Ironis: Sekolah di Filipina Larang Pemakaian Jilbab


ZAMBOANGA CITY – Sebuah keputusan yang dikeluarkan oleh Sekolah Menengah Atas Mindanao yang melarang para siswi Muslimah untuk mengenakan jilbab, telah memicu kecaman dari masyarakat Muslim Filipina dan kelompok-kelompok HAM atas pelanggaran hak asasi siswi Muslim untuk mempraktekkan ajaran agama mereka.

"Kami meminta mereka untuk mematuhi hukum yang ada karena kebijakan mereka melanggar hak asasi manusia," kata Alih S. Aiyub, sekretaris jenderal Konferensi Nasional Ulama Filipina di Mindanao Barat, dikutip situs Rappler pada hari Selasa (31/7/2012).

Meskipun dewan kota telah mengeluarkan resolusi yang mempertanyakan kebijakan tersebut, tetapi sekolah Katolik itu sebagai salah satu institusi akademik di Mindanao Barat, tetap pada keputusannya.

Pada Senin (9/7), seorang biarawati bernama Maria Nina Balbas mengirim surat kepada Mayor Celso Lobregat, presiden Pilar College, mengatakan bahwa sekolah itu akan tetap menegakkan larangan itu.


"Kami asli Katolik Roma dan kami tidak bisa menyimpang dari asal kami," kata Balbas.

"Benar bahwa kami menerima siswa dari berbagai agama, tetapi sebelum itu mereka menjalani sesi wawancara para calon siswa, dan menjelaskan kepada mereka aturan dan peraturan terutama untuk tidak mengenakan jilbab atau cadar." 

Edilwasif Baddiri, pakar hukum di Komisi Nasional Muslim Filipina (NCMF), mengkritik kebijakan sekolah tersebut terkait larangan jilbab. Ia mengatakan bahwa apa yang diterapkan oleh Pilar College melanggar klausul kebebasan beragama dalam konstitusi Filipina tahun 1987 dan Pasal 32 UU Republik No. 9710 Magna Carta bagi Perempuan.

Baddiri mengatakan bahwa hukum pendidikan memberikan hak atas para siswi Muslim untuk mengenakan jilbab atau kerudung ke sekolah. "Dalam kasus tertentu bagi siswa Muslim, beberapa kebijakan harus diadopsi, anak sekolah perempuan Muslim harus diperbolehkan mengenakan jilbab atau penutup kepala (jilbab) di dalam kampus sekolah."

"Kami mengakui kebijakan institusi. Namun, tidak boleh melampaui kebebasan beragama," kata Rosemarie R. Trajano, sekretaris jenderal Aliansi Advokat HAM Filipina (PAHRA). "Hak untuk menjalankan agama harus diperlakukan sebagai sebuah prinsip yang terpenting," katanya.

Para aktivis juga menyerukan kampanye online untuk mengumpulkan satu juta tanda tangan untuk memboikot Pilar College. 

Mindanao, tempat kelahiran Islam yang mencapai Filipina pada abad ke-13 sekitar 200 tahun sebelum Kristen (Spanyol), adalah rumah bagi lebih dari lima juta Muslim. Mereka menjadi minoritas di negeri sendiri.


Tidak ada komentar: