafir dalam kondisi damai, yakni tidak akan masuk surga bahkan sekedar mencium aroma surga pun tidak.

Adapun Islam mengatur adanya hukuman mati, qisas dan rajam bagi pelaku kejahatan termasuk murtadin, adalah konsekuensi untuk menegakkan Kerajaan Allah di muka bumi yang tentunya berlaku hukum dari Allah. Dan hal itu adalah kewenangan pihak penguasa resmi/ pemerintah, bukan organisasi apalagi individu.

Pada saat Islam menguasai Andalusia/ Spanyol pun penganut agama lain tidak diusik, tidak dipaksa masuk Islam, berbeda saat Spanyol jatuh ke pihak Kristen maka ribuan orang Muslim dan Yahudi dibunuh setelah tidak mau dipaksa masuk Kristen. Sama halnya ketika Kristen merebut Palestina dari tangan Muslim (15 Juli 1099) maka Yerusalem berubah menjadi lautan darah dari darah pria, wanita, orang tua maupun anak-anak kaum Muslim yang yang dibantai, dibunuh secara biadab oleh pihak Kristen, bahkan perut Muslim pun banyak yang dibelah dengan alasan untuk mencari harta yang di anggap disembunyikan di dalamnya. 

Dan tercatat dalam sejarah (Raymond d'Agiles) sebagai saksi mata menyatakan bahwa di bawah lengkung serambi masjid Al Aqsa, darah dari kaum muslim yang telah menyerah tetapi tetap disembelih oleh Salibis pimpinan Titus, tergenang sampai setinggi lutut atau tali kekang kuda. Sangat kontras ketika 92 tahun kemudian, Islam melalui Salahuddin Al-Ayyubi merebut kembali Yerusalem dari Salibis pimpinan Richard, maka pihak Kristen diijinkan pergi dengan aman damai hanya sekedar membayar tebusan.

Dalam konteks Indonesia pun, bukankah hanya Kristen saja yang disebarkan dengan dukungan bedil dan bayonet VOC? Dengan jalan penipuan yaitu Christian Snouck Hurgronje yang pura-pura masuk Islam dengan tujuan mempermudah penguasaan daerah Aceh sekaligus kristenisasi. Dengan misionaris devide et empera dan bersenjata Nommensen untuk melawan Sisingamangaraja saat kristenisasi tanah Batak. 

Apakah Anda mau menutup mata terhadap sejarah ini? Sayangnya banyak orang Indonesia yang melupakan sejarah bahkan bangga (bermental irlander!) dengan memeluk agama warisan penjajah dari negeri moyang Geert Wilders, yang sebenarnya sudah ekpired sejak adanya Islam/ seseorang mengenal dakwah Islam.

Dan apakah hanya Nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wa sallam saja yang melakukan peperangan? 

Cobalah buka Alkitab, maka Anda akan temukan banyak kisah peperangan dari para Nabi sebelumnya, bahkan lebih tepat sebagai pemusnahan/ genosida terhadap penduduk dari pihak yang dianggap lawan karena diceritakan untuk membunuh apapun yang hidup tanpa harus berbelas kasih pada pihak lawan. Ayat-ayat inilah yang mendasari umat Kristen membinasakan apapun tanpa etika, tanpa belas kasihan seperti di atas, maupun umat Yahudi yang saat ini menjajah Palestina. 

"Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai." (1 Samuel 15:3; lihat pula di II Raja-Raja 10:11-17).

"Maka sekarang bunuhlah semua laki-laki di antara anak-anak mereka, dan juga semua perempuan yang pernah bersetubuh dengan laki-laki haruslah kamu bunuh" (Bilangan 31:17). "dan TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan mereka kepadamu, sehingga engkau memukul mereka kalah, maka haruslah kamu menumpas mereka sama sekali. Janganlah engkau mengadakan perjanjian dengan mereka dan janganlah engkau mengasihani mereka (Ulangan 7:2).

Dan perkataan Yesus menurut penulis Alkitab:
Tetapi sekarang ini, siapa yang mempunyai pundi-pundi, hendaklah ia membawanya, demikian juga yang mempunyai bekal; dan siapa yang tidak mempunyainya hendaklah ia menjual jubahnya dan membeli pedang. (Lukas 22:36). 

Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang orang seisi rumahnya (Matius 10:34-36; lihat pula Lukas 12:51-53).
 
Akan tetapi semua seteruku ini, yang tidak suka aku menjadi rajanya, bawalah mereka ke mari dan bunuhlah mereka di depan mataku. (Lukas 19:27).

Tetapi Yesus belum sempat melakukan peperangan, mengingat minimnya power yang dimiliki dibanding dengan besarnya musuh yang dihadapi yaitu dari kaum Yahudi sendiri maupun para tentara Romawi. Melihat kondisi demikian maka Yesus terpaksa melakukan strategi dakwah berupa ajaran kasih (Matius 5:39, 44), dan bertindak sebagai sekularis (Lukas 20:20-26; Markus 12:13-17), walaupun sebenarnya ia adalah seorang teokratis, yaitu mewartakan Kerajaan Allah yang mana hanya bisa terwujud bila mengikuti hukum-hukum dari Allah dalam segala hal.

Namun sebelum semuanya terwujud, ia dikalahkan oleh kaumnya sendiri yang bersekutu dengan penjajah. Karena itu Yesus tidak sempat jadi Raja atau sebagai Mesias. Memang takdir adalah mengikat. Dan suratan takdir pula sehingga terwujudlah Kerajaan Allah dari Arabia yaitu agama Islam, yang tetap memberi tempat bagi Yesus sebagai Mesiah yaitu Isa al-Masih yang akan turun untuk membunuh al-Masih ad-Dajjal (Tuhan palsu/ antikristus).

Yesus memang dikalahkan, tetapi ia tetap mulia karena tidak disalibkan, ia diselamatkan, diangkat ke langit oleh Allah. Hal ini sesuai dengan makna dari nama aslinya yaitu Yeshua, Yahshua, yang berarti YHWH (Allah) menyelamatkan dirinya dari penyaliban.

Juga ditegaskan dalam Al-Quran bahwa:
dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh Al Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. (An Nisaa' 4:157).

Ironisnya bahkan banyak orang yang percaya (sekaligus bersyukur!) bahwa Yesus berakhir secara terhina di tiang salib sebagai hukuman laiknya seperti orang yang terkutuk untuk penebusan dosa. Sebuah konsep romawi pagani yang menihilkan moralitas, menghilangkan tanggung jawab individu, melecehkan martabat kemanusiaan.


3.      umat Islam percaya akan kitab sebelum Al-Quran yang dimana Al Quran adalah kitab yang merupakan kelanjutan dari kitab orang nasrani dan diperbaharui oleh محمدصلى الله عليه وسلم karena perintah dari الله.

Ya, benar bahwa Al-Quran adalah satu di antara kitab-kitab Allah atau kelanjutan dari Taurat, Zabur dan Injil.

"Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu (ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya); maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya), Kami berikan aturan dan jalan yang terang. " (Al Maa'idah 5:48)

Karena itu Muslim percaya bahwa apapun yang bernilai baik dari Alkitab dan belum dihapus atau masih sesuai dengan Al Quran, maka kami dapat menerimanya. Tetapi hal-hal yang bertentangan dengan Al-Quran maka kami menolaknya, seperti ayat-ayat yang merendahkan kedudukan para Nabi (karena bagi Muslim, semua Nabi adalah manusia yang mulia pilihan Allah), kisah penyaliban dan pentuhanan Yesus.  


4.      umat Islam mempercayai dengan mengenal Islam yang dibawakan oleh محمدصلى الله عليه وسلم yang umat Islam percayai adalah dari الله, umat Islam adalah umat paling bahagia di bumi dan akhirat

Ya, benar umat Islam adalah umat yang berbahagia di dunia dan akhirat. 
Tentu saja berbahagia di dunia karena mendapat hidayah Islam, berada dalam Kerajaan Allah. Kemudian berbahagia di akhirat, yaitu masuk dalam Kerajaan Surga.

Dan: Sungguh menakjubkan urusan orang mukmin, sungguh semua urusannya merupakan kebaikan dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapatkan hal yang menyenangkan dan dia bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan bila dia mendapat kesusahan tetapi ia bersabar, maka merupakan kebaikan pula bagi dirinya. (HR. Muslim no: 2999).

Supaya dapat selalu bersyukur dan bersabar, maka ingatlah sabda Rasulullah:

Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu: 1). Hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, 2). Apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintai karena Allah, 3). Ia tidak suka kembali pada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia tidak mau dilempar ke dalam api. (HR. Bukhari 16; Muslim 43/67; at-Tirmidzi 2624; Ibnu Majah 4033).


5.     -saya telah mengetahui Islam sudah puluhan tahun dan saya belajar banyak tentang Islam
-Saya sebagai orang yang mengetahui Islam sejak saya kecil sampai saat ini
kadang kadang saya bingung dengan Islam.
-Saya yang telah mengetahui Islam berberapa puluh tahun dan sering mendengar Kyai Kyai mengajar, Mereka mengatakan orang yang diluar Islam adalah binatang dan babi. Terkadang saya berpikir, kalau semua manusia ini adalah manusia ciptaan Allah, kenapa diluar Islam adalah binatang? berarti ada mungkin Allah Islam itu adalah Allah yang salah atau mungkin juga ajaran yang diberikan oleh nabi muhammad saw itu adalah salah. Anda setuju dengan saya?

Anda bebas mengklaim telah mengetahui/ belajar? Islam puluhan tahun atau berapa pun, tetapi pendapat Anda tentang Islam tidak tercermin di sini. Mungkin Anda yang salah dengar atau mendengarkan Kyai yang salah (semoga bukan kyai Slamet milik kraton Solo).

Tak ada satu dalil pun yang menyatakan bahwa di luar Islam adalah binatang atau babi. Bahkan Islam memerintahkan manusia untuk mengambil faedah dan hikmah pelajaran, dari binatang: 
Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian daripadanya kamu makan. (Al Mu'minuun:23:21)

Semoga kita juga bisa mengambil pelajaran dari seekor ayam. Ya, karena ayam pun ingin seperti manusia yang mempunyai tempurung lutut kaki di depan sehingga bisa sujud, merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah Taala, bukan hanya bisa mengeram. Jadi sangat disayangkan bila manusia tidak mau sujud dihadapan Allah karena banyak sekali ayam yang antri untuk bertukar tempat.

Adapun firman Allah: Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.(Al Jumu'ah 62:5).

Jelas bukan mempersamakan manusia dengan keledai, tetapi hanya sebagai perumpamaan dan sekaligus sebagai peringatan agar umat Islam tidak berlaku seperti kaum Yahudi yang walaupun banyak kitab dan nabi di antara mereka, tetapi mereka berkhianat, munafik, tidak mengamalkan hukum taurat. Untuk mengetahui lebih terperinci tentang sifat-sifat bangsa Yahudi, silahkan baca Alkitab karena mirip buku sejarah, sedangkan dalam Al-Quran hanya disebutkan yang penting saja, yaitu yang mengandung hikmah, pelajaran dan peringatan bagi semua manusia.

Jadi, secara Qur'aniyyah, di luar Islam hanyalah disebut orang kafir (menolak/ menutup diri dari kebenaran), Qul yaa ayyuhal kaafiruun .... lakum diinukum waliyadiin (lihat QS. Al Kaafiruun 109:1-7).

Dan bila ada kyai? Atau muslim yang menyebut orang diluar Islam/ khususnya Kristen adalah binatang atau babi, ya janganlah panas hati dulu, tetapi bacalah Alkitab, karena justru Alkitab yang banyak memberikan julukan binatang bagi Kristen sendiri maupun untuk non Kristen! 
Sebab dahulu kamu sesat seperti domba (seperti domba yang tersesat), tetapi sekarang kamu telah kembali kepada gembala dan pemelihara jiwamu. (1 Petrus 2:25). 

Jadi bila sebelum menjadi Kristen atau diluar Kristen adalah domba yang tersesat, domba liar, bukankah berarti orang Kristen adalah domba jinak? Dan hal ini ditegaskan dalam Yohanes 21:15-17 dimana Yesus berpesan langsung yang diulang sampai 3 kali pada Simon anak Yohanes: "Gembalakanlah domba-domba-Ku." "Gembalakanlah domba-domba-Ku." "Gembalakanlah domba-domba-Ku."

Lebih tragis lagi adalah fakta dari Alkitab bahwa bangsa Yahudi adalah domba dan diluar Yahudi adalah (maaf) anjing !

Jawab Yesus: "Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel." Tetapi perempuan itu (Kanaan? atau Yunani bangsa Siro-Fenisia: Markus 7:26) mendekat dan menyembah Dia sambil berkata: "Tuhan, tolonglah aku." Tetapi Yesus menjawab: "Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing." (Matius 15:24-26).

Sedangkan anjing adalah berakhir di luar sorga:  
Tetapi anjing-anjing dan tukang-tukang sihir, orang-orang sundal, orang-orang pembunuh, penyembah-penyembah berhala dan setiap orang yang mencintai dusta dan yang melakukannya, tinggal di luar.(Wahyu 22:15).

Dan ada julukan yang khusus untuk Islam (Ismael) yaitu: 
Seorang laki-laki yang lakunya seperti keledai liar, demikianlah nanti anak itu; tangannya akan melawan tiap-tiap orang dan tangan tiap-tiap orang akan melawan dia, dan di tempat kediamannya ia akan menentang semua saudaranya." (Kejadian 16:12 dari Alkitab Otak).

Dan yang lebih vulgar lagi pada Alkitab dari sekte Yahwis, yaitu KSILT2 yang menyebut Ismael sebagai manusia keledai liar:  
Dan dia akan menjadi manusia keledai liar, tangannya melawan setiap orang dan setiap orang melawan dia; dan di akan tinggal berhadap-hadapan dengan semua saudaranya." (Kejadian 16:12). 

Bagaimana untuk julukan babi?

Ternyata julukan babi juga berasal dari Kristen sendiri!
Cobalah tanyakan pada misionaris atau pendeta yang hiruk-pikuk ada di Papua.
Mereka justru lebih sadis lagi dengan menyebut Yesus adalah korban agung sebagai babi dari Allah, pada Yohanes 1:36).

Atau cobalah buka Wyclife Bible Translators, disitu akan didapatkan bahwa Yesus dalam Yohanes 1:36 di Alkitab adalah sebagai "the pig of God" menggantikan "the lamb of God".

Atau mengikuti pendapat sekte Yahwis, yang seringkali menerapkan ilmu jawa otak-atik gatuk: maka Yesus-Jesus dalam bahasa Latin Je=Geo=Earth/ Bumi/ Tanah dan Sus=Pig/ Swine/ Babi, maka akan di dapatkan bahwa Yesus adalah: earth pig atau earthly swine/ beast of the earth/ Babi Tanah.

Jadi, bila ada muslim yang menyebut orang yang diluar Islam khususnya Kristen adalah binatang dan babi (menurut versi Anda!), .... yah janganlah tersinggung karena justru ia adalah seorang muslim yang Alkitabiah!

Karena terbukti bahwa Alkitab lah yang "membinatangkan manusia" maka bila Anda konsisten dengan logika berpikir Anda, maka Anda harus setuju dan berpendapat bahwa Tuhan Kristen adalah Tuhan yang salah dan ajaran yang diberikan oleh nabinya? Kristen (tidak jelas siapa yang jadi nabi, Yesus atau Paulus!) juga salah!


6.      terkadang saya melihat umat Islam selalu menetang agama lain baik agama nasrani, buddha atau agama lain agama sesat. Tapi saya sendiri saja dan temen temen saya yang beragama Islam bahkan Kyai Kyai dan pengajar pengajar ngaji yang pernah ajarin saya saja tidak berani menyakinkan agama Islam itu adalah agama yang benar

O tidak, agama Islam tidaklah menentang agama lain. Agama Islam hanyalah berdiri pada posisi yang sebenarnya, terutama dengan Yahudi dan Nasrani/ Kristen

Ibarat mobil, tiga agama tersebut adalah berasal dari produsen yang sama, tetapi dua mobil sebelumnya sudah ketinggalan teknologi, sudah melewati batas waktu layak pakai, dan dinyatakan tidak boleh dipakai untuk mengantar sampai tujuan akhir. Kemudian produsen memberitahukan kepada konsumen untuk menukar secara gratis dengan mobil produk yang paling mutakhir, sempurna, tidak terbatas masa pakainya dan dijamin sebagai satu-satunya sarana untuk mengantar sampai tujuan akhir yaitu ke dalam Kerajaan Surga, yang dinamai "mobil" Islam. 

Jadi masalahnya bukan pada Islam, tetapi pada para pemilik mobil kuno yang lebih suka menjadikannya sebagai barang antik untuk dielus-elus atau bahkan banyak yang bongkar pasang, kanibalisasi dengan suku cadang dari produsen mobil lainnya, sehingga banyak sekali "sekte mobil antik."

Sedangkan posisi terhadap agama yang masih eksis saat ini selain Yahudi dan Kristen, dapat dikatakan sebagai kompetitor karena Al Quran tidak menerangkan asal kitab suci dan nabi dari agama Budha, Hindu apalagi Kong Hu Chu. 

Adapun pendapat Anda bahwa ada temen Islam, guru ngaji dan kyai? yang tidak berani meyakinkan agama Islam itu adalah agama yang benar... maka komentar saya adalah: Tidak usahlah Anda mengada-ada, membuat fitnah... karena tidak ada seorang pun yang masih disebut sebagai muslim yang tidak meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar!!!

Dan apakah agama lain selain Islam adalah sesat?

Ya, karena Allah, Raja seluruh manusia telah berfirman:
Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. (Al-Maa'idah 5:3).
Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. (Ali Imran 3:19). Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran 3:85).


7.      ketika saya berusia 20an tahun saya pernah bertanya kepada temen temen saya dan yang mengajar ngaji, saya bertanya, siapa itu Isa? apakah umat islam percaya dengan Isa? dan kenapa umat Islam harus percaya dengan muhammad daripada Isa padahal tertulis Isa adalah nabi yang tidak bercacat? mereka malah menjawab, Isa itu ada, tapi kita tidak boleh percaya dengan Isa. saya bertanya kenapa? ada yang menjawab jika ada umat Islam percaya dengan Isa, itu mereka kutukan untuk umat Islam dan ada yang menjawab, jika umat Islam mengatakan dan mempercayai dengan Isa, itu sama dengan sebuah hal yang haram

Opo… iki rek.... perta/ nyataan ko mbulet ngene! Dan apa masih berumur 20th 1hari hingga masih bertanya hal begini!

Ya jelas, umat Islam pasti tahu dan percaya bahwa Isa al-Masih, Yesus Kristus, Yeshua/ Yahshua Ha Mashiach adalah seorang nabi dari banyak nabi yang di utus oleh Allah untuk mengingatkan kaumnya melalui kitab Injil, supaya berbuat baik dan hanya menyembah Allah saja!  

Yang haram dan dikutuk oleh Allah, Tuhan-nya Muhammad, Tuhan-nya Yesus, Tuhan-nya Musa, Tuhan-nya Ibrahim, Tuhan-nya Adam, Tuhan-ku dan Tuhan-mu adalah bila menganggap Isa, Yesus, Yeshua, Yahshua sebagai sembahan, ilah, perantara (seperti fungsi Baal, Hubal dan semua berhala lainnya yang digunakan sebagai perantara kepada Allah oleh kaum jahiliyah Arab pra-Islam) dan apalagi menganggapnya sebagai Tuhan (Rabb) atau pencipta alam semesta!  

Jadi penyembah Isa, Yesus, Yeshua, Yahshua adalah seperti kaum jahiliyah bahkan lebih jahil karena kaum jahiliyah Arab pra-Islam hanya menganggap semua ilah yang ada di Kabah hanyalah sebagai perantara kepada Tuhan (Rabb) yaitu Allah, sedangkan kaum jahiliyah modern menganggap Isa, Yesus, Yeshua, Yahshua sebagai ilah dan Tuhan (Rabb). 


8.      maaf kata jika saya melakukan kesalahan, karena saya ingin belajar mengenal lebih bagus tentang Islam.

Ya, pintu maaf selalu terbuka lebar dan memang belajar bisa menghilangkan kebodohan!
Tetapi memperbodoh diri apalagi menyebarkan kebodohan adalah tindakan yang tercela! 

Sayangnya Anda baik sebagai Anonim atau MNbS terdiagnosa memperbodoh diri dan menyebarkan kebodohan, bahkan terdeteksi sebagai "Christian Snouck Hurgronje."

Semoga Allah memberimu hidayah Islam.



Yesus Teokratis, Not Sekularis!


Kebanyakan orang Kristen masa kini tak mengetahui konteks religio-politis gerakan yg diprakarsai Yesus, yakni gerakan menghadirkan "kerajaan Allah", artinya: gerakan mendatangkan dan menegakkan teokrasi, di tengah rakyat dan negara terjajah Yahudi pada abad pertama M. Karena itu, mereka menganggap Yesus sebagai seorang spiritualis yang memperjuangkan hanya hal-hal rohani, hal-hal spiritual, hal-hal batiniah, hal-hal yang tak ada hubungannya dengan politik atau (sistem) pemerintahan suatu negara.

Untuk mendukung anggapan ini, biasanya mereka akan mengutip teks-teks yang pada pandangan pertama tampak menampilkan Yesus sebagai seorang yang anti-politik atau a-politik, misalnya teks tentang keharusan memberi pajak kepada Kaisar dan keharusan memberi kepada Allah apa yang harus diberikan kepada Allah (Markus 12:13-17), atau tuturan pendek tentang Yesus yang menghindar (“pergi bersembunyi”) ketika dia diproklamirkan oleh massa Yahudi sebagai seorang raja Israel (Yohanes 12:12-16, 36b). Anggapan ini tidak benar sama sekali.


Yesus demo di dalam Bait Allah, sebuah tindakan simbolis politis!
Jauh lebih tidak benar lagi, ketika beberapa ucapan Yesus dalam Injil Yohanes dikutip-kutip untuk menyatakan bahwa Yesus sama sekali tidak perduli dengan kerajaan duniawi (misalnya imperium Romanum, kekaisaran Romawi, atau kerajaan Israel sendiri), melainkan hanya perduli pada kerajaan rohani yang bukan dari dunia ini. Ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 seringkali dikutip, "Kerajaanku bukan dari dunia ini; jika kerajaanku dari dunia ini, pasti hamba-hambaku telah melawan, supaya aku tidak diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi kerajaanku bukan dari sini."

Sudah menjadi suatu prosedur umum di kalangan para pakar pengkaji Yesus untuk tidak memakai Injil Yohanes sebagai sebuah sumber sastra autentik bagi pengkajian atas figur Yesus dari Nazaret, meskipun ada sejumlah kecil tradisi historis dalam injil ini yang dapat dikaitkan pada figur Yesus sejarah, selain tradisi-tradisi historis yang diambil penulis Injil Keempat ini dari injil-injil sinoptik (misalnya kisah kesengsaraan Yesus, passion narrative).


Ucapan Yesus yang baru dikutip di atas (Yohanes 18:36) adalah ucapan Yesus versi penulis Injil Yohanes, bukan sebuah ucapan Yesus dari Nazaret. Dalam kristologi penulis Injil Yohanes, Yesus digambarkan sudah sangat menjauh dari gambaran Yesus dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, dan Lukas). Orang menyebut kristologi dalam Injil Yohanes sebagai "kristologi dari atas" (high christology), yang berkontras dengan “kristologi dari bawah” (low christology) yang mendominasi injil-injil sinoptik.


Dalam kristologi "dari atas", Yesus digambarkan sebagai suatu oknum surgawi (baik sebagai sang Firman, maupun sebagai Anak Manusia surgawi) yang memiliki pra-eksistensi, berasal dari kawasan surgawi, ada di sana, sebelum "turun dari atas", masuk ke kawasan dunia "di bawah". Sebagai oknum surgawi Yesus digambarkan tidak berasal dari dunia ini, bahkan dunia ini dan segala isinya digambarkan tidak mengenal dia, bahkan menolak dia dan akhirnya menyalibkan dia. Nah, dalam bingkai kristologi "dari atas" inilah ucapan Yesus dalam Yohanes 18:36 harus ditempatkan. Sedangkan Yesus dari Nazaret sendiri, sebagai seorang manusia riil dalam dunia ini, berasal dari dunia ini, tidak pernah mengucapkan kata-kata itu.


Dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius dan Lukas), gagasan Yesus 

tentang "kerajaan Allah" atau "pemerintahan Allah" atau "Imperium Allah" (Ibrani: malkuth hashamayim, kerajaan surga; Yunani: basileia tou theou), yang berlatarbelakang pada konsep religio-politis Perjanjian Lama, sungguh-sungguh adalah sebuah gagasan politis tandingan terhadap imperium Romanum, kekaisaran Romawi, yang sedang menjajah negerinya (sejak 63 SM).

Sejak zaman Perjanjian Lama periode kerajaan (abad ke-10 SM), pemerintahan negara Israel kuno dipandang dan berlaku sebagai pemerintahan Allah, sebagai teokrasi, di mana Allah memerintah lewat wakilnya (seorang raja yang diurapi, sang messias, Raja Daud, misalnya) atau lewat hukum-hukum-Nya yang diberikan kepada wakilnya ini. Konsep sekularisme yang memisahkan agama dari politik, atau politik dari agama, adalah sebuah konsep modern yang sangat asing bagi dunia PL, bagi Yesus di abad pertama M, dan bagi umat Kristen perdana yang melahirkan Perjanjian Baru.


Teks-teks dalam PB tersebut di atas yang dikenakan pada Yesus jelas tidak mungkin dipahami dalam rangka sekularisme. Sesungguhnya teks-teks tersebut, dalam konteks historis Yesus sendiri, dapat dijelaskan sebagai teks-teks yang malah memperkuat teokratisme Yesus.


Kalau di tangan penulis Injil Markus teks Markus 12:13-17 tampak membuat Yesus takluk pada sang Kaisar yang bertakhta di Roma, atau membuat Yesus menganut "teori dua pedang" (pedang politik digenggam Kaisar Romawi, dan pedang rohani digenggam Paus), tidaklah demikian halnya di tangan Yesus dari Nazaret sendiri.


Ketika Yesus memberitakan bahwa kerajaan Allah sedang ada di tengah umat Yahudi (Markus 1:15; Lukas 17:21b; Lukas 11:20; Matius 12:28 ), yang Yesus maksudkan adalah bahwa Allah sedang berkuasa atas bangsa Israel sebagai umat Allah, atas tanah Israel sebagai tanah perjanjian, atas makanan dan minuman, atas uang dan semua bentuk kekayaan lain, atas semua masalah dan urusan ekonomi yang sedang dihadapi rakyat, atas Bait Allah di Yerusalem, atas segala sakit penyakit, roh-roh dan setan-setan, atas umur manusia, atas alam; pendek kata: atas segala sesuatu yang ada di tanah Yahudi. Dengan demikian, bagi Yesus, segala sesuatu yang ada di tanah Israel, bahkan tanah Israel itu sendiri, bukanlah milik sang Kaisar Romawi, tetapi milik Allah saja.


Jadi kalau Yesus menyatakan "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar" (Markus 12:17), yang Yesus maksudkan adalah: di tanah Israel, tidak ada sesuatu pun yang merupakan milik Kaisar, sehingga tak ada sesuatupun yang bangsa Yahudi wajib berikan kepada Kaisar. Akibatnya lebih jauh: karena Kaisar tak memiliki apapun di tanah Israel, tak berkuasa atas apapun di negeri Yesus, maka kekuasaan sang Kaisar atas tanah Israel harus diakhiri, dan sang Kaisar wajib menyerahkan kembali tanah Israel kepada Allah Yahudi, sang Pemilik sah tanah Israel, yang telah memberikannya kepada bangsa Israel, dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Yahudi harus diakhiri. Sang Kaisar harus mengembalikan segala sesuatunya yang ada di tanah Israel kepada Allah bangsa Yahudi saja! Wakil-wakil sang Kaisar di tanah Yahudi harus pulang, balik ke negeri mereka sendiri, meninggalkan tanah Israel!


Orang bisa bertanya, apakah orang banyak (khususnya murid-muridnya), ketika Yesus mengucapkan kata-kata tentang kewajiban memberi kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan kewajiban memberi kepada Allah apa yang menjadi milik Allah, dapat menangkap maksud Yesus sebenarnya, yang sama sekali tidak harfiah? Memakai istilah-istilah modern, apakah mereka dapat menangkap bahwa lewat ucapannya itu Yesus tidak mengajarkan sekularisme melainkan teokrasi, sebagaimana sudah diuraikan?


Pertanyaan ini menjadi penting dan mendesak untuk djawab, mengingat Yesus, sambil mengucapkan kata-kata itu, juga menunjukkan sekeping koin dinar yang padanya tercetak gambar dan tulisan Kaisar (Markus 12:15-16), sehingga seolah Yesus mau orang banyak memahami ucapannya itu secara harfiah?


Jawab atas pertanyaan ini sederhana: Ada banyak kejadian yang di dalamnya Yesus melakukan tindakan-tindakan simbolik yang harus tidak dipahami harfiah, dan ada banyak ucapan Yesus yang dikehendaki Yesus untuk tidak dipahami atau ditangkap secara harfiah, khususnya ketika dia mengajar dengan menggunakan perumpamaan, aforisme, bahasa simbolik dan metafora. Penulis Injil Markus sendiri jelas melihat hal ini ketika dia, di dalam Injilnya, membuat Yesus mengucapkan kata-kata ini kepada murid-muridnya,
"Kepadamu telah diberikan rahasia Kerajaan Allah, tetapi kepada orang-orang luar segala sesuatu disampaikan dalam perumpamaan, supaya: sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun." (Markus 4:11-12).

Kita boleh mengernyitkan kening keheranan dan bertanya, Kok Yesus ingin membuat sebuah komunitas eksklusif yang tak terbuka untuk dimasuki orang luar? Tetapi, bagaimana pun juga, itulah setidaknya yang dipahami penulis Injil Markus mengenai cara dan tujuan Yesus berkomunikasi. Selain itu, sangat besar kemungkinannya ucapan dalam Markus 4:11-12 ini asli dari Yesus mengingat Yesus juga dicatat pernah berkata bahwa dia "diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari antara umat Israel" (Matius 15:24; bdk.10:6).


Sangat mungkin, Yesus dari Nazaret memandang misinya sendiri hanyalah untuk menyatukan kembali suku-suku Israel yang sudah terceraiberai, sehingga dia tak menaruh perhatian sama sekali terhadap bangsa-bangsa non-Yahudi pada zamannya. (Jelas, kalau analisis isi dan analisis sejarah dilakukan pada ucapan dalam Matius 28:18-20, maka harus ditegaskan bahwa ucapan ini bukanlah ucapan asli Yesus dari Nazaret.) Usaha mempersatukan kembali suatu bangsa di dalam suatu negeri yang sedang dijajah bangsa lain jelas adalah suatu usaha politik yang berisiko besar. Setiap penjajah di manapun dan kapanpun menginginkan bangsa jajahannya terpecah-belah sehingga mudah untuk dikuasai terus-menerus. Divide et impera! Jadi, dilihat dari sudut ini, bisa dimengerti mengapa Yesus menyamarkan visi dan misinya, mengapa dia mengajar dengan banyak memakai bahasa simbolik dan metafora.


Perlu kita ketahui, dalam banyak kebudayaan di dunia ini, dulu dan kini, ketika orang-orang bijak mau menyampaikan kebenaran-kebenaran, mereka banyak kali memakai perumpamaan, kiasan, tamsil, ibarat, peribahasa, aforisme, metafora dan bahasa simbolik. Dalam dunia keagamaan dan dunia seni khususnya, cara berkomunikasi dan mengungkapkan sesuatu lewat kiasan, perumpamaan, simbol-simbol, tanda-tanda, dan metafora, adalah cara yang paling banyak dipakai, sebab kedua dunia ini mengeksplorasi kebenaran-kebenaran yang multidimensional dan terus berkembang, kebenaran-kebenaran yang terus terbuka pada banyak penjelasan dan penafsiran yang tak pernah selesai, dan yang tak boleh dipantek mati pada satu titik permanen.


Nah, masalah krusialnya muncul ketika seorang bijak, Yesus misalnya, atau Siddharta Gautama, atau Antisthenes dan Diogenes dari Sinope (dua filsuf aliran Sinisisme), atau Lao Tsu, atau Mahatma Gandhi, memakai bahasa simbolik atau metafora untuk menyampaikan hanya satu pesan yang tak ambigu, namun disamarkan demi menjaga keamanan dirinya, seperti halnya dengan ucapan Yesus dalam Markus 12:17.


Nah, dalam situasi ini, bagaimana bahasa simbolik dan metafora yang digunakan orang-orang bijak ini betul-betul dapat ditangkap dengan benar dalam satu makna saja oleh para pendengar mereka semula dulu atau oleh para pendengar atau pembaca mereka di kemudian hari?


Masalah ini dapat diatasi dengan cara: para pendengar mereka (khususnya murid-murid lingkaran dalam mereka, inner circle) harus betul-betul sudah bergaul erat dengan mereka dalam jangka waktu yang lama, sudah mengenal pemikiran dan visi-visi mereka, sudah mengenal cara-cara dan bentuk-bentuk komunikasi verbal mereka, sudah cergas memahami dan menangkap kapan mereka mau dipahami secara harfiah atau secara metaforis lewat ucapan dan tindakan mereka, dan mampu menempatkan semua tindakan dan ucapan mereka pada konteks sosial aktual yang terbatas maupun yang luas.


Dengan kata lain, setiap ungkapan simbolik atau bahasa metaforis, jika ini dimaksudkan untuk membawa satu makna dan pesan saja, makna dan pesan yang satu ini dapat dengan benar ditangkap dan dipahami jika kita, dalam hal Yesus, mengenal teologi Yesus, kosa kata khas Yesus, gaya bahasa khas Yesus, gaya khas kehidupan Yesus, dan konteks sosial kehidupan Yesus dan konteks sosial aktual yang di dalamnya Yesus melakukan suatu tindakan simbolik atau mengucapkan pesan-pesan simbolik metaforis, serta persoalan-persoalan aktual yang sedang dihadapi Yesus dan bangsa Yahudi zamannya. 


Jadi kajian sejarah dan kritik sastra harus digunakan ketika orang mau menangkap dan memahami ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan simbolik Yesus yang bisa memikul banyak makna dan pesan, tetapi dikehendaki Yesus hanya menyampaikan satu makna dan pesan.


Nah, sekarang kita lanjutkan ke sebuah episode lainnya dalam kehidupan Yesus, kali ini ke teks Yohanes 12:36b. Teks ini memuat sebuah catatan pendek bahwa Yesus "pergi bersembunyi" ketika dia, sementara memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi tahunan (lihat juga Markus 11:1-11; dan par.), mendapati orang banyak ingin melantiknya menjadi Raja Israel sementara mereka meneriakkan yel-yel "Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel" (Yohanes 12:13). Teks ini tampak autentik jika dibandingkan dengan teks-teks paralelnya dalam injil-injil sinoptik (Markus, Matius, Lukas).

Dalam injil-injil sinoptik tak ada catatan bahwa Yesus segera pergi bersembunyi setelah dia melihat gelagat orang banyak ingin melantiknya menjadi seorang raja Israel. Dalam setiap perayaan Paskah Yahudi, nasionalisme dan patriotisme Yahudi sangat kuat muncul karena dipicu oleh ingatan tentang kemerdekaan nenek moyang bangsa Israel dari perbudakan di Mesir pada masa yang sudah sangat lampau (yang setiap tahun diperingati sebagai Paskah), dan ini dapat menimbulkan berbagai kerusuhan besar di kota Yerusalem seperti pernah terjadi pada tahun 4 SM, dan pada masa Ventidius Cumanus memerintah Palestina dari 48 sampai 52 M, sebagaimana dilaporkan oleh Flavius Yosefus, seorang sejarawan Yahudi (Bellum Judaecum 2.10-13; 2.224; Antiquitates 17.204; 20.106-112). Untuk mencegah kerusahan massal ini, kota Yerusalem (yang dipadati bisa sampai empat ratus ribu orang pada masa perayaan Paskah) dan khususnya Bait Allah dijaga dan diawasi dengan sangat ketat oleh sejumlah besar pasukan Romawi. Karena itulah, tidak mungkin pawai pelantikan yang digelar Yesus dan orang banyak ini bisa berlangsung aman-aman saja.


Nah, jika dalam Yohanes 12:36b dinyatakan bahwa segera setelah pawai ini Yesus pergi bersembunyi, pernyataan pendek ini mengindikasikan bukan bahwa Yesus menolak aspirasi orang banyak untuk mengangkatnya menjadi raja Israel (karena Yesus sendiri tidak menolak mengadakan pawai pelantikan dirinya sebagai raja, yang dimeriahkan dengan yel-yel pelantikan dan berbagai atribut lainnya), melainkan bahwa Yesus tahu betul kalau aspirasi orang banyak ini yang tidak ditampiknya sama sekali adalah sebuah aspirasi politis yang sangat berbahaya. Karena itu, demi keamanan dirinya dan gerakannya yang masih belum matang, dia segera menyingkir, pergi bersembunyi, bisa jadi karena dia berpikir dengan benar bahwa tentulah pasukan Romawi sedang menyelidiki siapa orang yang telah mengklaim takhta raja Yahudi itu dan di mana orang ini kini berada, orang yang harus ditangkap dan diamankan.


Dalam tuturan injil-injil PB, sedikitnya ada dua metafora yang dipakai Yesus untuk menunjukkan bahwa dia memang sedang melawan penjajah Roma, yang dikehendakinya dapat dikalahkan olehnya dan oleh bangsa Yahudi. Dalam Markus 3:27, kekaisaran Romawi yang sedang menjajah tanah dan bangsa Israel disebutnya sebagai “orang kuat” (ho iskhuros). Kata Yesus, jika rumah orang kuat ini ingin dimasuki dan harta bendanya dirampas, orang kuat ini harus "diikat dahulu."


Teks Markus 3:27 ini muncul dalam sebuah narasi pertikaian, yang dibuka dengan suatu tuduhan bahwa Yesus "kerasukan Beelzebul", sang penghulu setan, roh jahat, yang lalu ditangkis Yesus (Markus 3:20-30). Jika "orang kuat" ini dimaksudkan Yesus sebagai "Beelzebul", sebagai "penghulu (= kepala) setan-setan", sebagai "roh jahat", penulis Injil Markus memang mengidentikkan penjajah Romawi sebagai "setan" atau "roh jahat", seperti dapat kita baca dalam Markus 5:1-20.


Dalam tuturan Markus 5 ini, Yesus meminta roh jahat yang sedang merasuki seorang Gerasa "keluar dari" orang yang kerasukan ini. Sebelumnya, Yesus bertanya siapa nama roh jahat ini; lalu roh jahat ini menjawab, "Namaku Legion, karena kami banyak" (ayat 9). Nah, dalam dunia Yunani-Romawi abad-abad pertama, “legion” adalah sebuah sebutan dalam dunia kemiliteran untuk satuan prajurit pejalan kaki Roma ditambah pasukan berkuda, dengan jumlah sangat besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. Nama ini dengan demikian adalah sebuah metafora (yang dipakai penulis Injil Markus) untuk penjajahan Roma atas tanah Israel.


Ketika Yesus meminta Legion ini keluar dari tubuh orang yang dirasuki, roh-roh jahat ini meminta untuk diizinkan tetap tinggal di daerah itu (ayat 10); inilah memang kemauan Roma, yakni tetap menjajah tanah Israel, tetap mengontrol seluruh negeri. Dari jalannya kisah, kita dapat simpulkan, permintaan ini Yesus tak kabulkan. Lalu Legion ini meminta diizinkan untuk “pindah ke dalam babi-babi, dan memasuki” kawanan babi ini. Yesus mengabulkan permintaan mereka. Legion ini segera masuk ke dalam kawanan babi, lalu kawanan dua ribu ekor babi ini “terjun dari tepi jurang ke dalam danau dan mati lemas di dalamnya” (ayat 13) (Catatan: sebetulnya sama sekali tak ada danau di daerah Gerasa! Jadi, tampaknya penulis Injil Markus keliru mengidentifikasi tempat).


Babi adalah binatang haram, dalam pandangan Yahudi. Ya, bagi Yesus, penjajah Roma memang adalah bangsa yang najis dan haram, sederajat dengan babi, dan hanya pantas dibenamkan ke dalam air danau sampai mati lemas. Tuturan tindakan Yesus di kawasan orang Gerasa ini, yakni melakukan eksorsisme, konsisten dengan kebanyakan tindakan Yesus lainnya, yang kuat dicirikan oleh pengusiran setan, sebagaimana dipercaya kalangan pengkaji Yesus pada umumnya.


Di mana-mana dan di banyak zaman, sebagaimana telah disingkap oleh antropologi kultural, dalam suatu pertikaian sengit dan besar, pihak-pihak yang bertikai kerap memandang lawan-lawan mereka sebagai representasi setan-setan. Demonisasi (demonization, demonizing) selalu dilakukan terhadap lawan-lawan, khususnya ketika lawan-lawan ini dirasakan terlalu kuat dan terlalu besar untuk dikalahkan. Injil-injil Perjanjian Baru, juga banyak dokumen PB lainnya, sarat dengan motif mendemonisasi lawan ini. Entah yang didemonisasi itu Yesus, atau, sebaliknya, Yesus mendemonisasi lawan-lawannya, seperti kita dapat baca misalnya dalam Inijil Yohanes (Yohanes 8:44, 48). Dalam kekristenan perdana yang beranekaragam, motif menyetankan lawan ini juga muncul di mana-mana seperti telah diperlihatkan oleh Elaine Pagels dalam bukunya The Origin of Satan: How Christians Demonized Jews, Pagans, and Heretics (1996).


Harus diingat bahwa kematian Yesus tak pelak lagi adalah sebuah konsekwensi dari gerakan politiknya di suatu negara yang sedang dijajah oleh kekaisaran Romawi, yang memandang hanya Kaisar Roma yang berkuasa memerintah tanah Yahudi. Vonis dan penghukuman mati Yesus melalui penyaliban bukan tanpa dasar politis. Dasar politis kematiannya ini sangat kuat, yakni dia ditemukan terbukti mengklaim dirinya Raja Yahudi di suatu negeri yang di dalamnya boleh hanya ada satu raja yang berkuasa, yakni Kaisar yang bertakhta di kota Roma. Setiap orang yang melawan Kaisar dan kedaulatan Roma atas negeri jajahan harus dihukum mati. Tuduhan terhadap Yesus ini ditulis dan dipasang sebagai titulus pada balok kayu salibnya, yang berbunyi "Raja Orang Yahudi" (lihat Markus 15:26; Matius 27:37; Lukas 23:38; Yohanes 19:19).


Tak lama sebelum Yesus ditangkap (di suatu tempat, tak harus di taman Getsemani!), dia telah mengadakan sebuah demo keciil di Bait Allah di Yerusalem, ketika dia mengintervensi bisnis penukaran uang dan penjualan hewan-hewan kurban di situ sambil mengucapkan kata-kata keras tentang Bait ini (Markus 11:15-18; 14:58; Injil Tomas 71; Yohanes 2:14-16a). Kegiatan fiskal dan komersial di Bait Allah ini memang diperlukan dan sah diadakan demi kelangsungan ritual-ritual kurban yang diadakan di dalamnya.


Mengganggu jalannya sistem kurban yang dikelola para pengurus Bait Allah bukan saja mengganggu otoritas Yahudi yang ada di balik penyelenggaraan ritual-ritual itu, tetapi juga otoritas Romawi yang bertanggungjawab untuk mengamankan penyelenggaraan semua ritual itu karena dari penghasilan yang diterima otoritas Yahudi dari ritual-ritual ini otoritas Roma juga mendapatkan bagian keuntungan yang besar.


Nah, barangsiapa mengganggu kedua otoritas ini, barangsiapa mengganggu Bait Allah, si pengganggu harus ditangkap dan umumnya akan langsung dieksekusi, lebih-lebih lagi jika gangguan ini diadakan pada musim perayaan Paskah Yahudi tahunan yang berlangsung selama 7 hari.


Ada alasan yang cukup untuk orang percaya bahwa demo yang dilakukan Yesus di Bait Allah, meskipun berskala kecil,yang diadakannya sebagai suatu tindakan simbolik untuk menyetop semua kegiatan fiskal dan ritual di Bait Allah, adalah salah satu penyebab paling menentukan mengapa dia dicari dan akhirnya ditangkap, lalu, tak lama setelah itu, dieksekusi.
Demo Yesus ini bukan sekadar suatu demo keagamaan untuk “menyucikan Bait Allah”, melainkan suatu tindakan simbolis politis untuk mengakhiri fungsi Bait Allah sebagai sebuah pranata yang berperan sebagai broker antara Allah Yahudi dan umat Yahudi kalau umat ini mau mendapatkan penyucian dosa, peran broker yang dimainkan oleh para pemuka keagamaan Yahudi yang bertindak di dalam perlindungan dan kontrol Roma.


Bisa jadi, Yesus yang selalu memberitakan bahwa Allah Yahudi kini datang langsung kepada umat-Nya, tanpa broker, menjadi sangat terganggu dan naik pitam ketika dia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana peran langsung Allah ini telah dihambat oleh peran Bait Allah dan para penguasa Yahudi di belakangnya sebagai perantara-perantara yang menghubungkan Allah Yahudi dengan umat.


Ihwal bagaimana aspek-aspek politik tak dapat dilepaskan dari gerakan yang dibangun Yesus bersama murid-muridnya, sudah banyak diulas oleh para pakar pengkaji Yesus sejarah. Buku yang disunting oleh E. Bammel dan C. F. D. Moule, Jesus and the Politics of His Day (1985; cetak ulang 1992), dapat dijadikan sebagai sebuah bacaan awal.

Gerakan Yesus bagaimana pun juga adalah sebuah gerakan politis, meskipun tidak ada indikasi kuat apapun dalam injil-injil Perjanjian Baru bahwa Yesus memiliki dan membangun suatu pasukan bersenjata, yang disiapkan untuk suatu saat menggelar perlawanan militer terbuka terhadap Roma. 

Barangkali Yesus dari Nazaret menghayati diri sebagai seorang nabi apokaliptik, yang percaya bahwa di masa depan semua ketidakberesan dunia ini, termasuk ketidakberesan politik dan penjajahan Roma atas bangsa dan tanah Israel, akan diakhiri oleh intervensi langsung dari surga oleh Allah sendiri bersama pasukan besar surgawi-Nya, pada saat mana Bait Allah akan juga dihancurkan oleh Allah sendiri untuk diganti dengan Bait lain yang bukan buatan tangan manusia.


Ada yang menyarankan bahwa Yesus yakin intervensi ilahi ini akan terjadi pada saat dia ditangkap dan menjelang disalibkan, untuk menyelamatkan dirinya dan membebaskan Israel dari kekuasaan Roma, dan mendatangkan Bait Allah yang baru yang tidak dibuat oleh tangan manusia. Tetapi, sampai menjelang ajal dan ketika merasakan kesakitan luar biasa di kayu salib, intervensi ini tak kunjung terjadi sehingga Yesus merasa telah ditinggalkan dan ditelantarkan Allah. Jika penulis Injil Markus memang mencatat sebuah ingatan historis tentang apa yang terjadi ketika Yesus sedang kesakitan di kayu salib, menurut penulis injil ini, Yesus akhirnya merasa sangat kecewa dan berteriak, "Eloi, Eloi, lama sabakhtani?", artinya: "Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?" (Markus 15:33).


Tetapi para pakar pengkaji Yesus sejarah belakangan ini makin condong menolak jika Yesus dari Nazaret dipandang sebagai seorang nabi apokaliptik. Mereka lebih siap untuk memandang Yesus sebagai seorang nabi sosial, yang membawa visi dan misi pembaruan sosio-politik dan religius untuk bangsa dan negerinya, yang di ujung pergerakannya menemui kegagalan total.


Sebagai seorang nabi sosial, Yesus lebih kuat menghayati apa yang oleh John Dominic Crossan disebut ethical eschatology, atau sapiential eschatology, yang mendorong orang (murid-murid Yesus) untuk aktif ambil bagian secara etis dan bijak dalam tindakan-tindakan Allah yang sekarang sedang berlangsung untuk menegakkan kerajaan-Nya dalam dunia ini (di beberapa tulisannya, Crossan menguraikan isi eskatologi jenis ini; lihat khususnya bukunya, Jesus: A Revolutionary Biography, 1994, hlm. 56 dyb.). Apokaliptisisme, yang membuat orang pasif menunggu intervensi Allah sang pembalas di akhir zaman untuk membereskan semua ketidakberesan dunia ini, meskipun tak dapat dilepaskan sama sekali dari pikiran Yesus, sedikit memengaruhi kiprah-kiprah dan ajaran-ajaran Yesus.


Bagaimana pun juga, gerakan politis Yesus lebih tampak sebagai suatu gerakan pemberdayaan rakyat (empowering the people) melalui berbagai aktivitas yang Yesus lakukan banyak kali (penyembuhan dan pengusiran setan), melalui berbagai pengajarannya, yang dalam banyak segi disampaikan bukan sebagai pernyataan-pernyataan politis terbuka, tetapi sebagai metafora-metafora (antara lain perumpamaan-perumpamaan tentang kerajaan Allah, tentang Allah yang kini sedang berkuasa dan memerintah atas bangsa Israel dan akibat-akibatnya yang kentara dan dirasakan dan dialami langsung oleh rakyat Yahudi), dan melalui usaha-usahanya membangun suatu komunitas egaliter, di mana egalitarianisme ini diwujudkan dalam acara-acara makan bersama yang digelar dan dipimpinnya, suatu komunitas miniatur yang menjadi sebuah model bagaimana nanti di masa depan bangsa Israel harus dikelola, ketika Israel sudah merdeka dari penjajahan, dan dipimpin langsung oleh Allah bangsa Yahudi yang akan memerintah dengan kerahimannya.


Begitu juga, ketika kekristenan perdana (yang melahirkan Perjanjian Baru) mengklaim dan memproklamirkan bahwa Yesus adalah Tuhan (kurios), klaim dan proklamasi Kristen ini dibuat sebagai suatu tandingan terhadap klaim dan proklamasi resmi bangsa Romawi bahwa sang Kaisar mereka (Augustus) adalah Tuhan/Allah, sang penyelamat dunia, yang membawa kabar baik bagi dunia yang dikenal, sebagaimana dengan jelas dikumandangkan pada sebuah prasasti yang bertuliskan dekrit Majelis Provinsi Asia dalam kekaisaran Romawi, yang berasal dari tahun 9 SM :

"Kaisar yang paling ilahi... harus kita pandang setara dengan Sang Awal (arkhē) dari segala sesuatu.... Kaisar.... sang Nasib Baik bagi semua orang.... Awal kehidupan dan vitalitas... semua kota dengan bulat mengadopsi hari kelahiran Kaisar ilahi sebagai awal baru untuk tahun ini.... Sementara Sang Providentia, yang telah mengatur seluruh eksistensi kita,... telah membawa kehidupan kita ke puncak kesempurnaan dengan memberikan kepada kita [sang Kaisar] Augustus, yang oleh sang Providentia telah diisi dengan kebajikan demi kesejahteraan semua orang, dan yang, lewat pengutusannya sebagai sang Penyelamat (sōtēr) kepada kita dan semua keturunan kita, telah mengakhiri perang dan menempatkan segala sesuatu dalam keteraturan pada tempatnya masing-masing,... dan... akhirnya, hari kelahiran Allah [Augustus] telah menjadi bagi seluruh dunia awal kabar baik [euaggelion] tentang dirinya [dan karena itu hendaklah suatu zaman baru dimulai sejak kelahirannya]." (Dikutip oleh Richard A. Horsley, The Liberation of Christmas. The Infancy Narratives in Social Context, 1989, 27.)
Jadi, memperlakukan Yesus dari Nazaret sebagai seorang sekuler, atau memandang kekristenan perdana sebagai komunitas yang anti-politik atau a-politik, adalah sebuah anakronisme yang menyesatkan. [Dr. Ioanes Rakhmat].

> Politik Roma Versus Politik Yesus
 

Conflict, theology and history make Muslims more religious than others, experts say


By Richard Allen Greene, CNN
(CNN) – Every religion has its true believers and its doubters, its pious and its pragmatists, but new evidence suggests that Muslims tend to be more committed to their faith than other believers.

Muslims are much more likely than Christians and Hindus to say that their own faith is the only true path to paradise, according to a recent global survey, and they are more inclined to say their religion is an important part of their daily lives.

Muslims also have a much greater tendency to say their religion motivates them to do good works, said the survey, released over the summer by Ipsos-Mori,
a British research company
that polls around the world.



Islam is the world's second-largest religion - behind Christianity and ahead of Hinduism, the third largest. With some 1.5 billion followers and rising, Islam's influence may be growing even faster than its numbers as the Arab Spring topples long-reigning secular rulers and opens the way to religiously inspired political parties.


But while there's no doubt about the importance of Islam, experts have different theories about why Muslims appear to be more religious than members of other global faiths - and contrasting views on whether to fear the depth of Muslims' commitment to their faith.

One explanation lies in current affairs, says Azyumardi Azra, an expert on Islam in Indonesia, the world's most populous Muslim majority country.

Many Muslims increasingly define themselves in contrast with what they see as the Christian West, says Azra, the director of the graduate school at the State Islamic University in Jakarta.

"When they confront the West that they perceive or misperceive as morally in decline, many Muslims feel that

Islam is the best way of life. Islam for them is the only salvation," he says.


That feeling has become stronger since the September 11 attacks, as many Muslims believe there is a "growing conflict between Islam and the so-called West," he says.

"Unfortunately this growing attachment to Islam among Muslims in general has been used and abused by literal-minded Muslims and the jihadists for their own purposes," he says.

But other experts say that deep religious commitment doesn't necessarily lead to violence.
"Being more religious doesn't necessarily mean that they will become suicide bombers," says Ed Husain, a former radical Islamist who is now a Middle East expert at the Council on Foreign Relations in New York.

In fact, Husain argues that religious upbringing "could be an antidote" to radicalism.


The people most likely to become Islamist radicals, he says, are those who were raised without a religious education and came to Islam later, as "born-agains."

Muslims raised with a grounding in their religion are better able to resist the distortions of Islam peddled by recruiters to radical causes, some experts like Husain argue, making them less likely to turn to violence.

But he agrees that Muslims are strongly attached to their faith, and says the reason lies in the religion itself.
"Muslims have this mindset that we alone possess the final truth," Husain says.

Muslims believe "Jews and Christians went before us and Mohammed was the last prophet," says Husain, whose book "The Islamist" chronicles his experiences with radicals. "Our prophet aimed to nullify the message of the previous prophets."

The depth of the Muslim commitment to Islam is not only a matter of theology and current events, but of education and history, as well, other experts say.

"Where religion is linked into the state institutions, where religion is deeply ingrained from childhood, you are getting this feeling that 'My way is the only way,'" says Fiyaz Mughal, the director of Faith Matters, a conflict-resolution organization in London.

The Ipsos-Mori survey results included two countries with a strong link between religion and the state: Legally Muslim Saudi Arabia, which calls itself the guardian of Islam's two holiest sites, Mecca and Medina; and Indonesia, home of the world's largest Muslim population.

The third majority Muslim country in the study is Turkey, which has a very different relationship with religion. It was founded after World War I as a legally secular country. But despite generations of trying to separate mosque and state, Turkey is now governed by an Islam-inspired party, the AKP.

Turkey's experience shows how difficult it can be to untangle government and religion in Muslim majority countries and helps explain the Muslim commitment to their religion, says Azyumardi Azra, the Indonesia expert.

He notes that there has been no "Enlightenment" in Islam as there was in Europe in the 17th and 18th centuries, weakening the link between church and state in many Christian countries.

"Muslim communities have never experienced intense secularization that took place in Europe and the West in general," says Azra. "So Islam is still adhered to very strongly."

But it's not only the link between mosque and state in many Muslim majority countries that ties followers to their faith, says professor Akbar Ahmed, a former Pakistani diplomat who has written a book about Islam around the world.

Like Christians who wear "What Would Jesus Do?" bracelets, many Muslims feel a deep personal connection to the founder of their faith, the prophet Muhammad, he says.

Muhammad isn't simply a historical figure to them, but rather a personal inspiration to hundreds of millions of people around the world today.

"When a Muslim is fasting or is asked to give charity or behave in a certain way, he is constantly reminded of the example set by the prophet many centuries ago," argues Ahmed, the author of "Journey Into Islam: The Crisis of Globalization."

His book is based on interviews with Muslims around the world, and one thing he found wherever he traveled was admiration for Muhammad.

"One of the questions was, 'Who is your role model?' From Morocco to Indonesia, it was the prophet, the prophet, the prophet," says Ahmed, the Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies at American University in Washington.

But while Ahmed sees similar patterns across the Islamic world, Ed Husain, the former radical, said it was important to understand its diversity, as well.

"There is no monolithic religiosity - Muslims in Indonesia and Saudi Arabia are following different versions of Islam," says Husain. "All we're seeing (in the survey) is an adherence to a faith."

Political scientist Farid Senzai, director of research at the Institute for Social Policy and Understanding in Washington, raised questions about the survey's findings.

"Look at the countries that are surveyed - Saudi Arabia, Indonesia and Turkey," he says. "There are about 300 million Muslims in those three countries, (who make up) about 20% of Muslims globally."

Islam is "incredibly important" in Saudi Arabia, he says.

"But in Tunisia or Morocco you could have had a different result. It would have been nice if they had picked a few more Arab countries and had a bit more diversity," says Senzai.

The pollster, Ipsos-Mori, does monthly surveys in 24 countries, three of which are majority Muslim – Turkey, Indonesia and Saudi Arabia. The other countries range from India to the United States, and Mexico to South Korea, and are the same each month, regardless of the subject the pollsters are investigating.

In the survey released in July, about six in 10 Muslims in the survey said their religion was the only way to salvation, while only a quarter of Hindus and two out of 10 Christians made that claim about their own faiths.

More than nine out of 10 Muslims said their faith was important in their lives, while the figure was 86% for Hindus and 66% for Christians.

Ipsos-Mori surveyed 18,473 adults via an online panel in April and released the findings in July. Results were weighted to make the results as representative as possible, but the pollster cautioned that because the survey was conducted online, it was harder to get representative results in poorer countries where internet access is not widespread.

CNN polling director Keating Holland also warns that in an "opt-in" survey, where respondents actively choose to participate, results tend to come from "people who are confident in their opinions and express them openly... not good for intensely private matters like faith or income or sex."

Online surveys in countries that are not entirely free are also open to the possibility that pollsters get "the approved response" in those nations, "where the people who are most likely to be willing to talk about such matters are the ones who hold, or at least verbalize, opinions that won't get them in trouble if they are expressed," Holland says.

That may have been an issue in Saudi Arabia, where respondents were given the choice of not answering questions on religion due to their potential sensitivity in the kingdom. The Saudi sample was the smallest, with 354 participants, meaning "findings for Saudi Arabia must be treated with caution," Ipsos-Mori said.

About 1,000 people participated in most countries, but sample sizes were smaller in the three majority Muslim countries and in eight other countries.

The survey participants did not reflect the true percentage of Christians and Muslims in the world. Christians were over-represented – as were people who said they had no religion – and Muslims were under-represented.

Nearly half the respondents identified themselves as Christian. Eleven percent were Muslim, 4% were Buddhist, 3% were Hindu and 3% were "other." A quarter said they had no religion and 6% refused to say.

Fiyaz Mughal, the interfaith expert, argues that even though the countries surveyed might not be representative of the entire Muslim world, the findings about Muslims rang broadly true. Muslims in different countries were committed to their faith for different reasons, he says.

"Saudi Arabia is an institutionally religious state. Indonesia has religion tied into its culture," says Mughal.

But Muslim immigrants to Europe also show strong ties to their religion, either as a defense mechanism in the face of a perceived threat, or because of an effort to cling to identity, he contends.

He detects a link between insular communities and commitment to faith regardless of what religion is involved. It is prevalent in Muslim Saudi Arabia, but he has seen it among Israeli Jews as well, he says.

"The Israeli Jewish perspective is that (the dispute with the Palestinians) is a conflict of land and religion which are integrally linked," Mughal says.

"What does play a role in that scenario is a sense of isolationism and seclusion in Israeli Jewish religious communities, a growing trend to say, 'Our way is the only way,'" he says.

Religious leaders of all faiths need to combat those kinds of attitudes because of the greater diversity people encounter in the world today, he argues.

They have a responsibility to teach their congregations "that if they are following a religion, it is not as brutal or exclusive as possible," Mughal says. "Things are changing. The world is a different place from what it was even 20 years ago."

Politicians, too, "need to take these issues quite seriously," he says.

"In the Middle East there are countries - the Saudi Arabias - where you need to be saying that diversity, while it may not be a part of the country, is something they have to deal with when moving in a globalized area," he says.

But Senzai, the political scientist, says that it's also important for the West to take the Muslim world on its own terms.

"Many Muslims want religion to play a role in politics," he says. "To assume that everyone around the world wants to be like the West - that they want liberal secular democracy - is an absurd idea."

– CNN's Nima Elbagir and Atika Shubert contributed to this report.
- Newsdesk editor, The CNN Wire