Jangan Biarkan Hati Anda Menderita Karena Hasad


Hasad (dengki) merupakan penyakit hati yang berbahaya bagi manusia, karena penyakit ini menyerang si penderita dan meracuninya; membuat dia benci terhadap kenikmatan yang diperoleh saudaranya, dan merasa senang jika kenikmatan tersebut musnah dari tangan saudaranya.

Pada hakikatnya penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak ridha dengan qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah ‘Azza wa Jalla, karena ia membuat si penderita benci kepada nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hambanya; padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah ‘Azza wa Jalla benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha dan qadar Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Lihat Al-Fawaaid hal.157, cetakan Darul Fikr – Beirut).  

Penyakit ini sering dijumpai di antara sesama teman sejabatan, seprofesi, seperjuangan, atau sederajat. Oleh karena itu, tidak jarang dijumpai ada pegawai kantor yang hasad kepada teman sekantornya. Tukang bakso hasad kepada tukang bakso lainnya, guru hasad kepada guru, orang ahli ibadah atau Ustadz atau Kyai hasad kepada yang sederajat dengannya. Jarang dijumpai hasad tersebut pada orang yang beda kedudukan dan derajatnya, seperti tukang bakso hasad kepada Kyai, atau tukang becak hasad kepada Ustadz, meskipun tidak menafikan kemungkinan terjadinya.

Penyakit hasad hendaknya dijauhi oleh setiap Muslim, karena mudharat-nya sangat besar, terutama bagi si penderita, baik mudharat dari sisi  agama maupun dunianya. Tidakkah kita ingat, kenapa Iblis dilaknat Allah ‘Azza wa Jalla? Tidak lain karena sikap hasad  dan sombongnya kepada Adam ‘alaihis salam yang sama-sama makhluk Allah Ta’ala.

Dari sisi lain, hasad merupakan sifat sebagian besar Yahudi dan Nasrani, sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:
أَمْ يَحْسُدُونَ النَّاسَ عَلَىٰ مَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
“Ataukah mereka (orang Yahudi) dengki kepada manusia (Muhammad dan orang-orang Mukmin) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya?” (QS. An-Nisaa’ [4] : 54)

Allah Ta’ala juga berfirman tentang hasad mereka:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al-Baqarah [2] : 109)

Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang orang Muslim dari sifat hasad tersebut, beliau bersabda:
لَا تَقَاطَعُوا وَ لَا تَدَابَرُوا وَ لَا تَبَاغَضُوا وَ لَا تَحَاسَدُوا وَ كُوْنُوا إِخْوَانًا كَمَا أَمَرَكُمُ اللهُ
“Janganlah kalian memutuskan tali persaudaraan, saling berpaling ketika bertemu dan saling membenci serta saling dengki. Jadilah kalian bersaudara sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Shahih Muslim juz 8 hal. 10)


Sebab-sebab Hasad

Sumber dari penyakit hasad adalah cinta dunia, baik cinta harta benda, kedudukan, jabatan, maupun pujian manusia.

Dunia memang sempit, sering menyempitkan mereka yang memburu dan mencintainya, sehingga tak jarang mereka berjatuhan pada lembah hasad, karena takut kekayaan dunia tidak akan bisa dimiliki kecuali ia berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya dan berkurang jika dibelanjakan berbeda dengan akhirat yang sangat luas, seperti langit yang tak berujung dan seperti lautan yang tidak bertepi. Karena sangat luasnya, sehingga tidak menyempitkan orang yang memburu dan mencintainya, sebagaimana kita tidak menjumpai orang tidak berjejal-jejal untuk melihat keindahan langit di waktu malam, karena luasnya dan cakupannya terhadap setiap mata yang memandang.

Ibnu Sirin rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah hasad pada seorangpun dalam masalah dunia, karena jika dia termasuk ahli surga, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam masalah dunia, padahal dia akan masuk surga. Dan jika termasuk ahli neraka, maka bagaimana aku hasad kepadanya dalam hal dunia, padahal dia akan masuk neraka.” (Raudhatul Uqala Wanuzhatul Fudhala hal.119, Cet. Maktabah Ashriyah – Beirut)

Jika tujuan seseorang adalah akhirat, maka hatinya bersih dari hasad, tenang, jernih, seperti air yang memancar dari mata air pegunungan, lembut bagaikan sutera, tidak ada tempat bagi hasad di dalamnya. Akan tetapi, jika tujuannya adalah dunia, maka hati sangat rawan terjangkit hasad, mudah ternoda dan keruh. Oleh sebab itu, bagi mereka yang mempunyai belas-kasihan terhadap hatinya, hendaknya ia meninggalkan cinta dunia dan menggantinya dengan cinta akhirat. Karena kenikmatan akhirat tidaklah menyempitkan orang yang memburunya. Ia adalah kenikmatan yang sesungguhnya, kenikmatan yang luar biasa, tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan dunia. Kenikmatan tersebut bisa dirasakan oleh orang yang sangat mencintainya, mencari, dan memburunya di dunia ini. Jika seseorang tidak ingin memburu kenikmatan hakiki tersebut, atau lemah keinginannya, maka dia bukanlah ksatria, karena yang memburu kenikmatan yang hakiki tersebut adalah ksatria. (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal.188-189, cet. Maktabah Darul Bayan – Damaskus. -Bittasharruf)


Obat Hasad

Setelah kita mengetahui bahwa hasad adalah penyakit hati yang berbahaya, maka tentunya kita ingin mengetahui obat dan terapi hasad tersebut.

Sebenarnya, penyakit hati yang satu ini tidaklah dapat diobati dengan pil atau kapsul dari apotik atau dengan suntik, herbal, atau pijat urut, akan tetapi penyakit hati ini hanya dapat diobati dengan ilmu dan amal.

Adapun obat yang pertama adalah ilmu. Ilmu yang bermanfaat untuk mengobati hasad adalah pengetahuan tentang hakikat hasad itu sendiri. Diantaranya mengetahui bahwa hasad itu berbahaya bagi si penderita, baik bagi agamanya atau dunianya. Di dunia, hatinya selalu menderita dan tersayat-sayat, boleh jadi dia mati karenanya. Bagaimana tidak? Dia membenci orang lain yang mendapat kenikmatan dan mengharap nikmat tersebut musnah darinya. Padahal, hal itu telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak akan musnah sampai saat yang telah ditentukan.

Orang yang hasad ibarat orang yang melempar bumerang kepada musuh. Bumerangnya tidak mengenai sasaran, tetapi bumerang itu kembali kepadanya, sehingga mengenai mata kanannya dan mengeluarkan bola matanya. Lalu dia bertambah marah dan kembali melempar kedua kalinya dengan lebih kuat. Akan tetapi, bumerang itu masih seperti semula, tidak menemui sasaran dan kembali mengenai mata sebelah kirinya sehingga dia buta. Kemarahannya pun tambah menyala-nyala, kemudian dia melempar ketiga kalinya denga sekuat tenaga, akan tetapi bumerang tersebut kembali mengenai kepalanya sampai hancur, sedangkan musuhnya selamat dan menertawakan dia, karena dia mati atas perbuatannya sendiri. Sedangkan di akhirat nanti, dia akan mendapat adzab dari Allah Ta’ala, jika hasad tersebut melahirkan perkataan dan perbuatan, karena statusnya adalah orang yang telah menzhalimi orang lain ketika di dunia.

Perlu diketahui pula bahwa hasad juga tidak berbahaya bagi orang yang dihasad, baik agama dan dunianya. Dia tidak berdosa dengan hasad orang lain kepadanya. Bahkan, dia mendapatkan pahala jika hasad tersebut keluar berwujud perkataan dan perbuatan, sebab dia termasuk orang yang dizhalimi. Kenikmatan yang ada padanya juga tidak akan musnah karena hasad orang lain kepadanya, sebab kenikmatan tersebut telah ditakdirkan untuknya.

Adapun obat kedua adalah amal perbuatan. Amal perbuatan yang manjur untuk mengobati hasad adalah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan perbuatan yang ditimbulkan oleh hasad. Misalnya; gara-gara hasad, seseorang ingin mencela dan meremehkan orang yang dihasad. Jika seperti ini, hendaknya dia melakukan hal yang berbeda yaitu memuji orang yang dihasad tersebut. Kemudian jika hasad itu membuatnya sombong kepada orang yang dihasad, maka hendaknya tawadhu kepadanya. Jika hasad membuatnya tidak berbuat baik atau tidak memberi hadiah kepada orang yang dihasad, maka hendaknya ia melakukan sebaliknya, yaitu berbuat baik dan memberikan kepadanya hadiah. Dengan seperti ini, insyaAllah hasad di hati akan segera lenyap dan hati kembali sehat dan normal. (Mukhtashar Minhajul Qashisin hal.189-190, cet.Maktabah Darul Bayan, Damaskus. -Bittasharruf)


Adakah Hasad yang Diperbolehkan?

Mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya. Apakah benar hasad itu ada yang diperbolehkan? Jawabannya, marilah kita simak sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِيْ اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَا لَا فَسَلَّطَهُ عَلَي هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ وَ رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَ يُعَلِّمُهَا
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang. Yang pertama; kepada seseorang yang telah diberi harta kekayaan oleh Allah dan ia habiskan di jalan yang benar. Yang kedua; kepada sesorang yang telah diberi hikmah (ilmu) oleh Allah dan ia memutuskan perkara dengannya serta mengajarkannya.” (Muttafaq ‘alaih. Lihat Shahih al-Bukhari no. 6886, cet. Dar Ibnu Katsir – Beirut, dan juga Shahih Muslim no. 1933, cet. Darul Jiel dan Darul Auqaf al-Jadidah –  Beirut)

Akan tetapi, hasad dalam hadits ini berbeda pengertiannya dengan hasad yang telah disebutkan di atas. Hasad yang ini disebut oleh para ulama dengan Ghibthah, yaitu menginginkan kenikmatan seperti yang telah diperoleh oleh orang lain dengan tanpa membenci orang tersebut, serta dengan tidak mengharapkan kenikmatan itu musnah darinya.

Syaikh Abdul Muhsin al ‘Abbad hafizhahullah dalam menjelaskan hadits di atas berkata: “Yang dimaksud hasad di sini adalah ghibthah.” (Syarah Sunan Abu Dawud hadits “iyyakum wa hasad”)

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ghibthah adalah ingin mendapatkan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh orang lain dengan tanpa mengharapkan nikmat tersebut musnah darinya. Jika perkara yang di-ghibthah tersebut adalah perkara dunia, maka hukumnya adalah mubah (boleh). Jika perkara tersebut termasuk perkara akhirat, maka hukumnya adalah mustahab (disukai), dan makna hadits di atas adalah tidak ada ghibthah yang dicintai (oleh Allah Ta’ala) kecuali pada dua perkara (yang tersebut di atas) dan yang semakna dengannya. (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim Ibnul Hajjaj, juz 6 hal. 97, cet.2, Dar Ihya Turats al Arabi – Beirut)

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Artikel ini diambil dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus (No. 06-07)/Tahun XIII/Ramadhan-Syawwal 1430 H/September-Oktober 2009M. 
Penulis: Ustadz Nur Kholis bin Kurdian


Tidak ada komentar: