سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا فَإِنَّهُ لَا يُدْخِلُ أَحَدًا الْجَنَّةَ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ بِمَغْفِرَةٍ وَرَحْمَةٍ
Takhrij Hadits
Hadits di atas diriwayatkan dalam kitab berikut ini:
- Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal no. 6463, 6464, 6467.
- Shahih Muslim kitab shifat al-qiyamah wal-jannah wan-nar bab lan yadkhula ahadun al-jannah bi 'amalihi no. 7289-7302.
- Sunan Ibn Majah kitab az-zuhd bab at-tawaqqi 'alal-'amal no. 4201.
- Musnad Ahmad bab hadits Abu Hurairah no. 8233, 9830, 10011, 14944; bab hadits 'Aisyah no. 24985, 26386
Matan Hadits
Dalam riwayat al-Bukhari no. 6463, tuntunan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam terkait hadits di atas ada enam, yaitu:
لَنْ يُنَجِّيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالُوا وَلَا أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَلَا أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي اللَّهُ بِرَحْمَةٍ سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوا وَرُوحُوا وَشَيْءٌ مِنْ الدُّلْجَةِ وَالْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا
"Amal tidak akan bisa menyelamatkan seseorang di antara kalian." Mereka bertanya: "Tidak pula anda wahai Rasulullah SAW?" Beliau menjawab: "Ya, saya pun tidak, kecuali Allah menganugerahkan rahmat kepadaku. Tepatlah kalian, mendekatlah, beribadahlah di waktu pagi, sore, dan sedikit dari malam, beramallah yang pertengahan, yang pertengahan, kalian pasti akan sampai."
Dalam riwayat al-Bukhari yang satunya lagi, no. 6464, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di akhir pesannya menyatakan:
سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاعْلَمُوا أَنْ لَنْ يُدْخِلَ أَحَدَكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ
وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
وَأَنَّ أَحَبَّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Tepatlah kalian, mendekatlah, dan ketahuilah bahwasanya amal tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga. Sesungguhnya amal yang paling dicintai Allah itu adalah yang paling sering diamalkan walaupun sedikit.
Sementara itu, dalam riwayat Muslim no. 7299, tidak hanya disebut tidak akan masuk surga saja, melainkan ditegaskan juga tidak akan selamat dari neraka:
لاَ يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ وَلاَ يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ وَلاَ أَنَا
إِلاَّ بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
Amal tidak akan memasukkan seseorang di antara kalian ke surga dan tidak pula menyelamatkannya dari neraka. Demikian juga saya, kecuali dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Syarah Mufradat
Saddidu, asal katanya sadad; ketepatan, sesuatu yang tepat. Maknanya menurut Ibn Hajar, shawab; benar. Artinya, beramallah dengan tepat, benar, mengikuti sunnah dan penuh keikhlasan.
Qaribu yang bermakna 'mendekatlah' maknanya ada dua; pertama, jangan menjauhi amal seluruhnya ketika tidak mampu, dan kedua, jangan berlebihan dalam beramal sehingga merasa kelelahan dan bosan. Itu berarti ambillah pertengahan dalam beramal. Ketika malas tiba, bertahan dengan tidak meninggalkan amal seluruhnya, beramallah sedekat-dekatnya, tidak mampu 100% (sadad) beramallah 90% (qarib), dan ketika semangat tiba, beramal dengan tidak berlebihan karena akan menyebabkan kelelahan dan kejenuhan.
Ughdu artinya bepergian-lah di waktu pagi, ruhu artinya bepergian-lah di waktu sore, dan ad-duljah artinya bepergian di waktu malam. Kata ad-duljah disertai dengan kata syai' (syai'minad-duljah; sedikit/sesaat di waktu malam) karena memang bepergian di waktu malam cukup sulit. Menurut Ibn Hajar, ini seolah-olah isyarat agar shaum di sepanjang hari dari sejak pagi sampai sore, dan shalat tahajjud di sebagian malam. Walaupun, menurutnya, bisa juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya. Ibadah dalam hal ini diibaratkan dengan bepergian/perjalanan karena memang seorang 'abid (yang beribadah) itu ibarat seseorang yang sedang bepergian dan menempuh perjalanan menuju surga.
Al-qashda maknanya pertengahan. Dijelaskan dalam riwayat lain sebagai amal yang rutin dikerjakan (dawam) walaupun sedikit-sedikit.
Taghammada diambil dari kata ghimd yang berarti sarung pedang. Taghammada berarti menyarungkan, atau dengan kata lain menutup (satr). Jika dilekatkan dengan kata rahmat dan ampunan, berarti menganugerahkan sepenuhnya (semua penjelasan dalam syarah mufradat ini disadur dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal).
Syarah Ijmali
Muncul diskusi di kalangan para ulama terkait hadits di atas; benarkah masuk surga itu bukan karena amal? Jika demikian apa gunanya amal kita? Bagaimana pula kaitannya dengan firman-firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut:
"Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu amalkan". (QS. An-Nahl 16:32)
Dan diserukan kepada mereka: "Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan." (QS. Al-A'raf 7:43. Ayat semisal terdapat juga dalam QS. Az-Zukhruf 43:72)
Satu hal saja yang harus dicatat, semua ulama hadits tidak ada yang menyatakan bahwa hadits di atas bertentangan dengan ayat-ayat tersebut. Semuanya menempuh metode jam' (menyatukan, mengompromikan) karena memang hadits di atas jelas keshahihannya. Sebuah pertanda juga bahwa hadits yang shahih haram ditolak meskipun tampaknya bertentangan dengan Al-Qur'an. Sedapat mungkin carikan komprominya, karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentang Al-Qur'an. Dan itulah yang ditempuh oleh para ulama hadits sebagaimana akan diuraikan berikut ini.
Imam Ibn Bathal, sebagaimana dikutip Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, menjelaskan bahwa surga itu ada beberapa tingkatan. Ayat-ayat yang menjelaskan masuk surga karena amal, itu maksudnya adalah menempati tingkatan-tingkatannya itu. Sementara masuk surganya sendiri, itu mutlak hanya berdasarkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Jadi, dengan rahmat Allah, seseorang ditentukan masuk surga dan tidaknya. Sesudah ada keputusan masuk surga, maka ketentuan tingkatan surganya ditentukan berdasarkan amal.
Selanjutnya, Ibn Bathal menjelaskan, bisa juga maksud dari ayat-ayat dan hadits di atas adalah saling menguatkan. Artinya, masuk surga itu tergantung rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala juga amal-amal kita. Demikian juga, penentuan tingkatan surga itu tergantung rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal-amal kita.
Imam al-Karmani, Jamaluddin ibn as-Syaikh, dan Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa huruf 'ba' pada ayat-ayat di atas bukan bermakna sebab (sababiyyah), melainkan bersamaan (ilshaq, mushahabah). Jadi bukan berarti masuk surga itu dengan sebab amal, melainkan masuk surga itu bersamaan adanya amal, karena sebab yang paling utamanya adalah rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini berarti bisa membantah pendapat Jabariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan amal, melainkan mutlak hanya rahmat Allah saja. Juga membantah pendapat Qadariyyah yang menyatakan bahwa masuk surga itu murni karena amal saja, tidak ada kaitannya dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Imam Ibn Hajar memberikan penjelasan yang sedikit berbeda. Amal seseorang walau bagaimanapun tidak mungkin menyebabkannya masuk surga jika pada kenyataannya amal itu tidak diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Nah, persoalan amal itu diterima atau tidaknya, ini jelas wewenang Allah, dan ini mutlak berdasarkan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala. (semua pendapat ulama di atas dikutip dari Fath al-Bari kitab ar-riqaq bab al-qashd wal-mudawamah 'alal-'amal).
Sementara itu, jawaban yang cukup panjang dapat ditemukan juga dalam salah satu risalah (tulisan ringkas) Imam Ibn Taimiyyah yang dikodifikasikan dan diedit ulang oleh Syaikh Muhammad Rasyad Salim dalam Jami'ur-Rasa'il, dalam risalah no. 9 berjudul risalah fi dukhulil-jannah hal yadkhulu ahadun al-jannah bi amalihi am yanqudluhu qauluhu shallallahu 'alaihi wassallam la yadkhulu ahadun al-jannah bi'amalihi; risalah tentang masuk surga, apakah seseorang masuk surga itu disebabkan amalnya, ataukah terbantahkan dengan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seseorang tidak masuk surga dengan sebab amalnya. Hal pertama yang ditekankan oleh Ibn Taimiyyah adalah tidak mungkin hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih bertentangan dengan Al-Qur'an.
Selanjutnya, Ibn Taimiyyah juga menyatakan, huruf 'ba' yang ada dalam hadits dan ayat di atas, kedua-duanya memang menyatakan sebab. Hanya tentunya, menurut beliau, ketika sesuatu dinyatakan sebagai sebab, bukan berarti bahwa sebab tersebut adalah satu-satunya sebab dengan meniadakan yang lainnya. Contoh sederhananya adalah air hujan yang dinyatakan sebagai sebab tumbuhnya tumbuh-tumbuhan di bumi (QS. Al-Baqarah 2:164 dan QS. Al-A'raf 7:57). Tentu yang dimaksud bukan hanya air hujan saja yang dapat menyebabkan tumbuh-tumbuhan itu tumbuh, melainkan juga ada sebab lainnya seperti angin, tanah, sinar matahari, yang kesemuanya itu sangat tergantung pada rahmat dan anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Hadits yang disampaikan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, menurut Ibn Taimiyyah, mengajarkan kepada kita untuk tidak memahami hubungan amal dan surga sebagai mu'awadlah; timbal balik, balas jasa, atau ganti rugi. Hal itu disebabkan pertama, Allah Subhanahu wa Ta'ala sama sekali tidak butuh terhadap amal kita, tidak seperti halnya seorang majikan yang butuh kepada para pekerjanya. Amal manusia untuk manusia sendiri, karena kalaupun semua manusia tidak beramal, Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak 'peduli', Dia akan tetap sebagai Yang Mahakuasa dan Mahaperkasa (Lihat QS. Al-Baqarah 2:286, Fushshilat 41:46, An-Naml 27:40).
Kedua, amal seorang manusia tidak diwujudkan oleh dirinya sendiri, melainkan berkat anugerah dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala juga, mulai dari menghidupkannya, memberi rizki, memberi tenaga, kesehatan, mengutus rasul-rasul, menurunkan kitab-kitab, menjadikannya cinta kepada keimanan dan menjadikannya benci terhadap kekufuran. Semua itu adalah berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Ketiga, amal seorang manusia setinggi-tingginya tidak akan senilai dengan pahala yang diberikan Allah kepadanya, karena dalam pahala itu Allah Subhanahu wa Ta'ala sudah melipatgandakannya dari mulai 10 kali lipat, 700 kali lipat, bahkan sampai kelipatan yang tidak dapat terhitung nilainya.
Keempat, nikmat dan kesenangan yang telah diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada manusia selama di dunia, walau bagaimanapun tidak akan mampu dibayar oleh manusia. Seandainya manusia diharuskan membayarnya dengan amal, pasti mereka tidak akan mampu beramal untuk membayarnya. Padahal jelas, manusia bisa beramal itu semua berkat nikmat-nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Kelima, manusia selalu diliputi oleh dosa dan kesalahan. Seandainya saja tidak ada ampunan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan kebijaksanaan-Nya untuk hanya mempertimbangkan amal-amal yang baik saja, dengan mengenyampingkan amal jeleknya, tentu manusia tidak akan mungkin masuk ke dalam surga (Lihat QS. Az-Zumar 39:33-35, Al-Ahqaf 46:16). Inilah di antara maksud sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ya, termasuk juga saya, kecuali jika Allah menganugerahkan ampunan dan rahmat kepadaku."
Dari uraian panjang ini bisa ditarik kesimpulan bahwa amal tetap sebagai penyebab adanya balasan surga. Hanya berdasarkan hadits ini seseorang tidak boleh ta'ajjub (berbangga diri) dengan amalnya sendiri, karena di sana pasti ada peran rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan hadits ini juga seseorang tidak perlu takalluf (mempersulit diri) dengan amal-amal yang dikerjakannya. Tetap optimis dengan amal-amal yang sudah, sedang dan harus dikerjakan, sebagaimana tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: saddidu, wa qaribu, wa absyiru, wa-ghdu, wa ruhu, wa syai'un minad-duljah, wal-qashda wal-qashda, semuanya itu pasti akan menyebabkan kita tablughu; sampai pada cita-cita yang diidamkan, yakni masuk surga. [by: Nashruddin Syarief].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar