Dari ‘Amr bin Dinar rahimahullah dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فِى غَزَاةٍ فَكَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ فَقَالَ الأَنْصَارِىُّ يَا لَلأَنْصَارِ وَقَالَ الْمُهَاجِرِىُّ يَا لَلْمُهَاجِرِينَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا بَالُ دَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ « دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ »
”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’” (HR. Al-Bukhari dan yang lainnya)
Hadits di atas adalah salah satu dalil tentang terlarangnya Ta’ashub terhadap kelompok, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengkategorikannya sebagai seruan Jahiliyah. Lalu apa makna Ta’ashub, macam-macamnya, bahaya dan sikap Islam terhadapnya? Mari kita simak pembahasan berikut.
Definisi Ta’ashub (Fanatik Buta)
Secara bahasa, kata Ta’ashub memiliki banyak makna, di antaranya, keras, mengikat, berkumpul mengelilingi sesuatu dan menolongnya. Dari makna inilah kita mengenal kata ‘Ashobah (dalam ilmu waris), yaitu kerabat dari jalur bapak. Orang-orang Arab menamakan kerabat seseorang sebagai ‘Ashobah karena ia mengelilinginya dan menolong serta membelanya. Ta’ashub berasal dari ‘Ashobiyyah, dan ‘Ashobiyyah adalah seseorang membela/ menolong kerabatnya dan bergabung bersama mereka menghadapi orang yang memusuhi mereka, baik kerabat tersebut zhalim ataupun terzhalimi. Dan ‘Ashobiy adalah orang marah karena ‘Ashobahnya (kerabat) dan membela mereka.
Secara istilah, kata Ta’ashub dalam makna secara istilah tidak keluar dari makna secara bahasa. Maka Ta’ashub adalah sikap keras dan mengambil sesuatu dengan keras, dan kasar dan tidak mau menerima pendapat orang yang berbeda pendapat dengannya dan menolaknya serta enggan mengikutinya sekalipun benar. Demikian juga Ta’ashub berarti membela kaumnya, kelompoknya atau orang yang satu keyakinan dengannya, tidak peduli apakah orang yang dibela tersebut benar atau salah, dan apakah yang dibela itu zhalim atau terzhalimi.
Bentuk-Bentuk Ta’ashub:
Ta’ashub Hizbi (Fanatik Golongan)
Yaitu sikap fanatik terhadap kelompok, atau golongan, atau perkumpulan yang seseorang berafiliasi (menisbatkan diri) kepadanya, dan membelanya baik kelompok tersebut benar atau salah. Demikian juga dengan mensifati kelompok atau golongannya tersebut dengan kesempurnaan, kesakralan dan terjaga dari kesalahan, serta menyebutkan kelebihan-kelebihannya dan menyerang selain golongannya dengan menyebutkan cacat dan keburukan mereka. Dan juga dengan mengagungkan kelompoknya dan merendahkan selainnya.
Ta’ashub Qaumi (Fanatik Suku)
Yaitu membela suku yang ia menisbatkan diri kepadanya dan ia berasal darinya, hanya karena kesukuan semata, sebagaimana yang terjadi pada bangsa Turki di akhir-akhir Khalifah Utsmaniyah, dan seperti yang terjadi di sebagian kabilah-kabilah Arab. Dan terkadang hal tersebut menyebabkan peperangan antar suku atau antar negara, dan bahkan kerap terjadi peperangan (tawuran) antar suku di dalam satu negara.
Ta’ashub Madzhabi (Fanatik Madzhab)
Fanatisme ini yang telah memecah belah kaum Muslimin, dan menjadikan mereka memiliki empat mimbar di Mekah (Masjidil Haram), di sekitar Ka’bah di masa lalu (di zaman keterpurukan fikih). Saat itu seorang yang bermadzhab Syafi’i melarang seseorang shalat di belakang imam yang bermadzhab Hanbali, orang yang bermadzhab Hanbali melarang seseorang shalat di belakang imam yang bermadzhab Maliki dan seterusnya. Dan fanatisme tersebut telah menjadikan pintu ijtihad tertutup. Dan tidak jarang terjadi permusuhan dan perkelahian yang disebabkan oleh perbedaan madzhab antara dua orang teman, anak dan orang tua dan bahkan antara suami dan isteri.
Tamyiz ‘Unshuri (Membeda-bedakan Keturunan/Asal-usul)
Hal itu bisa disebabkan karena jenis kelamin, seperti mengistimewakan golongan laki-laki di atas perempuan dalam hal-hal yang tidak ada dalilnya dalam syari’at, atau karena warna kulit, seperti mengistimewakan warna kulit putih di atas kulit hitam, atau karena negeri tertentu atau penduduk tertentu seperti membeda-bedakan antara imigran dengan penduduk asli, antara penduduk asli dan pendatang dan seterusnya, atau mengistimewakan kabilah tertentu dan merendahkan yang lain.
Ta’ashub Fikri (Fanatik Pemikiran)
Yaitu menolak pemikiran yang lain, tidak menerima dan mendengarkannya, serta enggan bersikap netral dan pertengahan dalam menghukumi pemikiran tersebut. Demikian juga bersikap keras dalam berinteraksi dengannya, mengkritiknya dengan sangat pedas. Dan membuatkan rupa dan bentuk tertentu untuk pemikiran yang berseberangan dengan gambaran yang telah bercampur dengan banyak kesalahan dan kekeliruan, karena hal itu dibangun di atas pondasi fanatisme.
Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk Ta’ashub yang ada di masyarakat, ada yang fanatik terhadap kyainya, ustadnya, pondoknya dan lain-lain. Dan bahkan akhir-akhir ini kita melihat para pelajar yang saking fanatiknya terhadap sekolahnya, mereka rela “mempertahankan” sekolahnya dengan “mengorbankan” harta dan nyawa mereka. Seandainya saja fanatik dan kebanggaan mereka terhadap sekolah mereka diwujudkan dengan kegiatan-kegiatan positif yang menjadikan sekolah mereka dikenal dengan prestasinya tentu hal itu lebih baik dan itulah yang diharapkan oleh orang tua, sekolah, masyarakat dan negara.
Sebab-sebab Ta’ashub
1. Percaya Diri yang Berlebihan
Seperti perkataan Fir’aun (yang diabadikan dalam al-Qur’an):
…. مَآأُرِيكُمْ إِلاَّ مَآأَرَى وَمَآأَهْدِيكُمْ إِلاَّ سَبِيلَ الرَّشَادِ {29}
“… Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukan kepadamu selain jalan yang benar.” (QS. Ghafir/ al-Mu’min: 29)
Perasaan seperti ini terkadang dimiliki oleh pribadi, atau kelompok atau bangsa.
2. Kebodohan dan Keterbelakangan Wawasan
Ketidaktahuan (bodoh) terhadap sesuatu yang ada pada orang lain dan sempitnya wawasan untuk mengetahui dan mengenalinya secara mendalam menjadikan seseorang bersikap fanatik dalam melawan dan menolaknya. Dan cukuplah kita mengatakan: ”Sesungguhnya permusuhan terhadap Islam pada hari ini, dan serangan terhadapnya yang dilakukan oleh sebagian bangsa Barat, adalah disebabkan karena bodohnya mereka dengan dasar-dasar (prinsip-prinsip) Islam, dan ketidaktahuan mereka tentang hakekat Islam yang sebenarnya. Dan ini ditambah dengan perusakan citra Islam, dan pelemparan syubhat-syubhat yang dilakukan oleh sebagian media komunikasi, baik secara sengaja maupun tidak disengaja.”
3. Pengkultusan Individu dan Sikap Ghuluw (Ekstrim) Terhadapnya
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ … {31}
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, …” (QS. At-Taubah: 31).
Sikap pengkultusan dan ghuluw ini terkadang sampai kepada batas memberikan sifat ma’shum (terjaga dari dosa) dan kesucian kepada seseorang. Suatu hak yang menyebabkan sikap Ta’ashub (fanatik) terhadap syaikh Anu, ustadz Anu, kyai Fulan, jama’ah Anu dan lain-lain.
4. Tertutup dan Wawasan yang Sempit
Kita dapati kebanyakan kelompok dan perkumpulan bersifat tertutup, tidak meyebarkan sesuatu kecuali untuk anggotanya saja, dan melarang pengikutnya untuk mendengar dari kelompok lain. Dan kebanyakan pemikiran yang menyimpang dan fanatik tumbuh dalam pemikiran-pemikiran yang bersifat rahasia (sir), bawah tanah, dan lingkungan yang tertutup serta menganggap salah terhadap kelompok selain mereka. Dan tidak jarang mereka mengkafirkan kelompok lain, ini jika fanatik tersebut kepada kelompok keagamaan.
5. Pendidikan Keluarga yang Salah
Tumbuh di keluarga yang membeda-bedakan warna kulit, atau bangsa, atau suku, atau kelompok, atau pemikiran dan pemberian semangat fanatisme dan sikap ekstrim akan menghasilkan manusia-manusia yang fanatik, tertutup, dan ekstrim. Keluarga adalah benih masyarakat, dan dampak pendidikan keluarga pasti nampak terlihat di masyarakat tersebut, dan terkadang dampak pendidikan yang salah tersebut mendominasi perilaku masyarakat, yang akhirnya muncullah masyarakat yang fanatik dengan kelompoknya dan tertutup dari masyarakat lain.
6. Pemahaman Agama yang Salah
Tidak diragukan lagi bahwa penyimpangan/kesalahan dalam memahami agama merupakan salah satu sebab yang inti. Maka dari itu, fanatisme Nashrani dalam memusuhi Islam juga disebabkan karena pemahaman yang salah terhadap dasar-dasar agama Nashrani itu sendiri. Demikian juga fanatik Madzhab yang berakibat pada penolakan terhadap madzhab lain di dalam Islam merupakan hasil dari pemahaman yang salah di dalam mengikuti/meneladani para Ulama.
7. Hilangnya Akhlak dalam Berinteraksi dengan Orang yang Berbeda Pendapat dengan Kita.
Seperti (hilangnya) sikap adil, pertengahan, netral, dalam hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda pendapat, yang semestinya memujinya jika “lawan” kita benar, membelanya jika ada orang menzhaliminya atau menganiayanya tanpa hak dan sikap-sikap lain yang termasuk akhlak dalam berbeda pendapat yang akan kita sebutkan insya Allah pada point tentang sikap Islam dalam memandang Ta’ashub.
Dampak Ta’ashub
Semua yang telah kami sebutkan pada pembahasan yang lalu, yaitu tentang fenomena-fenomena Ta’ashub yang tercela adalah di antara dampaknya. Maka Ta’ashub adalah sebab inti dari perpecahan umat ini, bercerai berainya mereka, dan tidak bersatunya mereka. Dan Ta’ashub juga termasuk sumbu fitnah dan permusuhan di antara kelompok, golongan atau suku dalam satu negara dan satu ummat, yaitu umat Islam. Demikian juga Ta’ashub adalah sebab penolakan terhadap orang atau kelompok lain, penolakan untuk hidup rukun dan berdampingan dengan mereka.
Sikap Islam Terhadap Ta’ashub
Islam datang untuk memerangi semua bentuk Ta’ashub. Hal itu nampak dari hal-hal berikut:
1. Dalam Islam, bani Adam (manusia) adalah makhluk yang dimuliakan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِى ءَادَمَ …{70}
”Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, ...” (QS. Al-Isro': 70)
Dan Allah berfirman:
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لتعارفوا … {13}
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal...” (QS. Al-Hujuraat: 13).
Maka tak ada kelebihan/ keunggulan orang Arab di atas orang ‘Ajam (non Arab), tidak pula orang berkulit merah di atas kulit hitam, kecuali dengan ketakwaan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada kita.
2. Islam memerintahkan kita berlaku adil dan bersikap pertengahan, Dia berfirman:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَآئِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ {90}
”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. an-Nahl: 90).
3. Setiap tolong-menolong dalam perbuatan dosa diharamkan di dalam Islam. Dia berfirman:
… وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ … {2}
”… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. …” (QS. Al-Maa’idah: 2).
4. Islam mensyari’atkan dan memerintahkan saling membela antar orang-orang yang beriman di dalam al-Haq (kebenaran) dan dalam menolak kezhaliman. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ … {71}
”Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, ...” (QS. At-Taubah: 71).
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إذا كان مَظْلُومًا فَكَيْفَ أَنْصُرُهُ إن كان ظَالِمًا؟ فقال تحجره أو تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره
”Tolonglah saudaramu baik dia dalam keadaan berbuat zhalim (aniaya) atau dizhalimi.” Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, aku menolongnya jika ia dalam keadaan dizhalimi, lalu jika ia berbuat zhalim bagaimana aku harus menolongnya? Beliau bersabda: ”Halangilah atau cegahlah dia dari berbuat zhalim, itulah bentuk pertolongannya.” (HR. Muslim).
Dan beliau shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
."من نصر قومه على غير الحق فهو كالبعير الذي ردى فهو ينزع بذنبه "
”Barang siapa yang menolong/ membela kaumnya tidak di atas kebenaran, maka ia seperti onta yang terjatuh ke sumur dan diangkat dengan menarik ekornya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
5. Di dalam Islam landasan atau dasar dalam mengunggulkan seseorang di atas orang lain adalah ketakwaan dan amal shalih. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
َ… إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ {13}
”… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (QS. Al-Hujuraat: 13).
Dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَفْتَخِرُونَ بِآبَائِهِمْ الَّذِينَ مَاتُوا إِنَّمَا هُمْ فَحْمُ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجُعَلِ الَّذِي يُدَهْدِهُ الْخِرَاءَ بِأَنْفِهِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَفَخْرَهَا بِالْآبَاءِ إِنَّمَا هُوَ مُؤْمِنٌ تَقِيٌّ وَفَاجِرٌ شَقِيٌّ النَّاسُ كُلُّهُمْ بَنُو آدَمَ وَآدَمُ خُلِقَ مِنْ تُرَابٍ وَفِي
”Hendaklah kaum-kaum yang membangga-banggakan nenek moyang mereka yang telah mati berhenti dari perbuatannya. Sesungguhnya mereka (nenek moyang tersebut) hanya arang neraka Jahannam. Atau (kalau mereka (kaum-kaum itu) tidak berhenti) mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah dari seekor kelabang hitam yang mengendus kotoran manusia dengan hidungnya, Sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian seruan Jahiliyyah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. (Yang ada) hanyalah orang mukmin yang bertakwa dan orang fajir (pendosa) yang celaka. Manusia semuanya adalah anak Adam, dan Adam diciptakan dari tanah.” (HR. Imam at-Tirmidzi).
6. Islam melarang kezahliman dan perbuatan melampui batas sekalipun terhadap orang yang berselisih pendapat dengan orang tersebut. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
اتَّقُوا الظُّلْمَ، فَإنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
”Takutlah terhadap perbuatan zhalim, sebab kezhaliman adalah kegelapan di atas kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
… وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى …
”…Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. …(QS. Al-Maidah: 8).
7. Islam memerangi pengkultusan terhadap manusia dan melarang menempatkan manusia di atas kedudukannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولُُ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَن يَضُرَّ اللهَ شَيْئًا … {144}
”Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad). Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; …” (QS. Ali Imraan: 144).
8. Islam agama kasih sayang dan saling menghargai terhadap orang yang berselisih pendapat. Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّرَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ {107}
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiyaa’: 107).
Yang Perlu Diketahui
Ikhtilaf (perbedaan) pasti terjadi di antara kita dan tidak mungkin dihindari, karena kita manusia, yang bisa salah dan benar, kita bukan malaikat. Maka kita tidak bisa menghilangkan perbedaan pendapat itu dan menghapuskannya. Akan tetapi yang kita mampu adalah mempersempit dan memperkecil perbedaan, bersikap dan berinteraksi yang baik dengan perbedaan tersebut. Dan yang terpenting dan wajib adalah beradab dengan adab-adab Islami dalam bergaul dan bermuamalah dengan orang-orang yang berbeda pendapat dengan kita.
Bukan termasuk Ta’ashub, yaitu bila merasa bangga dengan tokoh-tokoh Islam, dan menjelaskan kebesaran agama ini, dan bahwasanya agama ini datang untuk mengeluarkan manusia dari peribadatan kepada sesama hamba menuju peribadatan kepada Pencipta hamba tersebut (yaitu Allah). Dan bahwasanya Islam adalah agama penutup yang telah diridhai oleh Allah untuk seluruh manusia. Dan pribadi muslim yang seperti ini menolak untuk mengekor dan tunduk di hadapan musuh-musuhnya yang menyebabkan ia dituduh dan digelari sebagai orang yang fanatik, sebagaimana yang terjadi sekarang ini, di mana orang-orang yang berusaha mengamalkan agamanya dan berpegang teguh dengannya dianggap sebagai orang yang fanatik dan tidak toleran.
Demikian juga tidak termasuk sebagai Ta’ashub bila berdiskusi, berdialog, dan berdebat ilmiah dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita. Demikian juga membantah orang tersebut dengan bantahan ilmiah, menyingkap kekeliruannya, dan menjelaskan jenis kesalahannya jika itu sebuah kekafiran/ kekufuran, atau kebid’ahan, atau kemaksiatan dengan tetap menjaga adab dalam melakukan kritik ilmiah, adab berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat dan tidak menjulukinya dengan julukan fanatik hanya karena penyelisihannya terhadap Anda tersebut.
[Sumber: Diterjemahkan dengan sedikit gubahan dari
" مظاهره – أسبابه – نتائجه -البعد الشرعي التعصب "
karya Dr. ‘Adil ad-Dakhmi. Diterjemahkan oleh Abu Yusuf Sujono,
via: https://www.alsofwah.or.id].