Bukti Empirik Tuhan?


Para ateis seringkali meminta bukti empirik atas suatu problem keilmuan yang seharusnya mereka harus mulai menggunakan akalnya untuk menggapai bentuk kebenaran rasionalistik. Mereka suka memvonis argumentasi rasionalistik kaum teis sebagai ‘hanya asumsi’-‘hanya kebenaran anggapan’ bahkan yang lebih buruk lagi ‘hanya ilusi’ dan vonis-vonis demikian dibuat karena mereka tetap kukuh memegang prinsip empiristik ketika menggumuli problem dunia gaib dengan mengabaikan dan menyisihkan prinsip cara berfikir rasionalistik.

Padahal kitab suci sendiri mengkonsep manusia agar menggunakan akalnya untuk membaca kebenaran Ilahi yang banyak berbicara tentang dunia gaib dan tidak menyuruh manusia untuk berkubang hanya di wilayah metodologi serta bentuk kebenaran empirik yang dibangunnya. Artinya Tuhan tidak meminta manusia untuk membuktikan secara empirik deskripsi dunia gaib yang diungkapkan kitab suci melainkan meminta akal manusia untuk digunakan agar bisa menangkap kebenaran rasionalistiknya.

Sang Maha Pencipta sendiri memandang akal itu memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang dunia indera dan otomatis kebenaran rasionalistik dalam pandangan Ilahi memiliki derajat yang lebih tinggi ketimbang sekedar bukti empirik yang orang paling bodoh sekalipun bisa dengan mudah menangkapnya. Demikian pula akal manusia bisa menggapai kebenaran yang lebih tinggi dan lebih luas ketimbang bentuk kebenaran yang bisa digapai oleh kekuatan dunia indera, karena sebab itulah maka Tuhan meninggikan akal melebihi dunia indera.

Mari kita kaji persoalan ini dari dasar: Percayakah Anda bahwa disamping memiliki dunia panca indera manusia juga memiliki akal (?)

Bila anda percaya maka pasti Anda akan faham bahwa bila ada kebenaran yang bersandar pada bukti empirik langsung, maka ada bentuk kebenaran yang bersandar pada bukti yang dikemukakan akal fikiran.

Oleh karena itu ada ‘bukti empirik’ dan ada ‘bukti rasional’ dan keduanya adalah konsep-rumusan yang jelas berbeda dan tentu masing masing memiliki kredibilitas dan validitas nya sendiri-sendiri. Dengan demikian kita mengenal ada ‘kebenaran empirik’ dan ada ‘kebenaran rasional’, dan ini adalah dua konsep kebenaran yang jelas berbeda dengan metodologi yang berbeda, dimana kebenaran empirik mensyaratkan bukti empirik langsung, sedangkan  kebenaran rasional mensyaratkan bukti berdasar cara berfikir akal yang tertata-sistematik.

Metodologi empirisme bersandar pada pembuktian secara empirik, adapun metodologi rasionalisme bersandar pada pembuktian argumentasi cara berfikir akal yang tertata-sistematik. Metodologi rasionalistik tidak mensyaratkan bukti empirik langsung, sehingga bila dalam wilayah kebenaran empirik manusia dibebani untuk membuktikan secara empirik obyek yang dijadikan kajian, maka dalam wilayah kebenaran rasional manusia tidak dibebani untuk membuktikan secara empirik dengan bukti yang tertangkap dunia inderawi dari obyek yang dijadikan bahasan.

Sebab itu metode serta bentuk kebenaran empirik tidak cocok dan tidak bisa fleksibel bila digunakan membahas problem yang berkaitan dengan dunia gaib, sedang metode serta bentuk kebenaran rasionalistik cocok dan fleksibel bila digunakan membahas problem keilmuan yang sudah berhubungan dengan obyek-hal yang gaib. Dengan demikian, ketika metodologi cara berfikir rasionalistik itu digunakan untuk membahas masalah ‘Tuhan’-‘Sang desainer’ - masalah ‘surga-neraka’ maka akal tidak dibebani untuk membuktikan secara empirik terlebih dahulu tentang Tuhan Sang desainer serta surga-neraka itu, tetapi cara berfikir akal dituntut untuk bisa memahami semuanya secara rasionalistik dengan cara berfikir akal yang tertata dan merumuskannya kepada bentuk kebenaran rasional dimana tata cara berfikir akal yang  sistematik bisa menangkap dan memahaminya.

Dalam dunia filsafat sendiri masalah ini tentu terbahaskan sehingga melahirkan adanya dua bentuk metodologi serta dua bentuk kebenaran yang berbeda,  yaitu faham empirisme dan faham rasionalisme.

Nah, kapan kita harus menggunakan metodologi empirisme dan kapan kita harus menggunakan metodologi rasionalisme (?)

Metodologi empirik tentu harus kita gunakan kala kita membahas problem keilmuan yang bisa bermuara kepada pembuktian secara empirik. Adapun metodologi rasionalistik tentu harus kita gunakan kala kita membahas problem keilmuan yang bisa dimuarakan kepada adanya pembuktian secara rasionalistik.

Sampai kepada poin ini saya ingin mulai bertanya khususnya kepada para ateis yang suka meminta bukti empirik atas persoalan yang tidak bisa dimuarakan kepada pembuktian empirik (tetapi manusia dituntut untuk memuarakannya kepada bukti rasionalistik): “Mengapa dalam membahas problem yang berkaitan dengan dunia gaib, ateis selalu meminta bukti empirik padahal masalah yang dibahas seharusnya dimuarakan kepada pembuktian rasionalistik (?)”

Dengan kata lain dalam membahas masalah Tuhan-alam akhirat-surga neraka, apakah wajar bila manusia masih selalu menuntut bukti empirik dengan mengabaikan fakta bukti rasionalistik (?) padahal tatacara berfikir akal yang tertata sebenarnya masih bisa menggapainya!

Inilah kelemahan dasar orang ateis yang mereka sendiri mungkin tidak sadari, sebab pada dasarnya mereka tidak bisa ber-estafet dari dunia indera ke dunia akal dari metode serta bentuk kebenaran empirik ke metode serta kebenaran rasionalistik!

Dalam membahas problem keilmuan yang sudah berhubungan dengan wilayah gaib, para Ateis masih selalu berkubang di wilayah metodologi empiristik sementara Teis/ mukmin sudah pada naik ke wilayah pembuktian rasionalistik.

Sebagai contoh: dalam fase membahas adanya sang desainer dibalik adanya keserba-tertataan/ keteraturan alam semesta saja ateis kukuh masih meminta bukti empiriknya ketika para teis sudah naik ke wilayah pembuktian rasionalistik, padahal seharusnya mereka memahami bahwa pada fase ini manusia sudah berhadapan dengan problem yang berhubungan dengan hal yang bersifat gaib yang sudah tak bisa di muarakan lagi kepada bukti yang bersifat empirik.

Demikian pula ketika dalam fase pembahasan surga-neraka ateis juga selalu kukuh meminta bukti empirik ketika teis sudah naik ke wilayah pembuktian rasional untuk membuktikan kebenaran rasionalistik dari adanya konsep surga-neraka itu.

Dan ketika membahas masalah yang mendasar yang berhubungan dengan wilayah gaib seperti masalah ketuhanan, para teis sudah pada berlarian ke wilayah rasionalistik dengan membangun segudang argumentasi rasionalistik untuk memahami keberadaan Tuhan, tetapi ateis masih selalu berkubang di wilayah metodologi empiristik sehingga mereka selalu sulit memahami Tuhan karena fikirannya masih selalu terpenjara oleh metodologi empiristik.

Padahal dalam kehidupan sehari hari saja ada dua macam peralatan: dunia indera - akal, serta dua jenis bukti: bukti empirik - bukti rasionalistik, yang ini selalu saling berkaitan – selalu saling mendukung dimana ketika dunia indera sudah tak bisa memahami maka manusia mencoba menggunakan akalnya untuk melapis kelemahan dunia inderawinya, ketika bukti empirik sudah tak memungkinkan maka manusia naik ke fase mencari bukti rasionalistik.

Sebagai contoh di pengadilan dalam mengungkap kejahatan dua macam bukti ini saling mendukung, si terdakwa didakwa atas bukti bukti empirik kejahatannya dan ketika ia mulai mencoba membela diri maka argumentasi rasionalistik mulai digunakan untuk menjerat sang terdakwa dengan hukuman yang setimpal.

Lalu mengapa ketika ateis membahas masalah yang sudah berhubungan dengan dunia gaib, ateis secara kaku tetap selalu menggunakan prinsip cara berfikir yang bersandar pada metodologi empiristik dan tidak mau naik ke fase menggunakan akalnya (?)

Tetapi anehnya ateis terkadang mengklaim diri sebagai 'golongan rasional' dan mendiskreditkan teis sebagai 'kelompok yang tidak menggunakan nalar'. Padahal sejatinya mereka adalah kaum yang masih selalu bertumpu kepada cara berfikir serta metodologi empiristik bahkan ketika mereka membicarakan problem keilmuan yang sudah berhubungan dengan hal-hal yang bersifat gaib, karena mereka masih selalu meminta minta bukti empirik atas problem yang seharusnya manusia sudah naik ke fase menggunakan cara berfikir rasionalistik akalnya. [UTiB]

Tidak ada komentar: