Heboh... Ratusan Pendeta 'Menghancurkan' Gereja !!


HOUSTONGereja-gereja di Amerika 'dihancurkan', diguncang penyangkalan iman. Lebih dari 200 pemimpin gereja di seluruh negeri di Amerika Serikat menyatakan sudah tidak percaya kepada Tuhan, membuang iman Kristiani dan tak mau lagi membaca Alkitab (Bibel). Sebagian dari mereka mengumumkan kepada publik, tapi sebagian memilih untuk merahasiakannya agar bisa melayani gereja, meskipun mereka tidak lagi percaya dengan apa yang mereka khotbahkan.

Mike Aus, pendeta di wilayah Houston, menjadi pendeta yang pertama kali mengumumkan keputusannya ke publik.

Pendeta di Gereja Theophilus di Katy itu mengumumkan keputusannya untuk menjadi ateis dalam suatu acara televisi Minggu pagi di MSNBC.


"Hardly anyone reads the Bible. If they did, the whole thing would be in trouble," ujar Pendeta Aus dalam acara 'Up with Chris Hayes,' salah satu program MNSBC. (Hampir tidak ada orang yang membaca Alkitab. Jika mereka membacanya, maka semuanya akan berada dalam masalah).

Jemaat-jemaat di Gereja Theophilus sendiri, kepada Local 2, mengaku tidak tahu apa-apa tentang perubahan kepercayaan Mike Aus sampai ia mengumumkannya sendiri melalui siaran televisi itu.

"Apakah Anda akan berkhotbah Minggu depan?" tanya Chris Hayes, pemandu acara tersebut. "Saya akan kembali minggu depan dan bertemu dengan atasan saya untuk membicarakan bagaimana selanjutnya. Kita lihat saja nanti," tukas Aus.

Aus adalah seorang pendeta Lutheran yang telah berkhotbah di gereja selama hampir 20 tahun. Sekarang, ia justru mengatakan tidak lagi percaya kepada pesan-pesan yang telah dikhotbahkannya. Ia pun telah menolak permintaan wawancara dari Local 2. Menurutnya, ia telah kehilangan imannya.

"Ketika saya mulai membuang iman saya, saya pun menyadari belakangan ini bahwa tidak banyak yang harus saya tinggalkan," tegas Aus.

Dampak pernyataan Aus sangat dirasakan oleh gerejanya yang beranggotakan sekitar 80 orang. Sepekan setelah pengumumannya, gerejanya pun dibubarkan. Jemaatnya tidak mau berbicara lagi dengan Local 2, tetapi mereka mengatakan bahwa pendeta mereka telah menghancurkan mereka.

"Ketika seorang pendeta muncul dan berkata, 'Saya tidak lagi beriman,' maka itu akan mengguncangkan dunia mereka. Jemaat melihat pendeta sebagai superhero spiritual," kata Dr Keith Jenkins, seorang pendeta Methodist, mantan presiden Houston Graduate School of Theology.

Menurut Jenkins, banyak pemimpin gereja yang bertanya-tanya dan kemudian kehilangan iman mereka, tapi belum pernah ada sebelumnya yang kemudian menjadi fenomena umum.

Para pendeta, pelayan dan pemimpin gereja yang tidak lagi percaya Tuhan itu telah membentuk kelompok pertemuan rahasia melalui situs clergyproject. Menurut mereka, jumlah anggota yang ada sekarang telah mencapai 240 orang. Beberapa di antaranya, seperti Aus, telah terang-terangan mempublikasikan keputusan mereka. Sementara, pada umumnya memilih untuk merahasiakannya.

Mereka yang memilih untuk merahasiakan keputusan mereka, tetap aktif melayani di gereja-gereja dan lembaga-lembaga pelayanan, meskipun mereka tidak lagi percaya dengan apa yang mereka khotbahkan.

"Saya yakin, ada banyak pendeta yang aktif melayani di gereja-gereja, tetapi sedang mengalami krisis iman dan bahkan kehilangan iman mereka, tetapi mereka belum keluar karena memikirkan kehidupan mereka," kata Jenkins.

"Mereka harus segera mengambil keputusan. Mereka tidak perlu tetap bertahan dalam gereja kemudian menggunakan posisi mereka sebagai pendeta dan mencoba mempengaruhi yang lain." [hcr: voa-islam]

Merasakan Lezatnya Iman


Di dunia ini tidak ada yang lebih lezat, selain keimanan yang terpatri kokoh dalam hati. Lezatnya iman teramat sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata, kalaupun bisa, kita sebagai pendengar tidak bisa merasakan persis seperti yang ia rasakan. Tetapi jangan khawatir, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk supaya kita semua dapat merasakan lezatnya iman. 

Berikut ini adalah artikel penting dari ustadz Abu Mushlih, yang secara rinci menjelaskan langkah-langkah agar kita dapat merasakan lezatnya iman, sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari al-’Abbas bin Abdul Muthallib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan lezatnya iman, orang yang ridha; Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan Muhammad sebagai rasul.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [34]).

Ridha adalah merasa puas dan cukup dengan sesuatu serta tidak mencari lagi sesuatu yang lain bersamanya. Makna hadits ini adalah; orang tersebut tidak mencari dan berharap kecuali kepada Allah ta’ala semata, tidak mau berusaha kecuali di atas jalan Islam, dan tidak mau menempuh suatu jalan kecuali apabila sesuai dengan syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang yang telah merasa ridha dengan sesuatu maka sesuatu itu akan terasa mudah baginya. Demikian pula seorang mukmin apabila iman telah meresap ke dalam hatinya maka akan terasa mudah segala ketaatan kepada Allah dan dia akan merasakan nikmat dengannya (lihat Syarh Muslim [2/86] cet. Dar Ibnu al-Haitsam).

Hadits di atas menunjukkan bahwa orang yang bisa merasakan kelezatan iman adalah yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Ridha Allah sebagai Rabb
  2. Ridha Islam sebagai agama
  3. Ridha Muhammad sebagai rasul

Ciri Pertama:
Ridha Allah Sebagai Rabb

[1] Kandungan Makna Rabb

Imam ar-Raghib al-Ashfahani rahimahullah berkata, “Akar kata dari Rabb adalah tarbiyah; yaitu menumbuhkan sesuatu dari satu keadaan kepada keadaan berikutnya secara bertahap hingga mencapai kesempurnaan.” (lihat al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/245]).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Rabb artinya adalah yang mentarbiyah seluruh alam; dan alam itu adalah segala sesuatu selain Allah. Tarbiyah itu berupa penciptaan mereka, pemberian berbagai sarana yang Allah sediakan untuk mereka, pemberian nikmat kepada mereka dengan kenikmatan yang sangat agung; yang seandainya mereka tidak mendapatkannya niscaya mereka tidak mungkin bertahan hidup di alam dunia. Nikmat apapun yang ada pada diri mereka adalah bersumber dari Allah ta’ala.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, sebagaimana tercantum dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34]).

Syaikh Prof. Dr. Ibrahim ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Rabb menurut bahasa digunakan untuk tiga makna; sayyid/tuan yang dipatuhi, maalik/pemilik atau penguasa, atau sosok yang melakukan ishlah/perbaikan untuk selainnya.” (lihat transkrip ceramah Syarh Tsalatsat al-Ushul milik beliau).

[2] Tarbiyah Umum dan Tarbiyah Khusus

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Tarbiyah Allah ta’ala kepada makhluk-Nya ada dua macam: umum dan khusus. Tarbiyah yang bersifat umum adalah berupa penciptaan seluruh makhluk, pemberian rizki dan petunjuk kepada mereka menuju kemaslahatan hidup mereka untuk bisa bertahan hidup di alam dunia. Adapun tarbiyah yang bersifat khusus adalah tarbiyah yang Allah berikan kepada para wali-Nya. Allah mentarbiyah mereka dengan keimanan, memberikan taufik kepada mereka untuk itu dan menyempurnakan iman mereka. Allah singkirkan berbagai rintangan dan penghalang yang membatasi antara mereka dengan diri-Nya. Hakikat tarbiyah khusus ini adalah pemberian taufik untuk menggapai segala kebaikan dan penjagaan dari segala keburukan. Barangkali inilah rahasia mengapa kebanyakan doa para nabi itu menggunakan kata Rabb, sebab semua cita-cita dan keinginan mereka berada di bawah kendali rububiyah Allah yang khusus ini. Maka firman-Nya ‘Rabbul ‘alamin’ menunjukkan atas keesaan Allah dalam hal mencipta, mengatur, pemberian nikmat, dan kekayaan-Nya yang maha sempurna. Hal itu sekaligus menggambarkan betapa besarnya kebutuhan seluruh alam ini kepada-Nya, dari segala sisi dan pertimbangan.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [1/34], lihat juga Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 12).

[3] Tauhid Rububiyah

Tauhid rububiyah adalah seorang hamba meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Yang Maha Mencipta, Yang Maha Memberikan Rizki, Yang Mengatur segala urusan, yang  memelihara dan menjaga seluruh makhluk dengan segala bentuk nikmat dan Allah pula yang memelihara dan menjaga makhluk-makhluk pilihan-Nya yaitu para nabi dan pengikut mereka dengan bimbingan akidah yang benar, akhlak yang mulia, ilmu-ilmu yang bermanfaat, maupun amal salih. Inilah bentuk tarbiyah (pemeliharaan dan penjagaan) yang bermanfaat bagi hati dan ruh, yang akan membuahkan kebahagiaan di dunia dan di akherat (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal.13).

Allah adalah Rabb alam semesta. Artinya, Allah adalah pencipta dan penguasa alam semesta. Dialah yang melakukan ishlah/perbaikan dan tarbiyah/pemeliharaan dan pembinaan kepada mereka dengan nikmat-nikmat-Nya. Diantara kenikmatan itu -bahkan yang paling agung- adalah diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Kemudian Allah pula yang akan memberikan balasan kepada hamba atas amal-amal mereka. Konsekuensi rububiyah Allah adalah berupa perintah dan larangan kepada hamba, balasan atas kebaikan mereka, dan hukuman atas kejahatan mereka. Inilah hakikat rububiyah (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 26).

Secara ringkas, tauhid rububiyah bisa didefinisikan dengan mengesakan Allah dalam hal penciptaan, kekuasaan, dan pengaturan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah ada pencipta selain Allah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi?” (QS. Fathir: 3). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan milik Allah lah kekuasaan atas langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran: 189). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, siapakah yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan. Niscaya mereka akan menjawab, Allah. Maka katakanlah, Lalu mengapa kalian tidak bertakwa.” (QS. Yunus: 31) (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/5-6] cet. Maktabah al-’Ilmu, lihat juga Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah hal. 34).

Apabila diringkas lagi, bisa disimpulkan bahwa tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 17 karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Qor’awi, lihat juga Qathfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 56 karya Syaikh al-Muhaddits Abdul Muhsin al-’Abbad al-Badr, dan at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 6 karya Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahumullahu).

[4] Orang Musyrik Pun Mengakui Tauhid Rububiyah

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Para rasul mereka pun mengatakan, “Apakah ada keraguan terhadap Allah; padahal Dia lah yang menciptakan langit dan bumi.”.” (QS. Ibrahim: 10). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh, jika engkau (Muhammad) tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Tentu mereka akan menjawab, ‘Yang menciptakannya adalah Dzat Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui’.” (QS. az-Zukhruf: 9).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan diri mereka, niscaya mereka menjawab: Allah. Lalu dari mana mereka bisa dipalingkan (dari menyembah Allah).” (QS. az-Zukhruf: 87). Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya orang-orang musyrik arab dahulu telah mengakui tauhid rububiyah. Mereka pun mengakui bahwa pencipta langit dan bumi ini hanya satu.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 81, lihat juga Fath al-Majid, hal. 16, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/201] [7/167]).

[5] Konsekuensi Mengimani Allah Sebagai Rabb

Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan, “Sebagaimana pula wajib diketahui bahwa pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja tidaklah mencukupi dan tidak bermanfaat kecuali apabila disertai pengakuan terhadap tauhid uluhiyah (mengesakan Allah dalam beribadah) dan benar-benar merealisasikannya dengan ucapan, amalan, dan keyakinan…” (lihat Syarh Kasyf asy-Syubuhat, hal. 24-25).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah kebanyakan mereka beriman kepada Allah, melainkan mereka juga terjerumus dalam kemusyrikan.” (QS. Yusuf: 107). Ikrimah berkata, “Tidaklah kebanyakan mereka -orang-orang musyrik- beriman kepada Allah kecuali dalam keadaan berbuat syirik. Apabila kamu tanyakan kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan bumi? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Itulah keimanan mereka, namun di saat yang sama mereka juga beribadah kepada selain-Nya.” (lihat Fath al-Bari [13/556]).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Kemudian, sesungguhnya keimanan seorang hamba kepada Allah sebagai Rabb memiliki konsekuensi mengikhlaskan ibadah kepada-Nya serta kesempurnaan perendahan diri di hadapan-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Aku adalah Rabb kalian, maka sembahlah Aku.” (QS. al-Anbiya’: 92). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia, sembahlah Rabb kalian.” (QS. al-Baqarah: 21). Keberadaan Allah sebagai Rabb seluruh alam memiliki konsekuensi bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka dalam keadaan sia-sia atau dibiarkan begitu saja tanpa ada perintah dan larangan untuk mereka. Akan tetapi Allah menciptakan mereka untuk mematuhi-Nya dan Allah mengadakan mereka supaya beribadah kepada-Nya. Maka orang yang berbahagia diantara mereka adalah yang taat dan beribadah kepada-Nya. Adapun orang yang celaka adalah yang durhaka kepada-Nya dan lebih memperturutkan kemauan hawa nafsunya. Barangsiapa yang beriman terhadap rububiyah Allah dan ridha Allah sebagai Rabb maka dia akan ridha terhadap perintah-Nya, ridha terhadap larangan-Nya, ridha terhadap apa yang dibagikan kepadanya, ridha terhadap takdir yang menimpanya, ridha terhadap pemberian Allah kepadanya, dan tetap ridha kepada-Nya tatkala Allah tidak memberikan kepadanya apa yang dia inginkan.” (lihat Fiqh al-Asma’ al-Husna, hal. 97).

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya.” (lihat al-Fawa’id, hal. 89).

[6] Makna ‘Ridha Allah Sebagai Rabb’ 

Dari keterangan-keterangan para ulama di atas, dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan ridha Allah sebagai Rabb mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Meyakini bahwa seluruh kenikmatan -jasmani maupun ruhani- adalah bersumber dari Allah
  2. Meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam dunia ini adalah ciptaan dari-Nya
  3. Meyakini bahwa segala kejadian yang ada di alam dunia ini adalah terjadi dengan kehendak-Nya. Allah lah yang mengatur segalanya dan Allah yang paling mengetahui tentangnya.
  4. Meyakini bahwa Allah adalah penguasa tunggal alam semesta, Dia lah yang berhak memerintah dan melarang atas hamba-hamba-Nya, dan Dia lah yang akan memberikan balasan dan hukuman atas amal perbuatan mereka
  5. Meyakini bahwa Allah telah menurunkan kitab-kitab dan mengutus para rasul yang menjadi pembimbing umat manusia untuk menggapai kebahagiaan hidup yang sejati
  6. Meyakini bahwa Allah semata yang berhak untuk diibadahi, yang menjadi tumpuan harapan, dan tempat bergantungnya hati. Tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu semua
  7. Memurnikan segala macam bentuk ibadah kepada-Nya serta meninggalkan dan mengingkari segala bentuk peribadatan kepada selain-Nya
  8. Menaati perintah dan larangan-Nya serta mengimani pahala dan siksa yang diberikan-Nya
  9. Merasa ridha dengan takdir dan musibah yang ditetapkan oleh-Nya

Ciri Kedua:
Ridha Islam Sebagai Agama

[1] Kandungan Makna Islam

Secara bahasa islam artinya adalah menyerahkan diri. Adapun menurut syari’at, islam adalah sikap pasrah kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk kepada-Nya dengan melaksanakan ketaatan, dan berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali, hal. 62).

Dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah –dalam riwayat lain syahadat diungkapkan dengan kata-kata: mentauhidkan Allah, dalam riwayat lain lagi disebutkan: beribadah kepada Allah dan mengingkari sesembahan selain-Nya–, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berhaji, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [8] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [16]).

[2] Pokok Ajaran Islam

Islam ditegakkan di atas dua prinsip pokok. Pertama; beribadah kepada Allah semata. Kedua; beribadah kepada Allah hanya dengan syari’at-Nya. Kedua hal ini telah tercakup di dalam dua kalimat syahadat yang kita ucapkan: asyhadu an laa ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah. “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.” 

Kalimat laa ilaha illallah bermakna tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Maka seluruh sesembahan yang diibadahi oleh manusia selain Allah adalah sesembahan yang batil. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikian itulah, karena sesungguhnya Allah itu adalah -sesembahan- yang benar. Adapun segala yang mereka seru/sembah selain-Nya adalah batil.” (QS. al-Hajj: 62). Adapun kalimat Muhammadur rasulullah bermakna tidak ada orang yang menjadi pedoman dalam hal syari’at selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang menaati rasul itu maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80).

Oleh karena itu amalan yang diterima di sisi Allah adalah yang memenuhi dua syarat: ikhlas (tidak syirik) dan ittiba’/mengikuti tuntunan (bukan bid’ah). Kedua hal inilah yang dimaksud oleh firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

[3] Pondasi Ajaran Islam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah ucapan laa ilaha illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan rasa malu adalah salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [9] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [35], lafal ini milik Muslim). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa yang paling utama di antara semua cabang itu adalah tauhid; yang hukumnya wajib atas setiap orang, dan tidaklah dianggap sah cabang-cabang iman yang lain kecuali setelah sahnya hal ini.” (lihat Syarh Muslim [2/88] cet. Dar Ibnul Haitsam).

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Tauhid ini memiliki kedudukan penting laksana pondasi bagi suatu bangunan.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Manakah yang lebih baik; orang yang menegakkan bangunannya di atas pondasi ketakwaan kepada Allah dan keridhaan-Nya, ataukah orang yang menegakkan bangunannya di atas tepi jurang yang akan runtuh dan ia pun akan runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (QS. at-Taubah: 109).

Syaikh Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata, “Hal itu dikarenakan ayat ini turun berkenaan dengan kaum munafikin yang membangun masjid untuk sholat padanya. Akan tetapi tatkala mereka tidak membarengi amalan yang agung dan utama ini -yaitu membangun masjid- dengan keikhlasan yang tertanam di dalam hatinya, maka amalan itu sama sekali tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan, justru amalan itu yang akan menjerumuskan mereka jatuh ke dalam Jahannam, sebagaimana ditegaskan di dalam ayat tersebut.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 13).

[4] Agama Para Nabi

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif/bertauhid dan seorang muslim, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “… Maka ikutilah millah Ibrahim yang lurus, dan tidaklah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 95). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian Kami wahyukan kepadamu; hendaklah kamu mengikuti millah Ibrahim yang lurus itu, dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. an-Nahl: 123). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama/millah Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.’.” (QS. al-An’am: 161).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah saja…” (QS. al-Mumtahanah: 4).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah Kami mengutus seorang pun rasul sebelum engkau -wahai Muhammad- melainkan Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiyaa’: 25).

[5] Islam Telah Sempurna

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, Aku telah cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama bagi kalian.” (QS. al-Ma’idah: 3). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah nikmat terbesar dari Allah ta’ala untuk umat ini. Dimana Allah ta’ala telah menyempurnakan untuk mereka agama mereka sehingga mereka tidak membutuhkan lagi agama selainnya, dan juga tidak butuh nabi selain nabi mereka -semoga salawat dan keselamatan terus terlimpah kepada beliau-. Oleh sebab itulah Allah ta’ala menjadikan beliau sebagai penutup nabi-nabi dan diutus kepada segenap jin dan manusia…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [3/20]).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan kelak di akherat dia akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Ali Imran: 85). Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Artinya, siapa pun yang beragama kepada Allah dengan selain agama Islam padahal Islam itu jelas-jelas telah diridhai oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya, maka amalannya pasti tertolak dan tidak akan diterima. Agama Islam itulah ajaran yang mengandung sikap kepasrahan/istislam kepada Allah dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada rasul-rasul-Nya. Oleh sebab itu, selama seorang hamba tidak memeluk agama ini maka dia belum memiliki sebab keselamatan dari azab Allah dan tidak memiliki sebab untuk meraih kejayaan berupa limpahan pahala dari-Nya. Dan semua agama selainnya adalah batil.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 137).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19). Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Ini adalah berita dari Allah ta’ala bahwa tidak ada agama yang diterima di sisi-Nya dari siapa pun selain agama Islam. Hakikat  Islam adalah mengikuti para rasul dengan menjalankan ajaran yang diturunkan Allah kepada mereka di setiap masa sampai akhirnya mereka -para rasul- ditutup dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menutup semua jalan menuju-Nya kecuali jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang bertemu dengan Allah setelah diutusnya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan memeluk agama selain yang disyari’atkan oleh beliau maka tidak diterima…” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/19] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberikan al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum yang ummi/buta huruf (yaitu orang-orang musyrik); ”Maukah kalian masuk Islam?”. Apabila mereka masuk Islam, sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk. Namun apabila mereka justru berpaling, maka sesungguhnya kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Allah Maha melihat semua hamba.” (QS. Ali Imran: 20). Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini dan juga ayat-ayat lain yang serupa merupakan penunjukan yang sangat tegas mengenai keumuman pengutusan beliau -semoga salawat dan keselamatan tercurah kepadanya- kepada semua manusia sebagaimana hal itu telah diketahui sebagai bagian dari agama secara pasti, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil al-Kitab maupun as-Sunnah dalam banyak ayat dan hadits.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [2/20]).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Muhammad itu adalah bapak dari salah seorang lelaki di antara kalian, akan tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup nabi-nabi.” (QS. al-Ahzab: 40). Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Tidaklah seorang pun yang mendengar kenabianku dari kalangan umat ini, entah dia Yahudi atau Nasrani, lalu dia tidak mau beriman terhadap ajaran yang aku bawa melainkan kelak dia pasti termasuk penduduk neraka.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [153]). Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat kandungan hukum bahwasanya semua agama telah dihapuskan pemberlakuannya dengan adanya risalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat Syarh Muslim [2/245]).

[6] Makna ‘Ridha Islam Sebagai Agama’

Dari keterangan-keterangan di atas kita dapat menyimpulkan bersama bahwa yang dimaksud dengan ridha Islam sebagai agama itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
  1. Beribadah hanya kepada Allah dan mengingkari segala bentuk peribadahan kepada selain Allah
  2. Meyakini bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah
  3. Meyakini wajibnya rukun Islam, yaitu: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji
  4. Meyakini bahwa ibadah tidak akan diterima apabila tidak ikhlas atau tidak mengikuti tuntunan
  5. Meyakini tauhid sebagai pondasi agama Islam yang tidak akan sah amal apapun tanpanya
  6. Meyakini bahwa agama para nabi adalah satu -yaitu islam- meskipun syari’atnya berlainan
  7. Meyakini bahwa asas agama para nabi adalah tauhid
  8. Meyakini bahwa seluruh agama yang ada telah dihapuskan dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
  9. Meyakini kesempurnaan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ia tidak memerlukan penambahan atau koreksi

Ciri Ketiga:
Ridha Muhammad Sebagai Rasul

[1] Anugerah Risalah

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Allah Yang Maha Suci telah memberikan karunia dua perkara agung kepada keturunan Adam. Kedua hal itu merupakan pokok kebahagiaan. Pertama; Setiap bayi yang terlahir berada di atas fitrah (tauhid). Setiap jiwa apabila dibiarkan begitu saja niscaya ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah ilah/sesembahan baginya. Ia akan mencintai-Nya dan akan menyembah-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi karena adanya bisikan setan dari kalangan jin dan manusia satu sama lain itulah yang menyebabkan kebatilan di mata mereka seolah menjadi sesuatu yang tampak indah dan menawan. Kedua; Allah ta’ala telah memberikan petunjuk kepada umat manusia dengan bimbingan yang bersifat umum. Sehingga di dalam diri mereka secara fitrah telah terpatri pengenalan -kepada kebenaran- dan sebab-sebab guna meraih ilmu. Setelah itu, Allah pun menurunkan kitab-kitab suci dan mengutus para rasul sebagai pembimbing bagi mereka.” (lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 35).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Allah telah memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman, ketika Allah mengutus di tengah-tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, yang mensucikan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah), sementara sebelumnya mereka berada di dalam kesesatan yang amat nyata.” (QS. Ali Imran: 164).

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’alim Ushul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muhammad bin Husain al-Jizani).

[2] Sumber Kehidupan Hakiki

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul, ketika menyeru kalian untuk sesuatu yang akan menghidupkan kalian. Ketahuilah, sesungguhnya Allah yang menghalangi antara seseorang dengan hatinya. Dan sesungguhnya kalian akan dikumpulkan untuk bertemu dengan-Nya.” (QS. al-Anfal: 24).

Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya kehidupan yang membawa manfaat hanya bisa digapai dengan merespon seruan Allah dan rasul-Nya. Barang siapa yang tidak merespon seruan tersebut maka tidak ada kehidupan sejati padanya. Meskipun dia memiliki kehidupan ala binatang yang tidak ada bedanya antara dirinya dengan hewan yang paling rendah sekalipun. Oleh sebab itu kehidupan yang hakiki dan baik adalah kehidupan orang yang memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya secara lahir dan batin. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar hidup, walaupun tubuh mereka telah mati. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang telah mati, meskipun badan mereka hidup. Oleh karena itu orang yang paling sempurna kehidupannya adalah yang paling sempurna di antara mereka dalam memenuhi seruan dakwah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya di dalam setiap ajaran yang beliau dakwahkan terkandung unsur kehidupan sejati. Barang siapa yang kehilangan sebagian darinya maka dia kehilangan sebagian unsur kehidupan, bisa jadi di dalam dirinya masih terdapat kehidupan sekadar dengan responnya terhadap ajakan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (lihat al-Fawa’id, hal. 85-86 cet. Dar al-’Aqidah).

[3] Kasih Sayang Rasul Kepada Umatnya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian. Terasa berat baginya apa yang menyusahkan kalian. Dia sangat bersemangat memberikan kebaikan kepada kalian. Dan terhadap orang-orang yang beriman dia sangat lembut dan penyayang.” (QS. at-Taubah: 128).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Nabi memiliki sebuah doa yang mustajab, maka semua Nabi bersegera mengajukan doanya itu. Adapun aku menunda doaku itu sebagai syafa’at bagi umatku kelak di hari kiamat. Doa -syafa’at- itu -dengan kehendak Allah- akan diperoleh setiap orang di antara umatku yang meninggal dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [199]).

Dari Urwah, suatu ketika ‘Aisyah radhiyallahu’anha -istri Nabi- menceritakan kepadanya, bahwa dia pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Pernahkah anda menemui suatu hari yang lebih berat daripada hari Uhud?”. Beliau menjawab, “Aku telah mendapatkan tanggapan dari kaummu sebagaimana apa yang aku temui. Tanggapan paling berat yang pernah aku dapatkan adalah pada hari ‘Aqabah, ketika itu aku tawarkan diriku kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kulal, akan tetapi dia tidak menerima tawaranku sebagaimana yang aku kehendaki. Aku pun kembali dengan perasaan sedih mewarnai wajahku. Tanpa terasa tiba-tiba aku sudah berada di Qarn Tsa’alib. Aku angkat kepalaku ke atas, ternyata ada awan yang sedang menaungi diriku. Aku pun memperhatikan, ternyata di sana ada Jibril, lalu dia pun memanggilku. Dia berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu terhadapmu dan penolakan yang mereka lakukan terhadapmu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung, agar kamu perintahkan kepadanya apa yang ingin kau timpakan kepada mereka.’ Maka malaikat penjaga gunung itu pun menyeruku dan mengucapkan salam kepadaku, lalu dia berkata, ‘Wahai Muhammad’. Dia berkata, ‘Apabila kamu menginginkan hal itu, niscaya akan aku timpakan kepada mereka dua bukit besar itu.’.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam justru menjawab, “Tidak, sesungguhnya aku berharap mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari tulang sulbi keturunan mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Khalq [3231]).

Dari Abdullah bin Amr bin al-’Ash radhiyallahu’anhuma, beliau menceritakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah ‘azza wa jalla mengenai Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah banyak menyesatkan manusia, barangsiapa yang mengikutiku maka sesungguhnya dia adalah termasuk golonganku.” (QS. Ibrahim: 36). ‘Isa ‘alaihis salam juga berkata (yang artinya), “Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba-Mu, dan apabila Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Ma’idah: 118). Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, umatku, umatku.” Dan beliau pun menangis. Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad -sedangkan Rabbmu tentu lebih mengetahui- lalu tanyakan kepadanya, apa yang membuatmu menangis?”. Maka Jibril ‘alaihis sholatu was salam menemui beliau dan bertanya kepadanya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan kepadanya tentang apa yang telah diucapkannya -dan Dia (Allah) tentu lebih mengetahuinya-. Kemudian Allah berfirman, “Wahai Jibril, pergi dan temuilah Muhammad, dan katakan kepadanya, ‘Sesungguhnya Kami pasti akan membuatmu ridha berkenaan dengan nasib umatmu, dan Kami tidak akan membuatmu bersedih.’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Iman [202]).

Sa’id bin al-Musayyab meriwayatkan dari ayahnya, beliau menceritakan: Ketika kematian hendak menghampiri Abu Thalib, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang kepadanya. Di sana beliau mendapati Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah bin al-Mughirah telah berada di sisinya. Kemudian beliau berkata, “Wahai pamanku. Ucapkanlah laa ilaha illallah; sebuah kalimat yang aku akan bersaksi dengannya untuk membelamu kelak di sisi Allah.” Abu Jahal dan Abdullah bin Umayyah berkata, “Wahai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthallib?”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus menawarkan syahadat kepadanya, sedangkan mereka berdua pun terus mengulangi ucapan itu. Sampai akhirnya ucapan terakhir Abu Thalib kepada mereka adalah dia tetap berada di atas agama Abdul Muthallib. Dia enggan mengucapkan laa ilaha illallah… (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jana’iz [1360] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [24]).

[4] Konsekuensi Iman Kepada Rasul

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Makna syahadat bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah yaitu mentaati segala perintahnya, membenarkan berita yang disampaikannya, menjauhi segala yang dilarang dan dicegah olehnya, dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan syari’atnya.” (lihat Hushul al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsat al-Ushul, hal. 116).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang rasul pun melainkan supaya ditaati dengan izin Allah.” (QS. an-Nisaa’: 64). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apa saja yang dibawa oleh rasul kepada kalian maka ambillah, dan apa saja yang dilarang olehnya kepada kalian maka tinggalkanlah.” (QS. al-Hasyr: 7).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya, tidaklah hal itu melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS. an-Najm: 3-4). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ikutilah dia (rasul) mudah-mudahan kalian mendapatkan petunjuk.” (QS. al-A’raaf: 158). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apabila mereka tidak mau memenuhi seruanmu (Muhammad), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka itu mengikuti hawa nafsunya. Dan siapakah orang yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (QS. al-Qashash: 50).

Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Hendaknya merasa takut orang-orang yang menyelisihi urusan rasul itu, karena mereka akan tertimpa fitnah atau merasakan siksaan yang sangat pedih.” (QS. an-Nur: 63). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidak pantas bagi seorang beriman lelaki ataupun perempuan apabila Allah dan rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara kemudian ternyata masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam menyelesaikan urusan mereka.” (QS. al-Ahzab: 36). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian, apabila kalian berselisih tentang perkara apa saja maka kembalikanlah kepada Allah dan rasul, apabila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang taat kepada rasul, sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (QS. an-Nisaa’: 80). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka demi Rabbmu, mereka sama sekali tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim/pemutus perkara dalam apa yang mereka perselisihkan di antara mereka, kemudian mereka tidak lagi mendapati rasa sempit di dalam diri mereka atas apa yang kamu putuskan dan mereka pun pasrah secara sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’: 65).

[5] Makna ‘Ridha Muhammad Sebagai Rasul’

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ridha Muhammad sebagai rasul adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Meyakini bahwa diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan anugerah dan karunia terbesar bagi umat manusia
  2. Meyakini bahwa kebutuhan umat manusia terhadap bimbingan rasul (risalah) adalah di atas segala kebutuhan mereka
  3. Meyakini bahwa kehidupan yang sejati dan kebahagiaan yang hakiki hanya bisa digapai dengan  memenuhi seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
  4. Meyakini betapa besar kasih sayang Rasul kepada umatnya dan semangat beliau yang begitu besar dalam rangka memberikan hidayah kepada mereka
  5. Meyakini kebenaran berita yang disampaikan olehnya
  6. Meyakini wajibnya menaati perintahnya dan menjauhi larangannya, dan bahwasanya hal itu termasuk dalam ketaatan kepada Allah
  7. Meyakini bahwa ibadah kepada Allah -seikhlas apapun- tidak akan diterima oleh-Nya apabila tidak sesuai dengan syari’at dan ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
  8. Menerima segala ketetapan beliau dengan penuh kepasrahan
  9. Menjadikan sabda dan ketetapan beliau sebagai rujukan dalam menyelesaikan segala macam perselisihan serta menjunjung tinggi sabda-sabdanya di atas seluruh ucapan manusia.****

Semoga bermanfaat 
Syukran, jazaakallahu khairan katsiran untuk ustadz Abu Mushlih (author).

Wassalam 
Isha Merdeka

Pendeta Amerika Tewas Jadi Korban Kepalsuan Injil Markus


Seorang pendeta Kristen Karismatik asal Amerika, tewas mengenaskan karena mempraktekan ajaran Bibel tentang mukzijat iman. Ayat Bibel yang diyakini sebagai mukjizat iman adalah Injil Markus 16:17-18:

“And these signs shall follow them that believe… They shall take up serpents; and if they drink any deadly thing, it shall not hurt them” (King James Version)

Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya, ....mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka” (Alkitab Terjemahan Baru).

“Sebagai bukti bahwa mereka percaya, ....kalau mereka memegang ular atau minum racun, mereka tidak akan mendapat celaka” (Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari).

Menurut ayat Injil tersebut, Yesus Kristus menggaransi orang Kristen yang beriman, dengan kepastian memiliki beberapa bukti mukjizat, antara lain: tidak akan celaka bila memegang ular berbisa yang mematikan dan tidak akan celaka bila meminum racun yang mematikan.
Dengan kata lain: pembuktian kebenaran iman orang Kristen menurut ayat tersebut bisa dilakukan dengan testing memegang ular berbisa dan meminum racun. Bila orang Kristen tidak mengalami celaka sedikitpun, setelah memegang ular berbisa atau meminum racun, maka keimanan orang Kristen sudah benar sesuai standar ajaran Yesus. Dan sebaliknya, orang Kristen yang celaka setelah memegang ular berbisa atau meminum racun, maka keimanannya belum sesuai standar. Apalagi orang Kristen yang tidak berani menguji imannya dengan memegang ular berbisa atau meminum racun, mereka berarti meragukan mukjizat iman yang diajarkan Yesus dalam Injil Markus.

Bermodal Injil Markus 16:17-18 tersebut, Pendeta Mark Randall “Mack” Wolford bermaksud membuktikan mukjizat iman di hadapan ratusan jemaatnya. Secara demonstratif, pendeta berusia 44 tahun ini berkhotbah sambil memegang ular berbisa yang peliharanya selama bertahun-tahun.

Pendeta gereja House of the Lord Jesus di Matoaka, Virginia Barat, Amerika Serikat ini sangat yakin bahwa orang Kristen diperintahkan oleh Yesus dalam Alkitab untuk memegang ular berbisa tanpa takut mati.

Bak pawang ular, dalam kebaktian sore di Panther Wildlife Management Area, pada Minggu (27/5/2012) lalu, Wolford membawa ular berbisa saat memimpin kebaktian. Naasnya, ular berbisa itu tiba-tiba mengigit pahanya.

Menurut The Washington Post, kegiatan itu segera dihentikan dan Wolford dilarikan ke rumah sakit untuk dirawat akibat gigitan ular beracun itu. Namun nyawanya tak tertolong dan meninggal sekitar pukul 10 malam di Bluefield Regional Medical Center.
...Pendeta Wolford tak seharusnya mati mengenaskan demi membuktikan mukjizat iman. Karena Injil Markus 16:9-20 sudah diakui kepalsuannya secara konsensus oleh para ilmuwan Kristen sendiri...
Karena pendeta Kristen tidak bisa melakukan mukjizat ular beracun sebagaimana janji Injil, maka yang patut diragukan adalah otentisitas Bibel atau keimanan sang pendeta. Padahal sebagai pendeta fanatik yang beraliran Kristen karismatik, iman kristiani Wolford jelas tak bisa diragukan. Toh ia tewas ketika membuktikan mukjizat yang dijanjikan Injil Markus.

Pendeta Wolford tak seharusnya mati mengenaskan jadi korban gigitan ular beracun demi membuktikan mukjizat iman, bila ia mau berpikir ilmiah dan realistis. Karena Injil Markus 16:9-20 sudah diakui kepalsuannya secara konsensus oleh para ilmuwan Kristen sendiri.

Dalam The Five Gospels yang disusun oleh Robert W Funk, Roy W Hoover dan The Jesus Seminar, Injil Markus 16:9-20 sama sekali tidak dicantumkan.

New York International Bible Society dalam The Holy Bible New International Version, di bawah pasal 16 ayat 8 (hlm 780), meletakkan garis tegas yang memisahkan ayat 16:8 dengan ayat berikutnya (16:9-20). Di bawah garis tersebut terdapat peringatan yang berbunyi: “The two most reliable early manuscripts do not have Mark 16:9-20.” (Dua manuskrip yang paling tua (codex Sinaiticus dan codex Vaticanus) tidak memiliki Markus 16:9-20).

The Holy Bible New King James Version terbitan tahun 1994, pada halaman 993 menjelaskan: “Verses 9-20 are bracketed in NU-Text as not original. They are lacking in Codex Sinaiticus and Codex Vaticanus, although nearly all other manuscripts of Mark contain them.” (Ayat 9-20 di dalam tanda kurung pada teks NU adalah tidak asli. Ayat-ayat itu tidak terdapat dalam codex Sinaiticus dan codex Vaticanus, meskipun hampir semua manuskrip Markus yang lain memuatnya).

NU-Text adalah Alkitab gabungan dua versi Alkitab, yaitu: versi The Nestle Aland Greek New Testament dan The United Bible Societies edisi ke-3.

International Bible Society dalam The Holy Bible New International Version, halaman 1040 juga menegaskan kepalsuan penutup Injil Markus: “The earliest manuscript and some other ancient witnesses do not have Mark 16:9-20.” (Manuskrip yang paling tua dan beberapa naskah kuno tidak memiliki Injil Markus 16:9-20).

Gara-gara Injil yang sudah diakui kepalsuannya inilah Pendeta Wolford tewas digigit ular berbisa. Pendeta mana lagi yang berani membuktikan keaslian Injil dengan memegang ular berbisa dan meminum racun? [aah: voa-islam]

Masuk Surga Bukan Karena Amal?


سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ

"Tepatlah kalian, mendekatlah, dan bergembiralah, karena sesungguhnya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga." Para shahabat bertanya: "Termasuk juga anda wahai Rasulullah?" Beliau menjawab: "Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku."


Takhrij Hadits

Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
  1. Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal no. 6463, 6464, 6467.
  2. Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi 'amalihi no. 7289-7302.
  3. Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi 'alal-'amal no. 4201.
  4. Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits 'Aisyah no. 24985, 26386

Matan Hadits

Dalam riwayat al-Bukhari no. 6463, tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terkait hadits di atas ada enam, yaitu:

 لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا

"Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian." Mereka bertanya: "Tidak pula anda wahai Rasulullah SAW?" Beliau menjawab: "Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai."

Dalam riwayat al-Bukhari yang satunya lagi, no. 6464, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di akhir pesannya menyatakan:

سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ
وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.

Sementara itu, dalam riwayat Muslim no. 7299, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:

لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا          
إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ

Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.


Syarah Mufradat

Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan penuh keikhlasan.

Qaribu yang bermakna 'mendekatlah' maknanya ada dua; pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal. Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.

Ughdu artinya bepergian-lah di waktu pagi, ruhu artinya bepergian-lah di waktu sore, dan ad-duljah artinya bepergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai' (syai'minad-duljah; sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang bepergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan bepergian/perjalanan karena memang seorang 'abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang bepergian dan menempuh perjalanan menuju surga.

Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.

Taghammada diambil dari kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal).


Syarah Ijmali

Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:

"Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan". (QS. An-Nahl 16:32)

Dan diserukan kepada mereka: "Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS. Al-A'raf 7:43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf 43:72)

Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam' (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan Al-Qur'an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentang Al-Qur'an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.

Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, dengan rahmat Allah, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan tingkatan surganya ditentukan berdasarkan amal.

Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan surga itu tergantung rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal-amal kita.

Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf 'ba' pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal).

Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibn Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Syaikh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami'ur-Rasa'il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu shallallahu 'alaihi wassallam la yadkhulu ahadun al-jannah bi'amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnya. Hal pertama yang ditekankan oleh Ibn Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih bertentangan dengan Al-Qur'an. 

Selanjutnya, Ibn Taimiyyah juga menyatakan, huruf 'ba' yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi (QS. Al-Baqarah 2:164 dan QS. Al-A'raf 7:57). Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Hadits yang disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu'awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan pertama, Allah Subhanahu wa Ta'ala sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak 'peduli', Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah 2:286, Fushshilat 41:46, An-Naml 27:40).

Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.

Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu semua berkat nikmat-nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS. Az-Zumar 39:33-35, Al-Ahqaf 46:16). Inilah di antara maksud sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku."

Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta'ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai'un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang diidamkan, yakni masuk surga. [by: Nashruddin Syarief]. 

Jemaatnya Banyak Masuk Islam, Pendeta Jerman Bunuh Diri


Sebenarnya peristiwa ini sudah cukup lama, tetapi sayang bila di lewatkan. Jadi, silahkan bila anda mau membacanya.

Setelah mengetahui jemaatnya banyak yang masuk agama Islam, Pendeta Roland Weisselberg (73), membakar dirinya. Ia melakukannya di biara Erfurt, dimana Martin Luther mengambil sumpah monastik di 1505. Hari Selasa, saat ia bunuh diri, adalah hari libur nasional di bagian Jerman untuk merayakan Reformasi Protestan. Pendeta itu pun tak tertolong dan tewas terbakar.

Dalam sebuah surat perpisahan untuk istrinya, ia menulis bahwa ia membakar diri sebagai protes atas Islamisasi Eropa. Selama empat tahun terakhir pendeta itu sering menunjukkan perhatiannya tentang pesatnya pertumbuhan penganut agama Islam, dan mendesak Gereja Lutheran untuk bersikap lebih serius atas fenomena ini.

Saat api mulai berkobar, ia berteriak, "Yesus dan Oskar!" Oskar Brüsewitz adalah seorang vikaris Jerman, 47 tahun yang juga meninggal setelah membakar diri 30 tahun lalu, pada tanggal 18 Agustus 1976, di alun-alun kota Zeitz di Jerman sebagai protes terhadap rezim komunis Jerman Timur. Kedua kota tersebut, Erfurt dan Zeitz terletak di provinsi Saxony, bekas Jerman Timur.

Axel Noack, Uskup Lutheran dari Saxony, mengatakan bahwa ia sangat terkejut atas peristiwa tragis tersebut. Uskup Noack menegaskan bahwa motif untuk bunuh diri hanya memperumit masalah. Ia berharap bahwa urusan dan pertanyaan tentang bagaimana orang Kristen harus berhubungan dengan umat Islam tidak akan menyebabkan kerusuhan. Uskup menekankan bahwa orang Kristen menolak perang budaya. "Takut budaya lain adalah hasil dari rasa tidak aman kita sendiri," katanya.

Kasus lain dari bakar diri yang terkenal di Eropa adalah dari Jan Palach, seorang mahasiswa Ceko yang mengorbankan hidupnya di Praha pada tahun 1969 untuk memprotes pendudukan Komunis di negaranya. [bjour].