Islam
meyakini bahwa wajib berbuat adil dalam segala hal, termasuk dalam berinteraksi
dengan non-muslim yang hidup di negara muslim yang menjamin keamanan setiap penduduknya.
Bahkan tidak boleh berbuat zhalim sekalipun kepada non-muslim. Di antara kaum muslimin,
ada yang bersikap berlebihan membenci
non-muslim hingga mengganggu mereka bahkan meneror mereka. Sebagian lagi bersikap
bermudah-mudahan, hingga berkasih-sayang dan loyal kepada mereka. Adapun sikap yang
adil adalah pertengahan di antara keduanya.
Non-muslim
terbagi menjadi beberapa kelompok.
Suatu
kesalahan fatal yang terjadi pada sebagian kaum muslimin adalah menyikapi semua
orang kafir atau non-muslim dengan sikap yang sama. Padahal Allah dan Rasul-Nya
membedakan orang kafir menjadi beberapa kelompok, sebagaimana dijelaskan
para ulama:
Kafir harbi atau kafir muharib, yaitu orang kafir yang
berada dalam peperangan dan permusuhan terhadap kaum muslimin.
Kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang
hidup di tengah kaum muslimin di bawah pemerintah muslim dan mereka membayar jizyah
setiap tahun.
Kafir mu’ahhad, yaitu orang kafir yang sedang
berada dalam perjanjian dengan kaum muslimin dalam jangka waktu tertentu.
Kafir musta’man, yaitu orang kafir yang dijamin
keamanannya oleh kaum muslimin. Masing-masing jenis orang kafir ini memiliki
hukum dan sikap yang berbeda-beda.
Namun
secara garis besar, jika kita kelompokkan lagi, maka terbagi menjadi 2 kelompok
besar sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu’anhuma:
“Dahulu
kaum musyrikin terhadap Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan kaum mukminin, mereka
terbagi menjadi 2 kelompok: musyrikin ahlul harbi, mereka memerangi kami dan
kami memerangi mereka dan musyrikin ahlul ‘ahdi, mereka tidak memerangi kami
dan kami tidak memerangi mereka” (HR. Bukhari).
Dalam
kesempatan kali ini akan dibahas bagaimana kaidah-kaidah bermuamalah dengan
orang non-muslim yang termasuk ahlul ‘ahdi, yang tidak dalam kondisi berperang
dengan kaum muslimin di negeri kita tercinta ini.
Toleransi terhadap orang kafir ahlul ‘ahdi.
Islam
agama yang samahah (toleran), Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya agama Allah (Islam) itu hanifiyyah dan samahah” (HR. Bukhari secara
mu’allaq, Ahmad, Ath Thabrani). Hanifiyyah maksudnya lurus dan benar, samahah maksudnya
penuh kasih sayang dan toleransi. Bahkan terhadap orang kafir yang tidak
memerangi Islam telah diatur adab-adab yang luar biasa, diantaranya:
1).
Dianjurkan berbuat baik dalam muamalah.
Setiap
muslim hendaknya bermuamalah dengan baik dalam perkara muamalah dengan
non-muslim, serta menunjukkan akhlak yang mulia. Baik dalam jual-beli, urusan
pekerjaan, urusan bisnis, dan perkara muamalah lainnya. Sebagaimana termaktub dalam
Al-Qur’an (artinya), “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik (dalam urusan
dunia) dan berlaku adil terhadap orang-orang (kafir) yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah :8).
Ayat
ini juga merupakan dalil bolehnya berjual-beli dan berbisnis dengan orang kafir
selama bukan jual beli atau bisnis yang haram. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam dan para sahabat juga dahulu berbisnis dengan orang kafir.
2).
Tidak boleh menyakiti mereka tanpa hak.
Haram
menyakiti dan mengganggu orang kafir tanpa hak, apalagi meneror atau sampai
membunuh mereka. Bahkan doa orang kafir yang terzhalimi itu mustajab. Nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Berhati-hatilah terhadap doanya orang yang terzalimi,
walaupun ia non-muslim. Karena tidak ada penghalang antara Allah dengannya”
(HR. Ahmad, shahih).
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda: “Barangsiapa yang membunuh seorang
kafir mu’ahad tanpa hak, ia tidak mencium bau surga” (HR. Ibnu Hibban, shahih).
Maka tidak benar perbuatan sebagian kaum muslimin yang serampangan meneror,
menyakiti atau membunuh orang kafir ahlul ‘ahdi tanpa hak. Perbuatan ini justru
bertentangan dengan ajaran Islam.
3).
Dianjurkan berbuat baik kepada tetangga kafir.
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk
berbuat baik kepada tetangga sampai-sampai aku mengira ia akan mendapatkan
warisan dariku” (Muttafaqun ‘alaihi).
Kata
tetangga di sini bermakna umum, baik tetangga yang muslim maupun kafir. Inilah bentuk
toleransi yang indah yang diajarkan oleh Islam.
Batasan toleransi terhadap orang kafir.
Toleransi
tentu ada batasannya. Dalam hal ibadah dan ideologi tentu tidak ada ruang untuk
toleransi. Bahkan jika kita mau jujur, seluruh agama tentu tidak memberi ruang kepada
pemeluknya untuk meyakini aqidah agama lain, atau beribadah dengan ibadah agama
lain.
Demikian
pula Islam, bahkan bagi kaum muslimin telah jelas termaktub dalam Al- Qur’an (artinya):
“Untukmu agamamu, dan untukku, agamaku” (QS. Al Kafirun: 6). Oleh karena itu
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam berinteraksi dengan non-muslim:
1).
Wajib membenci ajaran kekufuran dan orang kafir.
Hakekat
dari Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, dan taat
terhadap perintahnya-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan
dan orang musyrik. Dan ini adalah konsekuensi dari laailaaha illallah. Tidak
mungkin seseorang menetapkan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang haq, namun
secara bersamaan itu mengakui dan berlapang dada terhadap ajaran yang
menyatakan ada sesembahan tandingan selain Allah. Tidak mungkin ada orang yang
beriman kepada Allah dan mentauhidkan Allah, namun tidak membenci kekafiran dan
tidak membenci ajaran kekafiran dan kemusyrikan. Allah Ta’ala berfirman
(artinya) : “Tidak akan kamu dapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
mereka berkasih-sayang kepada orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya” (QS. Al-Mujadalah:
22).
Jika
ada yang berkata: “Masalah keyakinan saja koq dibesar-besarkan?” atau
semisalnya. Justru bagi seorang muslim, masalah aqidah atau keyakinan adalah
masalah terbesar dalam hidupnya. Perkara yang berkaitan dengan hubungan seorang
insan dengan Rabb-nya. Perkara yang merupakan tujuan hidup. Perkara yang menentukan
nasibnya kelak di hari kiamat nanti, yang menentukan kelak ia merasakan adzab
abadi ataukah nikmat abadi.
Oleh
karena itu, Nabi shallallahu’alaihi wasallam mengajarkan kita doa: “Ya Allah
baguskanlah agama kami, yang merupakan perisai urusan kami” (HR. Muslim).
Karena urusan agama dan keyakinan ini lah yang menjadi perisai kita dari api
neraka kelak.
2).
Tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Auliya
dalam bentuk jamak dari wali, yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan
pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).
Dalam
Al Qur’an, banyak sekali ayat yang melarang kita menjadikan orang kafir sebagai
auliya. Diantaranya Allah Ta’ala berfirman (artinya): “Janganlah orang-orang
mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28).
Maka
anjuran berbuat baik dan ihsan kepada tetangga kafir atau orang kafir secara
umum, hanya sebatas perbuatan baik yang wajar, tidak boleh sampai menjadikan
mereka orang yang dekat di hati, sahabat, orang kepercayaan atau yang dicenderungi
untuk diberikan kasih sayang, apalagi menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Wallahul
musta’an.
3).
Tidak boleh menyerupai orang kafir.
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Orang yang menyerupai suatu kaum, maka
ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, hasan).
Yang
terlarang di sini adalah menyerupai mereka dalam hal-hal yang menjadi kekhususan
mereka, baik dalam ibadah, cara berpakaian, kebiasaan, adat dan perkara
lainnya. Karena ini menunjukkan tidak adanya bara’ah (kebencian) terhadap ajaran
kufur dan orangnya. Selain itu meniru mereka dalam perkara zhahir akan menyeret
kita untuk meniru mereka dalam perkara batin, yaitu aqidah. Termasuk juga dalam
hal ini, tidak boleh memakai atribut-atribut agama lain.
Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat Adi bin Hatim
radhiallahu’anhu yang mengenakan kalung salib, beliau mengatakan, “Wahai ‘Adi
buang berhala yang ada di lehermu” (HR. Tirmidzi, hasan).
Juga,
termasuk dalam hal ini, tidak boleh ikut merayakan perayaan orang kafir. Khalifah
Umar bin Khathab radhiallahu’anhu pernah mengatakan, “Janganlah kalian memasuki
peribadatan non muslim di gereja-gereja mereka di hari raya mereka. Karena saat
itu sedang turun murka Allah” (HR. Abdurrazaq).
4).
Muslim dan kafir bukan saudara dan tidak saling mewarisi.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ketika ditanya mengenai sebutan “wahai
saudaraku” kepada non-muslim, beliau mengatakan: “Perkataan “wahai saudaraku”
kepada non-muslim hukumnya haram. Tidak diperbolehkan kecuali jika ia memang
saudara kandung atau saudara sepersusuan. Karena jika persaudaraan nasab atau persaudaraan
persusuan dinafikan maka tidak ada persaudaraan yang tersisa kecuali
persaudaraan karena agama. Seorang kafir bukanlah saudara bagi seorang muslim
dalam agamanya. Ingatlah perkataan Nabiyullah Nuh dalam Al-Qur’an (artinya) :“Ya
Rabb, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah
yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya“ Allah berfirman :
“”Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu”” (QS. Hud: 45-46)”
(Majmu’ Fatawa war Rasail).
Dan
seorang muslim tidak mendapatkan bagian waris dari keluarganya yang meninggal
dalam keadaan kafir, serta sebaliknya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Seorang muslim tidak memberikan warisan kepada orang kafir dan orang
kafir tidak memberikan warisan kepada muslim” (Muttafaqun ‘alaih).
Dan
beberapa batasan lagi yang tidak bisa kami bahas semuanya dalam kesempatan ini.
Dan tentu dari semua bahasan ini, yang tidak kalah penting adalah kita berharap
dan mengusahakan orang kafir mendapatkan hidayah.
Syaikh
Abdul Aziz bin Baz berkata: “Yang disyariatkan kepada kita terhadap orang kafir,
pertama, adalah dakwah ilallah ‘Azza wa Jalla. Yaitu mengajaknya kepada agama
Allah dan menjelaskan hakekat Islam, sebisa mungkin dan sebatas ilmu yang kita miliki.
Karena ini adalah perbuatan baik yang paling baik terhadap mereka.
Inilah
yang hendaknya diserukan seorang muslim di tempat-tempat orang kafir dan
ditempat orang Yahudi dan Nasrani serta orang Musyrik lainnya berkumpul. Berdasarkan
sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam: ‘Barangsiapa yang menunjukkan kepada hidayah
maka ia mendapat pahala semisal pelakunya’ (HR. Muslim)” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu
Baz).
Akhir
kata, Islam telah mengajarkan toleransi yang indah terhadap orang kafir, namun
tentu toleransi itu ada batasannya. Kaum mukminin adalah kaum yang pertengahan,
tidak berlebihan namun juga tidak meremehkan. Demikian semoga bermanfaat.
Wallahu
waliyyut taufiq.
Penulis:
Yulian Purnama, S.Kom.
Buletin At-Tauhid edisi 50 Tahun X
Tidak ada komentar:
Posting Komentar