The first Christian, begitulah Karen Armstrong menyebut Paulus.
Lalu Yesus? Jelas, Yesus seorang Yahudi. Ia lahir sebagai Yahudi, hidup
sebagai Yahudi, dan - menurut Armstrong - mati sebagai Yahudi.
Menganalisis setiap kalimat yang keluar dari Yesus, dan membandingkannya
dengan apa yang 'dikredokan' Paulus sebagai pondasi kekristenan membuat
kita terperangah. Selalu bertolak belakang!
Lukas 16:17 mencatat kata-kata Yesus: "Lebih mudah langit dan bumi
lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal." Matius 5:17-18
juga mencatat: Janganlah kamu menyangka bahwa aku datang untuk
meniadakan hukum Taurat atau Kitab para Nabi. Aku datang bukan untuk
meniadakannya melainkan untuk menggenapkannya. Karena aku berkata
kepadamu, "Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi, satu iota
pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi."
Sementara Yohanes 7:49 mencatat, "Tetapi orang banyak ini yang tidak
mengenal hukum Taurat, terkutuklah mereka!"
Itu Yesus. Apa kata Paulus? Beda lagi. Dalam I Korintus 15:56, Paulus
mengatakan: "Sengat maut adalah dosa. Dan kuasa dosa adalah hukum Taurat." Dalam Roma 4:15, ia berpandangan, "Karena hukum Taurat
membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ
tidak ada juga pelanggaran."
Setelah beropini bahwa hukum taurat menyusahkan, Paulus berkata dalam
Roma 7:6, "Tetapi sekarang kita telah dibebaskan dari hukum Taurat, sebab
kita telah mati bagi dia yang mengurung kita, sehingga kita
sekarang melayani dalam keadaan baru menurut Roh dan bukan dalam keadaan
lama menurut huruf hukum Taurat." Sebelumnya, dalam Roma 6:14, Paulus
mengatakan: "Sebab kamu tidak akan lagi dikuasai oleh dosa, karena kamu
tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia."
Puncaknya, sambil menanamkan doktrin ketuhanan Yesus, Paulus berkata
dalam Efesus 2:15, "Sebab dengan matinya sebagai manusia, ia telah
membatalkan hukum Taurat dengan segala segi dan ketentuannya."
Beberapa contoh kecil ini cukup membuat orang berkesimpulan, jika Yesus
adalah Kristus, maka Paulus adalah Anti-Kristus. Bagaimana bisa Paulus,
seorang Yahudi dari Tarsus yang sebelumnya dikenal sebagai penganiaya
murid-murid Yesus itu bisa memutar balik semua dasar kekristenan?
Karen Armstrong mencatat setelah penelusurannya bertahun-tahun terhadap
sejarah awal kekristenan. "...Saya kini mengetahui bahwa surat-surat
rasul Paulus merupakan dokumen Kristen paling awal yang masih ada dan
bahwa Injil, yang semuanya ditulis bertahun-tahun setelah kematian
Paulus sendiri, ditulis oleh orang-orang yang telah mengadopsi versi
kristennya Paulus. Bukannya Paulus menyimpangkan Injil, tetapi-lebih
dari itu, Injillah yang justru memperoleh visinya dari Paulus...".
Maka kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (Al-Baqarah: 79)
Awalnya, inilah agama yang ditindas di seantero Imperium Romanum.
Hingga, Konstantin, Kaisar cerdik itu membutuhkan stabilitas di
negerinya yang mau tak mau harus dimulai dari perangkulan terhadap
komunitas Kristen yang makin membesar. Atas prakarsanya, Konsili Nicea
di tahun 327 M memvoting dasar-dasar kekristenan tentang ketuhanan
Yesus, dosa waris, dan penebusan dosa. Semuanya hanyalah paganisasi
sebagaimana dikehendaki oleh Konstantin. David Fiedler memberi sampul
bukunya Ancient Cosmology and Early Christian Symbolism dengan
tulisan plesetan dominan "Jesus Christ, Sun of God". Ya, karena semua
yang diatributkan pada Yesus, - dari tanggal lahir, tempat lahir, hingga
hari ibadah Minggu - adalah atribut Sol Invictus, dewa matahari yang
dipuja Konstantin.
Maka, walk out lah Arius, Imam Alexandria dan pengikutnya yang tetap
bersikukuh meyakini kenabian Yesus. Tragis, ia dibantai rezim Konstantin
yang kemudian mengambil hasil konsili Nicea sebagai agama negara. Maka
ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam menulis surat untuk Heraklius, beliau tak lupa
menuliskan kalimat, "...Masuklah Islam, niscaya Allah akan melimpahkan
kebaikan kepada tuan dua kali lipat. Namun jika tuan berpaling, maka
tuan akan menanggung dosa atas Arisiyin.." Arisiyin berarti para
pengikut Arius yang dibantai.
Inilah sebuah agama yang dihasilkan dari konspirasi. Umberto Eco dalam Il
Namo della Rosa menyindirnya sebagai 'derma Konstantin'. Sementara
dalam The Da Vinci Code, Dan Brown menyebutnya 'kelicikan Konstantin, sang Kaisar Pagan'.
Unik juga. Modus operandi yang sama, dicobakan seorang Yahudi lain
kepada agama Islam yang dibawa Muhammad shalallahu 'alaihi wassallam. Namanya 'Abdullah ibn
Sabaa. Tetapi ia tak se-sukses Paulus. Ia hanya berhasil membangun sebuah
sistem kepercayaan yang dikemudian hari disebut sebagai Syi'ah. Jika
obyek Paulus adalah diri Yesus, maka 'Abdullah ibn Sabaa menggunakan
'Ali ibn Abi Thalib.
Al Qadhi Abu Ya'la ketika menjelaskan fitnah besar yang melanda kaum
muslimin di masa khilafah 'Ali ibn Abi Thalib menyebut dengan jelas
peran 'Abdullah ibn Sabaa. Satu kisahnya yang terkenal, ketika 'Ali dan
pasukannya memasuki 'Iraq paska tahkim (arbitrase), 'Abdullah ibn Sabaa
menghasut sekelompok orang untuk bersujud kepada 'Ali, yang disebutnya
sebagai 'Pemegang wasiat Nabi, orang yang dipilih untuk menggantikan
beliau, imam yang junjungan kaum beriman, manifestasi Allah di muka
bumi'.
Ketika mendapati orang-orang itu sujud, 'Ali sangat marah dan
memerintahkan membakar mereka. Maka 'Abdullah ibn Sabaa kembali beraksi,
'Aku telah mendengar hadits dari Nabi, bahwasanya beliau bersabda,
"Tidak akan menyiksa dengan api kecuali Allah". Adakah kita kenal 'Ali
selain sosok yang ini?"
Inilah dasar bagi salah satu sekte paling ekstrim dalam Syi'ah;
Kaisaniyah yang sampai menempatkan kedudukan 'Ali sebagai manifestasi
Allah. Guntur adalah geramnya, dan halilintar adalah cambuk 'Ali yang
murka pada para durjana. Tentu saja kerahasiaan keyakinan yang
terlindungi oleh taqiyyah menyebabkan munculnya berbagai aliran
Syi'ah yang sangat banyak dari yang paling moderat hingga paling
ekstrim. Tapi pilar ajaran mereka tiga: 'ishmah, ruj'ah, dan taqiyyah.
Masing-masing bermakna bahwa para imam itu bersih dari dosa, kembalinya
imam yang menghilang, dan kebolehan menyembunyikan keyakinan jika
merasa terancam.
Leopold Weiss, Yahudi Polandia yang mengganti namanya menjadi Muhammad
Assad setelah meraih hidayah mengisahkan perjalanannya di Iran dalam The Road to Mecca.
Alangkah kontrasnya kegembiraan dan keriangan khas suku-suku Arab gurun
yang ditemuinya di Hijjaz dan Najd dengan kemurungan dan kesayuan yang
menjadi lekatan di wajah orang-orang Iran. Secara fisik mereka gagah,
tetapi tidak tegap. Kesedihan yang parah. Seolah mendung selalu bergayut
di raut muka itu. Ada apa ini! Adakah hubungannya dengan perayaan ratap
duka yang senantiasa mereka lakukan di tanggal 10 Muharram untuk
mengenang syahidnya Husain di Karbala?
Ya. Tepatnya bukan hubungan sebab akibat, tapi sama-sama akibat. Akibat
dari sebuah shock budaya dan shock peradaban. Sebuah frustasi atas
kekalahan peradaban mereka yang begitu agung dalam memori, peradaban
Imperium Persia Sassaniyah. Ketika angkatan perang Khalifah 'Umar
dipimpin Sa'd ibn Abi Waqqash menaklukan kekaisaran ini dan sekaligus
membawakan Islam, kultus zoroaster telah memasuki palung kebekuan,
sehingga ia tak mampu melakukan perlawanan terhadap ide dinamis baru
dari jazirah arab. Peremajaan sosial dan intelektual yang sedang
berkecambah di titik balik itu tiba-tiba larut oleh serbuan kekuatan
baru yang sungguh-sungguh berbeda.
Islam hadir menghancurkan sistem kasta bangsa Iran kuno dan menghadirkan
satu sistem sosial yang egaliter dan bebas. Islam membuka celah baru
bagi berkembangnya energi-energi kebudayaan yang sejak lama menggelegak
diam tak tentu bentuknya. Tetapi kultus keagungan keturunan Darius dan
Xerxes yang tak serta merta terpinggir, seolah diputus, dipenggal antara
hari kemarin dan esok. Hari ini, oleh Islam.
Suatu bangsa yang memiliki watak yang begitu halus, telah mendapatkan
ekspresinya dalam dualisme asing agama Zand dan pemujaan pantheistis
terhadap keempat unsur -udara, air, api dan tanah-, kini dihadapkan pada
kesederhanaan Islam dengan monotheisme tak kenal kompromi. Peralihan
itu, kata Leopold Weiss, terlalu tajam dan perih.
Lebih dari itu, ada perasaan terpendam mendalam ketika mereka
mengidentikkan kemenangan cita Islam sebagai kekalahan peradaban mereka.
Perasaan sebagai bangsa yang dikalahkan dan kehancuran tak kenal ampun
terhadap wadah warisan peradaban mereka memperparah keberantakan mereka,
sehingga Islam, yang bagi bangsa-bangsa lain adalah pembebasan dan
rangsang kemajuan, menjadi sebuah kerinduan supernatural dan simbolik
yang samar.
Syi'ah, yang digarap 'Abdullah ibn Sabaa menawarkan sesuatu yang lebih
dekat dengan masa lalu jiwa-jiwa kalah ini. Doktrin mistik, manifestasi
Tuhan dalam jasad-jasad terpilih yang agung, kesemuanya disambut sebagai
jalan tengah untuk Islam yang lebih 'ramah' terhadap kejiwaan dan
kemasyarakatan mereka. Syi'ah, yang hampir menyerupai pendewaan terhadap
'Ali dan keturunannya itu, menyembunyikan cita benih inkarnasi dan
penjelmaan kembali terus menerus. Suatu cita yang sangat asing bagi
Islam, tetapi sangat akrab bagi kalbu bangsa Iran. Syi'ah menawarkan
ratap duka atas Husain sebagai cermin kepedihan atas kekalahan jiwa yang
telah terjadi saat 'Umar menaklukkan peradaban lama mereka. Begitu
seterusnya.
Oh, kini mudah menjawab, mengapa meski Syi'ah membenci Abu Bakr, 'Umar
dan 'Ustman sebagai perampas hak 'Ali, kebencian itu dibidikkan lebih
ganas kepada 'Umar. Mengapa bukan Abu Bakr si 'perampas' pertama?
Karena, 'Umar lah yang meleburkan kebanggaan psikologis bangsa Iran itu,
sesuatu yang diterakan dalam jiwa sebagai kenangan pahit; Imperium
Sassaniyah. Dan 'Umar pun syahid di mihrab, di tangan seorang budak Iran
bernama Firouz.[saf/islampetunjukjalan.blogspot].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar