Keutamaan ‘Ali r.a. menurut Ibnu Taimiyyah


Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- memuji ‘Ali bin Abi Thalib -radhiyallaahu ta’ala ‘anhu- pada banyak tempat dalam karangannya. Beliau menyanjung dan memposisikan beliau sebagai khalifah keempat setelah Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman -radhiyallaahu anhum- layaknya manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah. Hal itu sangat jelas dan lugas nampak bagi para pembaca kitab-kitab Syaikh. Aku tidak mengetahui bagaimana mungkin pandangan ahli bid’ah dan para pencela Syaikhul Islam terlewatkan dari hal-hal tersebut.

Aku telah mengumpulkan sebagiannya pada pembahasan ini agar dibaca oleh setiap penulis dan para Pencari Kebenaran serta untuk mencerahkan mata Ahlussunnah agar tidak nampak di dada mereka gangguan ahli bid’ah terhadap Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- ketika mereka menelaah tuduhan-tuduhan dzalim tersebut. Saya banyak menukil dari kitab Minhaaju as-Sunnah karena kitab tersebut merupakan acuan utama para penghujat dan penuduh Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala.

Penyebabnya adalah bahwa di dalam kitab tersebut terdapat beberapa ungkapan yang perlu diwaspadai sebagai pendapat miring beliau terhadap ‘Ali bin Abi Thalib atau terpahami sebagai ungkapan yang merendahkan ‘Ali bin Abu Thalib. Maka aku ingin menjelaskan bahwa mereka adalah kaum yang tidak memahami maksud-maksud syaikh pada ungkapan-ungkapan tersebut, karena mereka melihatnya dengan mata kebencian dan permusuhan pada agama. Sedangkan pemilik mata-mata sejenis ini tidak akan beruntung.

Aku memulai tulisan ini dengan menyebutkan aqidah beliau rahimahullah ta’ala tentang shahabat dengan menukil dari kitab al-Aqidah al-Waashitiyyah. Kitab tersebut merupakan representasi aqidah beliau yang masyhur yang ditulis dengan tangannya serta menyokong pendapat beliau di hadapan ahli bid’ah.

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata:
“Termasuk Ushul Ahlussunnah wal Jama’ah adalah terjaga hati dan lisan mereka terhadap shahabat-shahabat Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seperti apa yang telah disifatkan kepada mereka oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

Artinya: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Hasyr/ 59: 10).

Serta mentaati Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada sabda beliau:
“Janganlah kamu sekali-kali mencela para shahabatku, sungguh demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antar kalian menginfaqkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan mencapai segenggam kebaikan salah seorang di antara mereka tidak juga setengahnya.”

Menerima apa yang disampaikan oleh Sunnah dan Ijma’ tentang keutamaan dan kedudukan mereka. Mengutamakan mereka yang berinfak dan berperang sebelum Fathul Makkah -Perjanjian Hudaibiyah- atas mereka yang berperang dan berinfak setelahnya. Mengutamakan Muhajirin atas Anshar.

Mengimani bahwasanya Allah Ta’ala telah berfirman berkenaan dengan peserta perang Badar yang berjumlah lebih dari 310 orang: “Berbuatlah sekehendak kalian, sesungguhnya aku telah mengampuni kalian.”

Percaya bahwa tak seorangpun yang telah berbaiat di bawah pohon akan masuk neraka seperti yang telah dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan telah diridhai oleh Allah serta mereka ridha kepada Allah. Jumlah mereka lebih dari 1400 orang.

Menetapkan bahwa sebagian dari mereka telah disaksikan sebagai ahli Surga oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti al-‘Asyrah (10 shahabat yang dijamin masuk Surga).

Percaya bahwa Tsabit bin Qays bin Syammas dan selainnya termasuk shahabat. Menetapkan apa yang telah mutawatir penukilannya terkait dengan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib dan lainnya, namun sebaik- baik ummat ini setelah nabi mereka adalah Abu Bakar kemudian ‘Umar.

Memposisikan ‘Utsman pada tempat ketiga dan Ali -radiyallahu anhu- pada posisi keempat seperti yang telah ditunjukkan oleh atsar dan ijma pendahuluan ‘Utsman pada masalah pembaitan, meskipun sebelumnya Ahlussunnah berselisih siapa yang lebih utama antara ‘Utsman dan ‘Ali -radiyallahu anhu-setelah mereka bersepakat untuk mendahulukan Abu Bakar dan ‘Umar. Satu kaum mendahulukan ‘Utsman, lalu mereka diam, dan menempatkan Ali pada posisi keempat. Kaum lain mendahulukan ‘Ali, lalu mereka tawaqquf. Namun telah mantap dalam urusan Ahli Sunnah untuk mendahulukan ‘‘Utsman dari pada ‘Ali.

Sekalipun masalah ini -pendahuluan ‘‘Utsman atas ‘Ali- bukan termasuk ushul yang dapat menyesatkan penyelisihnya berdasarkan Jumhur Ahlus Sunnah, namun justeru yang dapat menyesatkan penyelisihnya adalah masalah khilafah. Mereka percaya bahwa khalifah setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, kemudian ‘‘Umar, kemudian ‘‘Utsman, kemudian ‘Ali. Siapapun yang mencela kekhalifahan salah satu dari mereka maka ia lebih sesat dari keledainya.

Adapun tempat dimana Syaikhul Islam menyebutkan keutamaan ‘Ali -radhiyallaahu ‘anhu- dan membelanya adalah sebagai berikut:

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata:
“Keutamaan Ali dan posisinya serta ketinggian kedudukannya di sisi Allah adalah suatu hal yang sudah diketahui, Alhamdulillah, dari sumber-sumber kokoh yang meyakinkan, tidak memerlukan sokongan riwayat dusta dan sokongan riwayat yang tidak diketahui kebenarannya.”

Ibnu Taimiyyah rahimahullah ta’ala berkata:
“Adapun keadaan ‘Ali dan selainnya bahwa dia adalah kekasih setiap mukmin, itu adalah sifat yang benar untuk ‘Ali sejak Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam hidup dan setelah beliau meninggal dan juga setelah ‘Ali meninggal. Maka ‘Ali pada hari ini tetap wali/ kekasih setiap mukmin.” (Minhajus Sunnah: 7/325).

“Adapun ‘Ali -radiyallahu anhu- tidak diragukan lagi bahwa dia adalah termasuk orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah” (Minhajus Sunnah: 7/218).

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata:
“Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Ali adalah wajib bagi setiap mukmin, sebagaimana diwajibkan bagi setiap mukmin untuk mencintai mukmin yang lainnya.”

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata:
“Bahkan mereka (Ahlussunnah) semua sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan lebih tinggi, lebih berhak dengan kepemimpinan, dan lebih mulia di sisi Allah dan rasul-Nya serta kaum mukminin dari Mu’awiyah, ayahnya dan saudaranya yang lebih utama darinya (Mu’awiyah). Dan Ali lebih utama dari semua shahabat yang masuk Islam pada Fathu Makkah, sedangkan banyak diantara mereka (yang masuk Islam pada Fathu Makkah) lebih utama dari Mu’awiyah. Dan Ahlu Syajarah (yang berbait di bawah pohon, bai’at Ridhwan) lebih utama dari mereka (yang masuk Islam pada Fathu Makkah), dan Ali lebih utama dari mereka semua yang ikut berbai’at di bawah pohon kecuali dari tiga orang. Tidak ada dari kalangan Ahlussunnah yang mendahulukan seorang pun diatas Ali kecuali dari tiga orang. Bahkan Ali lebih afdhal dari mayoritas Ahlu Badar (yang ikut perang Badar) dan yang mengikuti bai’at Ridhwan, dan (lebih utama) dari Sabiqunal Awwalun dari Muhajirin dan Anshar.” (Minhajus Sunnah: 4/396).

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- menjelaskan keberanian Ali bin Abu Thalib -radiyallahu anhu:
“Tidak diragukan lagi bahwa Ali -radhiallahu ‘anhu- termasuk shahabat yang paling berani, dan termasuk yang Allah menolong Islam dengan sebab jihadnya, termasuk shahabat besar sabiqunal awwalun dari muhajirin dan anshar, pembesar orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan (pembesar) orang yang berjihad fii sabilillah, dan Ali dengan pedangnya telah membunuh sejumlah orang kafir.” (Minhajus Sunnah: 8/76).

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata: “Adapun kezuhudan ‘Ali -radhiallahu ‘anhu- dalam hal harta maka tidak perlu diragukan lagi, namun permasalahannya adalah kalau dikatakan Ali lebih zuhud dari Abu Bakar dan ‘Umar.”

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- berkata:
“Kita mengetahui bahwa ‘Ali takut kepada Allah untuk berpegang dengan kedustaan, seperti Abu Bakar dan ‘Umar dan ‘Utsman dan selain dari mereka juga takut berpegang dengan kedustaan.”

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memerangi Ali daripada shahabat yang ikut memerangi ‘Ali:
“Dan juga, kecintaan Ahlussunnah terhadap para shahabat yang tidak ikut memerangi ‘Ali lebih besar dari kecintaan mereka terhadap shahabat yang ikut memerangi ‘Ali. Dan lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memeranginya daripada shahabat yang ikut memeranginya, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhum, mereka ini lebih utama disisi Ahlussunnah daripada (para shahabat) yang ikut memerangi ‘Ali.”

Dan mencintai Ali demikian pula menghindar dari peperangan adalah lebih baik dengan kesepakatan Ahlus Sunnah daripada membencinya dan memeranginya. Dan mereka sepakat wajibnya menjadikan Ali wali dan mencintainya, mereka (Ahlussunnah) adalah manusia yang paling gigih membela Ali, dan membantah setiap yang mencelanya dari kalangan khawarij dan selain mereka dari kalangan nawashib, akan tetapi setiap keadaan ada memiliki penyikapan tersendiri” (Minhajus Sunnah: 4/395).

Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- lebih mendahulukan shahabat yang berperang dipihak Ali daripada shahabat yang berperang dipihak Mu’awiyah -radhiallahu ‘anhum ajma’in- beliau berkata:
“Dan telah diketahui bahwa para shahabat yang berperang di pihak Ali seperti, Ammar, Sahl bin Hunaif dan selain keduanya lebih afdhal dari para shahabat yang ikut berperang di pihak Mu’awiyah” (Majmu’ atur Rasail wal Masail li Ibni Taimiyyah, hal: 61).

Ini adalah secuil penukilan dari Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- seputar keutamaan Ali dan pembelaan beliau terhadap Ali dihadapan musuh-musuhnya serta berlepas dirinya beliau dari segala hal (fitnah, pent) yang disematkan kepada beliau.

Apakah setelah ini, pantas dikatakan sebagaimana yang dikataan oleh ahli bid’ah yang jahat bahwa Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- telah memutarbalikkan fakta terhadap Ali -radhiallaahu anhu- serta merendahkannya didalam kitab-kitab beliau!?

Orang muslim yang rendah sekalipun tidak akan mengatakan hal tersebut, apalagi terkait dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah ta’ala- yang telah mengikat hari-hari dalam hidupnya untuk membawakan Aqidah Ahlussunnah, termasuk dalam lingkup aqidah tersebut adalah pengutamaan ‘Ali -radiallaahu ‘anhu- dan menjadikannya sebagai khalifah yang keempat, serta i’tiqadnya bahwasanya ‘Ali berada diatas kebenaran di depan siapapun yang memerangi dan menyelisihinya. Tetapi dosa Syaikhul Islam disisi para Ahli bid’ah tersebut adalah beliau tidak berlebihan kepada Ali seperti yang mereka lakukan, atau beliau tidak melewati keutamaan yang Allah tetapkan atas ‘Ali bin Abu Thalib. (oleh: Ali bin Muhammad Al-Qadiby,  via: hakekatsyiah.blogspot.com).

Tidak ada komentar: